Hadits Shahih Al-Bukhari No. 370-372 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 370-372 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Shalat di Atas Alas Tidur”  hadis-hadis ini menceritakan tentang Rasulullah saw yang shalat dirumahnya dan Aisyah menjulurkan kakinya menghadap kiblat, jika Nabi saw sujud, maka dia menarik kakinya, jika Nabi saw berdiri dia menjulurkan kembali kakinya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadis berikutnya menjelaskan tentang orang yang meletakkan kain di tempat sujudnya lantaran panasnya matahari. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 81-84.

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 370

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهِيَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى فِرَاشِ أَهْلِهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Bukair] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Laits] telah menceritakan kepadaku [‘Uqail] dari [Ibnu Syihab] berkata, telah mengabarkan kepadaku [‘Urwah] bahwa [‘Aisyah] mengabarkan kepadanya, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat Aisyah pernah tidur di arah kiblat beliau, ia tidur di atas kasur dengan posisi seperti jenazah.”

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 371

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ عَنْ عِرَاكٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى الْفِرَاشِ الَّذِي يَنَامَانِ عَلَيْهِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [Yazid] dari [‘Irak] dari [‘Urwah], bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat, ‘Aisyah berbaring antara beliau dengan arah kiblatnya, di atas tempat tidur yang digunakan untuk tidur keduanya.”

Keterangan Hadis: اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ (terbentangnya jenazah) Maksudnya. Aisyah RA tidur di hadapan beliau SAW dengan kepala di bagian kanan dan kaki di arah kiri Nabi SAW, sebagaimana halnya posisi jenazah di hadapan orang yang menshalatinya.

Maksud disebutkannya riwayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa tempat tidur tersebut digunakan sebagai tempat istirahat mereka berdua, sebagaimana diisyaratkan pada bagian awal bab ini. Berbeda dengan riwayat sebelumnya. karena lafazh “Tempat tidur keluarganya” lebih urnurn: mungkin saja yang dimaksud adalah tempat istirahat keduanya, atau mungkin juga tempat yang digunakan untuk tidur oleh selain beliau SAW.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 200– Kitab Wudhu

Hadits ini memberi keterangan bahwa shalat menghadap orang yang tidur tidak makruh. Sementara telah disebutkan sejumlah hadits lemah yang melarang perbuatan itu. Namun hadits-hadits ini mesti dipahami -andai terbukti kebenarannya- apabila perbuatan tersebut mengganggu konsentrasi.

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 372

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ قَالَ حَدَّثَنِي غَالِبٌ الْقَطَّانُ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ أَحَدُنَا طَرَفَ الثَّوْبِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ فِي مَكَانِ السُّجُودِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Walid Hisyam bin ‘Abdul Malik] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bisyir bin Al Mufadlal] berkata, telah menceritakan kepadaku [Ghalib Al Qaththan] dari [Bakar bin ‘Abdullah] dari [Anas bin Malik] berkata, “Kami shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu salah seorang dari kami meletakkan salah satu dari ujung bajunya di tempat sujudnya karena panasnya tempat sujud.”

Keterangan Hadis: Al Hasan berkata, “Dahulu orang-orang sujud beralaskan sorban dan songkok, sementara kedua tangannya beralaskan lengan bajunya.”

(Bab sujud beralaskan kain ketika cuaca sangat panas) Maksud dikaitkannya judul bab ini dengan cuaca sangat panas adalah untuk menjaga lafazh hadits. Kalau tidak, maka pada saat cuaca dingin juga akan dilakukan hal yang sama. Bahkan, mereka yang membolehkan sujud beralaskan kain tidak membatasinya dengan kebutuhan .

طَرَف الثَّوْب (ujung kain) Dalam riwayat Muslim disebutkan, “la membentangkan kainnya“. Demikian pula yang terdapat dalam riwayat Imam Bukhari pada bab “Perbuatan (gerakan) Saat Shalat”. Lalu Imam Bukhari meriwayatkan pula melalui jalur Khalid bin Abdurrahman dari Ghalib, “Kami pun sujud beralaskan kain untuk menghindari panas.”

Kain (tsaub) adalah nama sesuatu yang belum dijahit, namun kadang dipakai untuk mengungkapkan pakaian yang berjahit dari segi majaz (kiasan).

Dalam hadits ini terdapat keterangan bolehnya menggunakan kain atau yang sepertinya sebagai alas shalat untuk menghindari panas ataupun dingin. Untuk itu dapat dipahami bahwa meletakkan dahi langsung ke tanah merupakan hukum asal. sebab membentangkan kain tersebut dikaitkan dengan kondisi tidak mampu.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 174 – Kitab Wudhu

Di samping itu, hadits di atas dijadikan dalil bolehnya seseorang sujud beralaskan kain yang scdang dipakainya shalat. An-Nawawi berkata, ”Demikianlah pendapat yang dikatakan oleh Abu Hanifah dan mayoritas ulama. Sedangkan Imam Syafi’i memahami bahwa kain yang dimaksud adalah kain yang tidak sedang dipakai shalat.”

Imam Al Baihaqi mendukung pemahaman Imam Syafi’i berdasarkan riwayat yang dinukil oleh Al Ismaili melalui jalur di atas dengan lafazh. “maka salah seorang di antara kami mengambil kerikil. Ketika telah dingin, maka dia meletakkannya lalu sujud di atasnya.”

Imam Al Baihaqi berkomentar, ”Andaikata boleh sujud di atas sesuatu yang berhubungan (dipakai) saat shalat, tentu mereka tidak perlu mendinginkan kerikil tersebut mengingat hal itu memerlukan waktu yang cukup lama.” Namun perkataan ini dapat pula dijawab dengan mengatakan, bahwa kemungkinan mereka mendinginkan kerikil adalah karena mereka tidak memiliki pakaian lebih untuk digunakan sebagai alas sujud.

lbnu Daqiq Al ‘Id mengatakan bahwa, mereka yang menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya perbuatan itu memerlukan dua hal:

Pertama, bahwasanya lafazh “kainnya” menunjukkan kain yang dipakainya; baik dari segi lafazh yaitu sujud dengan membentangkan kain, seperti terdapat pada riwayat Muslim, atau dari hal lain di luar lafazh, yakni minimnya pakaian yang mereka miliki.

Kedua, apabila pain pertama demikian keadaannya. maka perlu pembuktian bahwa hal itu mencakup fokus permasalahan. Yakni, hendaknya ia merupakan sesuatu yang bergerak karena gerakan orang shalat, sementara tidak ada dalam hadits keterangan yang menunjukkan hal itu. Wallahu a’lam.

Pelajran yang dapat diambil

1. Bolehnya melakukan perbuatan ringan saat shalat serta menjaga kekhusyuan dalam shalat, karena secara lahiriah perbuatan mereka itu dilakukan untuk menghilangkan ketidaktenangan akibat panasnya tempat sujud.

2. Melaksanakan shalat pada awal waktunya. Sementara makna lahiriah hadits-hadits tentang perintah menunggu hingga cuaca dingin -sebagaimana akan dijelaskan pada bagian waktu-waktu shalat­bertentangan dengan hadits di atas.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 574 – Kitab Adzan

Barangsiapa berpandangan bahwa perintah untuk menunggu hingga panas reda hanyalah suatu keringanan, maka tidak perlu dipermasalahkan. Sedangkan mereka yang mengatakan bahwa perintah mengakhirkan waktu shalat hingga panas reda adalah sunah, maka mereka harus mengatakan bahwa perintah untuk menyegerakan pelaksanaan shalat Zhuhur di awal waktu adalah sebagai keringanan, atau mereka mengatakan perintah tersebut telah mansukh (dihapus hukumnya) oleh perintah untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat Zhuhur hingga panas reda. Namun pendapat yang lebih baik adalah, sesungguhnya keadaan yang sangat panas bisa saja ada meski pelaksanaan shalat diakhirkan.

Oleh sebab itu, mereka sujud beralaskan kain atau mendinginkan kerikil. Adapun faidah mengakhirkan pelaksanaan shalat hingga panas matahari reda adalah untuk mendapatkan bayangan pepohonan dari panas matahari saat menuju masjid, atau memanfaatkan bayangan tersebut saat shalat di masjid. Cara mengkompromikan seperti ini telah diisyaratkan oleh Al Qurthubi kemudian lbnu Daqiq Al ‘Id, dan ini lebih baik daripada mengatakan bahwa kedua hadits itu saling bertentangan.

Kemudian dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa perkataan seorang sahabat, “Kami dahulu melakukan demikian” termasuk kategori marfu’ (langsung dari Nabi SAW), berdasarkan kesepakatan Imam Bukhari dan Muslim yang menyebutkan hadits ini dalam kitab Shahih mereka. Tetapi dapat dikatakan bahwa kekuatan hadits ini bukan hanya dari segi lafazh, namum juga karena kandungannya yang menyatakan shalat di belakang Nabi SAW. Sementara beliau SAW melihat orang yang shalat di belakangnya sebagaimana melihat orang yang ada di depannya, maka persetujuan beliau SAW mengenai hal itu dapat ditinjau dari sisi ini bukan sekedar ditinjau dari lafazh yang menyatakan “Kami dahulu melakukan …”

M Resky S