Hari Santri Nasional: Pertanda Zaman Nahdlatul Santri “Religius-Nasionalis”

hari santri nasional, zaman nahdlatul santri

Pecihitam.org – Adalah bumi Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, salah satu bumi pesantren tertua di Indonesia. Usianya telah genap lebih dari tiga abad (1715-2019 M.). Tercatat, sudah lebih dari 40 pondok pesantren berdiri di desa Babakan. Yang tertua adalah pesantren Raudlatuth Tholibin.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kiai pertama yang mendirikan pesantren di desa perbatasan dengan Kabupaten Majalengka itu adalah al-Maghfurlah KH. Hasanuddin atau Kiai Jatira.

Saya sendiri mulai menginjakkan kaki untuk ngaji di sana pada 2007 silam. Di pesantren Assanusi asuhan Kiai Ali Munir saya memulai menjadi santri. Hari-hari berlalu, tahun bergulir, tibalah kemudian saya merasakan hal berbeda.

Iya, sesuatu yang berbeda menjadi santri itu adalah ketika didaulatnya 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Apa yang berbeda

Secara natural kehidupan menjadi santri Babakan adalah tidak lepas dari kitab kuning dan teks-teks keislaman lain. Secara sederhana, santri itu pada umumnya adalah seseorang yang digadang-gadang menjadi pribadi yang betul-betul memahami Islam baik secara teoretik maupun praktik.

Baca Juga:  Duduk Perkara Delik “Zina dan Kumpul Kebo” dalam RKUHP

Santri adalah orang-orang yang berjiwa religius. Namun, setelah diresmikannya HSN tampak ada jiwa kesantrian yang berpuluh-puluh tahun hilang di bumi pesantren Babakan muncul kembali.

Kejiwaan itu ialah tiada lain jiwa patriotik dan nasionalis. Dengan adanya HSN, para santri Babakan khususnya merefleksikan diri dengan menggali sejarah perjuangan orang-orang pesantren melawan penjajah. Melalui HSN, para santri meneladai kiai bukan sekadar ihwal religiusitas semata.

Bahwa pada era penjajahan dan perang kemerdekaan (’45) orang-orang pesantren benar-benar andil memperjuangkan berdirinya dan bertahannya republik ini.

Sebagaimana diketahui, Hari Santri Nasional adalah satu momen untuk mengheningkan rasa, merefleksikan jiwa, dan peristiwa sejarah Nasional di mana eksistensi pesantren bukan sekadar sebagai lembaga pendidikan Islam tertua.

Lebih dari itu, pesantren betul-betul memiliki andil memperjuangkan kedaulatan bangsa. Refleksi HSN tidak bisa tidak adalah inheren dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama 1945.

Di pesantren Babakan khususnya, setiap tiba peringatan HSN, digelarlah upacara pengibaran bendera Sang Pusaka Merah Putih. Empat puluh lebih pondok pesantren pada pagi hari tanggal 22 Oktober akan berkibar di halamannya Merah Putih yang gagah mengangkasa. Hal demikian itu tidak saya dapati ketika mula-mula mesantren pada 2007.

Baca Juga:  Menjinakkan Bola Liar Khilafah Hizbut Tahrir

Dengan berkibarnya Merah Putih di pesantren-pesantren menjadi petanda zaman bahwa dunia pesantren yang puluhan tahun nyaris kehilangan jiwa patriot dan nasionalismenya kini bangkit kembali.

Pada era pasca reformasi ini, di mana semakin marak berbagai aliran yang berwatak takfirisme—pemahaman sektarian dengan klaim sepihak bahwa golongannya yang paling benar, adanya HSN menjadi petanda zaman bangkitnya kembali insan-insan religius yang betul-betul mencintai bangsanya.

Watak takfirisme itu kerap memonopoli “tafsir” keagamaan bahkan hingga ke level politik-kekuasaan. Hadirnya paham “khilafah” adalah bukti tak terbantahkan.

Sehingga, insan santri yang berjiwa religius-nasionalis adalah semangat zaman baru bagi keutuhan bangsa ini dari rongrongan ideologi anti-kebangsaan (nasionalisme).

Hari Santri Nasional bukan sekadar euforia kebangkitan komunitas pesantren dengan cuma seremonial perayaan. Lebih dari itu, HSN telah betul-betul melecut jiwa kesantrian yang “hilang” itu.

Baca Juga:  Pernikahan Wanita Salafi Wahabi dengan Pria Nahdliyyin, Mungkinkah?

Senada dengan adagium kesohor di kalangan santri Nahdliyyin “hubbul wathan minal iman”, mencintai tanah air (nasionalisme) adalah manifestasi keimanan, maka sungguh Hari Santri Nasional 22 Oktober adalah pertanda zaman Nadhlatul Santri, yakni “kebangkitan santri”.

Santri yang di dalam jiwanya diruh-spiriti kitab suci, santri yang di dalam jiwanya tumbuh dan menggelora api semangat patriotik mempertahankan keutuhan bangsa dan negara, santri yang betul-betul muhibbun ‘alal wathan—mencintai tanah airnya.

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *