Islam Pribumi, Wajah Islam Indonesia yang Ramah Budaya

Islam Pribumi, Wajah Islam Indonesia yang Ramah Budaya

Pecihitam.org- Menemukan ‘wajah’ Islam Indonesia beberapa tahun terakhir ini memang sedang hangat diperbincangkan. Ini bisa dimengerti mengingat prosentasi umat Islam di Indonesia termasuk ke dalam jumlah umat Islam terbesar di seluruh dunia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sehingga banyak kalangan yang berkepentingan untuk berusaha menguak ‘wajah’ tersebut, terlebih sejak terdinya pengeboman WTC tahun 2001 lalu. Islam kemudian identik dengan kesan radikal dan teroris.

John L. Esposito menuturkan bahwa ada semacam konsensus umum bahwa Islam telah mapan dalam masyarakat lokal Indonesia pada abad ketiga belas dan berkembang pesat sekali pada abad kelima belas dan keenam belas.

Tersebarnya Islam di Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan Malabar di India Barat, juga orang Arab, khususnya Hadramaut. Pada umumnya, penduduk Indonesia masuk Islam secara damai. Islam yang datang tidak melenyapkan unsur lokal melainkan mengakomodirnya dengan memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya.

Sikap para pendakwah Islam yang permisif dan akomodatif terhadap tradisi-tradisi lokal inilah yang menjadikan Islam tumbuh subur di negeri ini. Sikap demikian ini, menurut Bisri Affandi, dikarenakan Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat India Barat sejatinya telah dipengaruhi budaya Hindu.

Sinkretisme agama Islam dengan Hindu memudahkan perkenalan agama ini pada penduduk asli. Islam dapat diterima di Indonesia dengan syarat dapat berjalan berdampingan dengan pola agama yang telah ada dan dapat mengasosiasikan diri dengan praktek agama dan kepercayaan. Kondisi serupa juga ditemukan pada orang Arab Hadramaut yang sangat lekat dengan mistisisme.

Baca Juga:  Inilah Kitab-Kitab Tafsir Al-Qur'an Karangan Para Ulama Nusantara

Islam Pribumi. Penamaan Islam Pribumi sejatinya ingin menonjolkan ciri keislaman yang khas Indonesia. Islam Indonesia yang khas dengan keramahan dan toleransinya tidak bisa dilepaskan dari sejarah kehadiran agama tersebut di Indonesia. Menurut Imdadun Rahmat, gagasan ini secara genealogis diilhami oleh gagasan Pribumisasi Islam yang pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid akhir tahun 80-an.

Gagasan Wahid dapat disarikan dalam tiga pilar:

Pertama, keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substansif ditafsirkan ulang atau dirumuskan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern.

Kedua, keyakinan bahwa dalam konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama negara, dan ketiga, bahwa Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan ideologi negara yang eksklusif.

Melalui gagasannya ini, Wahid mendeskripsikan Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing, tidak saling mengalahkan, melainkan berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.

Ini dikarenakan—bagi Wahid—Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah sama artinya dengan melepaskan diri kita dari akar budaya kita sendiri.

Baca Juga:  Pengaruh Kesenian Wayang dalam Penyebaran Dakwah Islam di Nusantara

Sebaliknya, Wahid menganjurkan proses kreatif yang menemukan kembali dan mengurai intisari agama dari totalitas Islam. Intisari Islam harus berfungsi sebagai basis inspirasional, bukan basis legal.

Gagasan Wahid terinspirasi dari semangat yang diajarkan Walisongo yang sangat toleran dan akomodatif terhadap budaya setempat selama proses dakwahnya di tanah Jawa sekitar abad 15-16 M.

Mereka telah mengadopsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang sudah pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam tradisi Islam.

Tatkala nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, maka tidak perlu lagi diubah sesuai dengan selera, adat, atau ideologi Arab. Karena, jika hal itu dilakukan maka akan menimbulkan kegoncangan budaya. Sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif daripada mengganti budaya itu sendiri.

Kedatangan para pendakwah yang tergabung dalam Walisongo ke tanah Jawa tidaklah untuk menaklukkan Jawa, namun untuk mengembangkan masyarakat Jawa yang sudah beradab dengan mengakui hak-hak kultural masyarakat setempat yang selama ini mereka jalankan dan kembangkan.

Strategi yang ditempuh oleh para Walisongo ini pada akhirnya terbukti efektif dalam mengakrabkan Islam dengan lingkungan setempat. Islam tidak dijauhi, melainkan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat karena tidak berhadap-hadapan secara frontal dengan adat dan tradisi yang mereka anut. Islam pun menjadi menyatu dengan kenusantaraan atau keindonesiaan.

Baca Juga:  Masjid Raya Mujahidin, Masjid Megah Kebanggaan Masyarakat Kalbar

Sepanjang pengetahuan penulis, gagasan Wahid ini selajutnya dielaborasi oleh Khamami Zada, Imdadun Rahmat dan kawan-kawan yang bergabung dalam Lakpesdam NU dengan mengambil nomenklatur Islam Pribumi, yang dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan keberagamaan (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda, sehingga Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan majemuk.

Islam pribumi berupaya mendialekkan ajaran-ajaran inti Islam ke dalam budaya-budaya lokal Indonesia. Dalam aksinya, Islam pribumi selalu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum-hukum inti dalam agama. Islam pribumi mengakomodir berbagai tradisi lokal dan memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Ini dikarenakan dalam sejarahnya, proses islamisasi di Jawa memang tidak bisa dipisahkan dari tradisi dan budaya lokal.

Mochamad Ari Irawan