Ijtihad, Alat Pemecah Dinamika Masalah Hukum Islam

ijtihad

Pecihitam.org – Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi dua sumber hukum terkuat umat Islam. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah swt, dan sampaikan melalui Rasulullah saw.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di masa sekarang, nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah dihentikan sejak wafatnya Rasulullah saw. Akan tetapi konsepsi hukum terus mengalami perkembangan seiring berjalannya peradaban.

Hukum terus mengalami modifikasi dari waktu ke waktu yang menyebabkan munculnya sumber hukum baru. Sumber hukum baru menjadi wadah bagi umat untuk menyikapi suatu perkara yang belum jelas hukumnya.

Untuk itu, guna memperoleh sumber hukum baru, diperlukan pengerahan pikiran dan tenaga secara maksimal yang disebut dengan ijtihad.

Secara bahasa ijtihad berarti bersungguh-sungguh. Sedangkan secara istilah ijtihad berarti mengerahkan seluruh kemampuan dalam rangka memperoleh hukum Islam dengan cara istimbat atau menemukan hukum.

Ijtihad bisa dilakukan apabila bahan hukum Islam tidak lengkap atau kurang lengkap. Kurang lengkapnya hukum bisa disebabkan misalnya oleh kemajuan teknologi yang menghasilkan permasalahan-permasalahan baru.

Pada masa Nabi, Ijtihad terjadi saat umat Muslim melakukan ekspedisi ke Bani Quraidhah. Perbedaan pengambilan hukum terjadi pada pelaksanaan sholat Ashar.

Baca Juga:  Syarat Sah Hukum Persusuan Menurut Para Fuqoha (Bagian 1)

Pasukan pernah mendengar Nabi bersabda “laksanakanlah sholat Ashar di Bani Quraidhah”. Akan tetapi, belum sampai di Bani Quraidhah, waktu sudah menunjukkan hampir berakhirnya sholat Ashar. Pasukan kebingungan antara melaksanakan perintah Nabi atau melaksanakan sholat Ashar tepat waktu.

Setelah melalui pemkiran panjang, sebagian pasukan melaksanakan sholat Ashar di perjalanan. Sedangkan sebagian yang lain melaksanakan sholat Ashar di bani Quraidhah. Perbedaan yang terjadi, Nabi benarkan keduanya.

Dalam perkembangannya, metode ijtihad diwariskan secara turun temurun kepada para shahabat hingga ulama. Ijtihad menjadi solusi di tengah permasalahan yang kian mengembang.

Di masa khalifah Abu Bakar, metode ijtihad salah satunya dipakai untuk menyelesaikan permasalahan pembangkang zakat. Khalifah Umar memakai ijtihad untuk menyelesaikan permasalahan pembayaran tentara menggunakan harta baitul mal. Sedangkan pada masa khalifah Usman, beliau menggunakan ijtihad pada permasalahan adzan Jum’at dua kali.

Karena pentingnya ijtihad sebagai metode pengambilan hukum, maka dibentuk tendensi syarat untuk menentukan mujtahid (orang yang berijtihad). Setidaknya ada tujuh syarat seseorang bisa memperoleh gelar mujtahid antara lain:

  • Pertama, paham seluk beluk bahasa Arab.
  • Kedua, paham sumber hukum.
  • Ketiga, mengetahui metode istimbat hukum.
  • Keempat, mengetahui maqosid Syari’at.
  • Kelima, harus mengetahui tempat-tempat ijma.
  • Keenam, keyakinan harus benar.
  • Ketujuh, harus punya niat yang baik.
Baca Juga:  Kesantunan Dakwah Islam Kepada Non Muslim Ala KH Hasyim Asyari

Tujuh syarat inilah yang menjadikan ulama-ulama sebagai pemikir ulung. Bahkan sda beberapa ulama yang tidak hanya berhasil mencapai ketujuh syarat tersebut, namun juga mempunyai nalar lebih untuk menemukan hukum berdasarkan berbagai macam ilmu.

Dari ketujuh syarat tersebut, maka didapatkan empat tingkatan mujtahid.

  • Pertama, Mujtahid Mutlak Mustakil, yaitu mujtahid yang memiliki pengethuan luas. Mereka memiliki kemampuan tendensi berpikir sesuai kaidah Ushul Fiqh. Level ini dimiliki oleh para sahabat, empat Imam madzhab, dan Imam at Tobari.
  • Kedua, Mujtahid Mutlak Ghairu Mustaqil, yaitu mujtahid yang tidak berijtihad dengan Ushul, jadi memakai kaidah berpikir Mujtahid Mutlak Mustaqil. Level ini dimiliki oleh para ulama yang mengikuti madzhab tertentu.
  • Ketiga, Mujtahid Muqayyad, yaitu mujtahid yang tidak berijtihad dalam hal usul maupun furu’, akan tetapi mengikuti ushul dan furu’ Imam madzhab. Dia berijtihad pada wilayah yang tidak dibahas Imam madzhabnya.
  • Keempat, Mujtahid Tarjih, yaitu mujtahid yang menimbang berbagai pendapat dalam madzhabnya, lalu dicari yang kuat.
Baca Juga:  Beginilah Kontribusi Besar Madzhab Al-Asy'ari Dalam Ilmu Hadits

Akibat ijtihad inilah kerangka hukum Islam menjadi kuat. Umat Islam tidak lagi buta akan suatu permasalahan. Ijtihad menjadikan umat Islam paham akan subtansi aturan yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Para ulama selalu mengasah pikiran untuk menemukan solusi atas setiap perkembangan masalah yang ada pada masyarakat. Pembiasaan cara berpikir inilah yang nantinya bisa memajukan Islam dalam berbagai lini kehidupan.  

Muhammad Nur Faizi