Humor Santri: Gagal Jadi Pahlawan Kepagian

Humor Santr; Gagal Jadi Pahlawan Kepagian

Pecihitam.org – Santri pelajar tangguh. Bayangkan, (pengalaman pribadi) dimulai bakda subuh saya harus ngaji. Pukul tujuhnya hingga dhuhur belajar di sekolah formal. Tidur sebentar, bakda ashar ngaji, bakda maghrib ngaji, bakda isya ngaji. Belum lagi seabrek aktivitas lain berkaitan kitab, kitab, dan kitab. Namun, tak berarti tak ada ke-santuy-an di situ. Banyak pula aktivitas remeh tak terduga yang bisa disebut humor santri.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Anda tentu tahu Gus Dur? Iya, beliau satu diantara banyak tokoh representasi pesantren yang piawai melontar joke atau humor. Beliau pemikir kelas berat sekaligus pehumor sundul langit. Kira-kira begitulah santri. Tak sekaku wajah para tokoh wahabisme (ups), juga tak melulu melucu laiknya pelawak. Tengah-tengah lah; wasathiyah.

Berikut ini kisah saya pribadi sebagai humor santri ketika ngejar-ngejar maling yang, aduh sebetulnya saya malu menceritakannya di sini. Namun, untuk menyumbang humoritas di jagad kesantrian Nusantara saya bagikan cerita ini kepada handai tolan sekalian.

Selamat menikmati;

Kejadian ini kira-kira pada empat tahunan silam. Saat itu saya tengah menggarap satu naskah drama kabaret. Ketak-ketik-ketak-ketik menulis dan mikir, saya letih dan gelisah. Punggung ini berasa kaku. Akhirnya saya sudahi dulu merancang plot-plot adegan drama itu. Saya beranjak ke luar kamar, meregangkan badan. Saat itu sekira pukul dua dini hari.

Baca Juga:  Santri Positif Corona Menolak Dibawa ke RS, Sebut Hasil Tes Bisa Salah

Berdiri di depan kamar dan mengamati keadaan sekeliling, saya kaget dan penasaran bukan main. Saya melihat sesuatu yang tak lazim. Kebetulan kamar saya dekat rumah kiai.

Di pojok rumah kiai berlantai dua itu saya lihat sebuah meja yang biasanya memang tak ada. Entah mengapa kecurigaan saya waktu itu tertuju pada pelaku kriminal; maling!

“Wah, maling?!” batin saya sambil melirik ke atas ke genteng yang, entah kenapa ada satu genteng yang posisinya mencurigakan persis di atas meja itu. Seperti usai terinjak-injak.

Akhirnya dengan semangat pengabdian pada kiai tanpa syarat, saya beranjak ke kamar dan menggenggam erat sebuah lampu senter. Saya mengamati rumah kiai dengan cuma ditemani si lampu senter. Carat-corot-carat-corot sinar lampu senter menjamahi bangunan rumah kiai. Tiba akhirnya saya ke depan rumah kiai dan, ndilalahnya kiai saya keluar.

Baca Juga:  Santri Ponpes Al Fatah Temboro Magetan Positif Corona Bertambah 16 Orang

“Ada apa?”

“Anu, Kiai, tampaknya ada maling,” agak gugup saya menjawab.

“Wah, pantas saya tadi mimpi buruk,” tegas pak kiai.

Entah mengapa, insting saya mengatakan bahwa tampaknya si maling sudah merasa terawasi dan kabur ke kebun belakang asrama santri. Akhirnya saya lari menuju ke sana. Kiai saya tetap di depan rumah.

Mengendap-ngendap di kebun, saya membawa sebilah kayu balok lumayan kabir. Seorang teman membantu mengawasi dengan sinar lampu senter. Saat itu saya sebetulnya benar-benar takut, kalau-kalau si maling telah siap menerkam dari balik pepohonan pisang dengan sebilah golok. Tapi, bismillah saya kuat-kuatkan!

Akhirnya …

nihil! Jangankan sekelebat tubuh manusia didapati, siluetnya pun tak ada. Akhirnya saya berlarian kembali menghadap kiai saya.

“Bagaimana, ada?”

Baca Juga:  Inilah Detik-detik Terpilihnya Seorang Santri Jadi Presiden Republik Indonesia

“Tidak ada, Kiai,” sambil ngos-ngosan saya menjawab.

Sebelum kiai melanjutkan, saya beranikan mengungkap asal-muasal keheroikan saya dini hari itu ngejar-ngejar maling yang lepas dari buruan.

“Begini kiai, saya awalnya melihat meja itu,” sambil menunjukkan letaknya, “nah, saya melihat genteng di atasnya miring. Jadi saya duga ini ada maling masuk rumah.”

“Oh … itu, meja itu sengaja saya taruh di situ. Untuk menghalangi pipa saluran air yang memang baru disemen. Takut diinjak-injak santri.”

Kiai saya senyum-senyum. Saya malu bukan kepalang: gagal jadi pahlawan!

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW