Hadits Shahih Al-Bukhari No. 574 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 574 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Mengeraskan Suara Adzan” Hadis dari Abdurrahman bin Abdullah ini menjelaskan pentingnya mengeraskan suara ketika adzan. Karena segala sesuatu yang mendengar seruan itu, akan menjadi saksi di hari kiamat nanti. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 30-36.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ الْأَنْصَارِيِّ ثُمَّ الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ لَهُ إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ بِالصَّلَاةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Abdurrahman bin Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Abu Sha’sha’ah Al Anshari Al Mazini] dari [Bapaknya] bahwa ia mengabarkan kepadanya, bahwa [Abu Sa’id Al Khudri] berkata kepadanya, “Aku lihat kamu suka kambing dan lembah (pengembalaan). Jika kamu sedang mengembala kambingmu atau berada di lembah, lalu kamu mengumandangkan adzan shalat, maka keraskanlah suaramu. Karena tidak ada yang mendengar suara mu’adzin, baik manusia, jin atau apapun dia, kecuali akan menjadi saksi pada hari kiamat.” Abu Sa’id berkata, “Aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Keterangan Hadis: Umar bin Abdul Aziz berkata, “Adzanlal1 dengan adzan yang wajar. Jika tidak, maka menjauhlah dari kami.”

Ibnu bin Al Manayyar berkata, “Imam Bukhari —dalam bab ini ­tidak menyebutkan hukum mengeraskan suara adzan, karena mengeraskan suara termasuk sifat adzan. Beliau juga tidak menyebutkan hukum adzan itu sendiri seperti yang telah dijelaskan. Adapun Imam An-Nasa’i memberi judul hadits ini dengan “Bab Pahala Mengeraskan Suara Adzan.”

(Umar bin Abdul Aziz berkata) Sanad riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah melalui jalur Umar, dari Sa’id bin Abi Husain bahwasanya seorang muadzdzin melakukan adzan lalu melagukannya seperti nyanyian, maka Umar bin Abdul Aziz berkata kepadanya … (lalu disebutkan seperti di atas ). Tapi saya tidak menemukan nama muadzdzin yang dimaksud, tapi saya mengira bahwa ia berasal dari Bani Sa’ad Al Qurzh, sebab peristiwa ini berlangsung saat Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah di Madinah.

Secara lahiriah, Umar tidak melarang muadzdzin untuk mengeraskan suara, tapi ia merasa khawatir jika alunan suara muadzdzin tersebut dapat menghilangkan kekhusyukan. Kisah yang serupa telah diriwayatkan dalam hadits Ibnu Abbas dari Nabi SAW seperti yang dikutip oleh Ad-Daruquthni, namun dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Ishaq bin Abi Yahya Al Ka’bi, dimana menurut Ad-Daruquthni dan Ibnu Adi ia tergolong perawi yang lemah. Ibnu Hibban berkata, “Tidak boleh menukil riwayat dari Ishaq bin Abi Yahya Al Ka’bi.” Namun kemudian Ibnu Hibban melakukan kekeliruan, dimana ia mencantumkan Ishaq bin Abi Yahya dalam deretan perawi tsiqah (terpercaya) dalam kitabnya yang berjudul Ats­Tsiqat.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 142 – Kitab Wudhu

أَنَّ أَبَا سَعِيد الْخُدْرِيَّ قَالَ لَهُ (bahwasanya Abu Sa’id Al Khudri berkata kepadanya), yakni kepada Abdullah bin Abdurrahman.

تُحِبّ الْغَنَم وَالْبَادِيَة (kamu menyukai kambing dan lembah). Yakni menyukai lembah demi kambing, sebab orang yang menyenangi kambing perlu merawatnya di tempat penggembalaan; dan tempat seperti ini umumnya terdapat di lembah, yakni padang rumput yang tidak ada penghuninya.

فِي غَنَمِك أَوْ بَادِيَتِك (di kambingmu atau di lembahmu) Kemungkinan kata أَوْ (atau) merupakan keraguan dari perawi, namun ada pula kemungkinan untuk menjelaskan keragaman. Sebab, terkadang kambing tidak berada di lembah, dan terkadang pula seseorang berada di lembah yang tidak ada kambingnya.

فَارْفَعْ (keraskan) Hal ini menjelaskan bahwa adzan bagi seorang yang hendak melakukan shalat merupakan perkara yang lumrah di antara mereka, karena di sini hanya diperintahkan untuk mengeraskan suara tanpa menjelaskan dasar hukum adzan. Riwayat ini dijadikan dalil oleh Ar-Rafi’i untuk menyatakan disukainya adzan bagi orang yang hendak shalat, meskipun hanya seorang diri. Inilah pendapat yang paling kuat dalam mazhab Syafi’i berdasarkan dalil bahwa adzan merupakan hak waktu shalat. Tapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hal itu tidak disukai -adzan bagi orang yang hendak shalat sendirian- berdasarkan dalil bahwa adzan merupakan panggilan untuk shalat jamaah. Di antara ulama telah membedakan antara orang yang menginginkan shalat berjamaah dengan orang yang tidak menginginkannya.

لَا يَسْمَع مَدَى صَوْت الْمُؤَذِّن (tidak ada yang mendengar akhir suara muadzdzin) Yakni batas akhir suaranya. Al Baidhawi berkata, “Batas akhir suara muadzdzin lebih kecil dibanding permulaannya. Apabila orang yang berada di tempat yang jauh dapat menjadi saksi pada hari kiamat, apalagi orang yang lebih dekat tempatnya, tentu lebih bisa untuk menjadi saksi.”

جِنّ وَلَا إِنْس وَلَا شَيْء (jin dan tidak pula manusia serta sesuatu) Secara lahiriah termasuk juga hewan serta benda-benda mati, dan ini termasuk gaya bahasa yang menyebutkan kata yang bersifat umum setelah kata yang bersifat khusus. Hal ini didukung oleh riwayat Ibnu Khuzaimah yang menyebutkan, لَا يَسْمَع صَوْته شَجَرٌ وَلَا مَدَرٌ وَلَا حَجَرٌ وَلَا جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ (Tidak ada yang mendengar akhir suaranya, baik pohon,tanah, batu, jin dan manusia). Sementara dalam riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i melalui jalur Abu Yahya dari Abu Hurairah disebutkan, الْمُؤَذِّن يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْته ، وَيَشْهَدُ لَهُ كُلّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ (Muadzdzin akan diampuni dosanya sejauh -lantunan- suaranya, dan setiap

benda yang basah dan yang kering akan bersaksi untuknya). Riwayat serupa dinukil pula oleh An-Nasa’i dan lainnya dari hadits Al Barra’, serta di-shahih-kan oleh Ibnu As-Sakan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 209 – Kitab Wudhu

Hadits-hadits tersebut menjelaskan maksud kalimat وَلَا شَيْء (dan tidak pula sesuatu) dalam hadits bah ini. Sebagian ulama yang tidak sempat menemukan hadits-hadits tersebut telah membahas lafazh ini dengan pembahasan yang tidak sesuai bila ditinjau dari segi lahiriahnya.

Al Qurtubi berpendapat bahwa makna kalimat وَلَا شَيْء (dan tidak pula sesuatu) adalah malaikat. Tapi pendapat tersebut ditanggapi bahwa malaikat masuk dalam cakupan lafazh ”jin”, karena malaikat adalah makhluk yang tidak terlihat oleh kasat mata. Ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah semua makhluk hidup sampai yang tidak berpikir (binatang), kecuali benda-benda mati yang dapat mendengar suara muadzdzin. Sebagian mereka ada pula yang memahami sebagaimana makna lahiriahnya, dan ini tidak mustahil baik dalam tinjauan akal maupun syariat.

Ibnu Bazizah berkata, “Biasanya pendengaran, persaksian dan tasbih hanya lahir dari sesuatu yang hidup, maka apakah yang demikian itu merupakan hikayat tentang kondisinya dimana benda­-benda yang ada dapat berbicara dengan kebesaran penciptanya, atau ia berlaku sebagaimana makna lahiriahnya? Sementara bukan perkara yang mustahil bila Allah SWT menciptakan pada benda-benda tersebut kehidupan dan kemampuan berbicara. Adapun pembahasan seperti ini telah dijelaskan ketika menerangkan perkataan neraka, (Sebagian dariku telah memakan sebagian yang lain). Hal ini juga akan dijelaskan pada hadits yang menyebutkan, (Sapi berkata, “Sesungguhnya aku dicipta untuk pertanian.”) Dalam riwayat Imam Muslim dari hadits Jabir bin Samurah dari Nabi SAW disebutkan, (Sesungguhnya aku mengetahui batu yang dahulu memberi salam kepadaku).” Demikian perkataan Ibnu Bazizah.

Ibnu At· Tin menukil dari Abu Abdul Malik bahwa perkataan dalam hadits “tidak pula sesuatu” adalah seperti firm an Allah SWT, وَإِنْ مِنْ شَيْء إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِDan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya.” (Qs. Al Israa'(l7): 44) Tapi pendapat ini ditanggapi bahwa hubungan ayat dengan masalah tersebut masih diperselisihkan. Namun saya tidak mengetahui dasar tanggapan ini, sebab baik hadits maupun ayat adalah sama dalam kemungkinan dan penukilan perbedaannya. Kecuali jika dikatakan bahwa ayat tersebut tidak diperdebatkan keumumannya, tetapi yang diperselisihkan adalah apakah tasbih (pujian) dari sebagian benda itu dipahami sebagaimana makna sebenarnya (hakikat) atau hanya dipahami dalam bentuk majaz (kiasan) yang berbeda dengan hadits, wallahu a’lam.

Catatan: Apakah rahasia dibalik pcrsaksian yang dilakukan di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui apa-apa yang tersembunyi dan yang nampak?

Rahasia persaksian ini adalah untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya hukum-hukum yang ada di akhirat adalah seperti hukum-hukum makhluk di dunia, baik berupa pengajuan tuntutan, jawaban serta persaksian. Demikian dikatakan oleh Az-Zain bin Al Manayyar. Sedangkan At-Turbisyti mengatakan, bahwa maksud persaksian ini adalah untuk memaklumkan keutamaan dan ketinggian derajat orang itu pada hari kiamat. Sebagaimana Allah SWT membeberkan keburukan sebagian kaum dengan persaksian, Allah SWT juga mengangkat derajat sebagian kaum dengan persaksian pula.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 259 – Kitab Mandi

قَالَ أَبُو سَعِيد سَمِعْته (Abu Said berkata, “Aku mendengarnya … “) Al Karmani mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perkataan terakhir, yakni kalimat, “Sesungguhnya tidak ada yang mendengar… “

Saya (Ibnu Hajar) katakan, hadits ini telah diriwayatkan oleh Ar-Rafi’i dalam syarah-nya, bahwa Nabi SAW berkata kepada Abu Sa’id Al Khudri, “Sesungguhnya engkau menyenangi kambing…” dan seterusnya. Sementara Al Ghazali serta gurunya Al Qadhi Husain, Ibnu Daud (pensyarah Al Mukhtashar) dan selain mereka telah mendahuluinya. Tapi Imam An-Nawawi mengeritik hal itu. Lalu Ibnu Ar-Raf’ah mencoba menjawab kritikan terhadap para ulama tersebut dengan mengatakan bahwa mereka memahami maksud perkataan Abu Sa’id Al Khudri, “Aku mendengarnya dari Rasulullah SAW’, yaitu semua perkataan yang diucapkan sebelumnya. Namun kelemahan jawaban ini cukup jelas.

Hadits itu telah diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Ibnu Uyainah dengan lafazh, قَالَ أَبُو سَعِيد : إِذَا كُنْت فِي الْبَوَادِي فَارْفَعْ صَوْتك بِالنِّدَاءِ ، فَإِنِّي سَمِعْت رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول : لَا يَسْمَع (Abu Sa’id berkata, “Apabila engkau berada di lembah maka keraskanlah suaramu saat adzan, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak ada yang mendengar….”) dan seterusnya. Kemudian diriwayatkan juga oleh Yahya Al Qaththan dari Malik, “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda, (Apabila engkau adzan maka keraskanlah suaramu, karena sesungguhnya tidak ada yang mendengar…) clan seterusnya seperti di atas.” Dengan demikian, secara lahiriah penyebutan kata ”kambing” dan “lembah” hanya sampai kepada Abu Sa’id (mauquf). Wallahu a’lam.

Pelajaran yang dapat diambil: Dalam hadits ini ada sejumlah pelajaran yang dapat kita petik, di antaranya:

1. Disukainya melantunkan adzan dengan keras agar semakin banyak yang menghadiri shalat jamaah, selama tidak menyusahkan atau mengganggu yang lain.

2. Menyenangi kambing serta lembah terpencil khususnya saat terjadi fitnah merupakan amalan para ulama salaf.

3. Boleh tinggal di pedusunan serta bergaul bersama orang-orang terpencil dengan syarat memiliki pengetahuan yang memadai dan merasa aman dari pengaruh sikap mereka yang tidak beradab.

4. Disukainya mengumandangkan adzan bagi orang yang shalat sendirian, meskipun tidak ada orang lain yang akan shalat bersamanya, karena makhluk lain yang mendengarkannya akan menjadi saksi.

M Resky S