Keseimbangan Fikih dan Tasawuf, Kunci Rahasia Kenikmatan Beribadah

Fikih dan Tasawuf

Pecihitam.org – Sering orang membuat pertentangan antara fikih dan tasawuf. Fikih berorientasi kepada masalah eksoterik (lahiriah) sedangkan tasawuf kepada esoterik (batiniah). Namun yang pasti, kedua-duanya adalah produk budaya Islam, yang secara peristilahan tidak pernah terdengar pada masa Rasul saw.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebenarnya, apabila melacak secara keseluruhan dari ajaran Islam, antara fikih dan tasawuf tidak terdapat perbedaan, yang ada hanyalah penekanan. Sebab keduanya berakar pada tiga pilar yang menjadi penyangga ajaran Islam, yakni iman, Islam, dan ihsan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam sebuah hadits Nabi yang mengisahkan dialog antara Nabi dengan malaikat Jibril, sebagai berikut:

“Abu Hurairah berkata bahwa pada suatu hari ketika Nabi berada di tengah-tengah sahabat, datanglah seorang laki-laki, lalu bertanya, wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan iman? Nabi menjawab: hendaklah beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan engkau beriman kepada hari kebangkitan. Lalu dia bertanya lagi, apakah Islam itu? Nabi menjawab, hendaklah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat yang difardlukan, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Kemudian dia bertanya lagi, apakah ihsan itu? Nabi menjawab, hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu” (Imam Muslim).

Baca Juga:  Penyelarasan Tasawuf dengan Syariat dalam Pemikiran Imam Al-Ghazali

Mengacu pada dialog Nabi di atas, maka bisa diberi pengertian bahwa secara esensial, fikih bisa ditarik dari ‘al-Islam’ dan tasawuf berakar pada ‘al-ihsan’. Al-Islam berorientasi pada amaliah yang bersifat lahiriah, sementara al-ihsan lebih pada penghayatan batiniah.

Dengan fikih seseorang akan dapat mengetahui perbuatan yang seharusnya dilakukan menurut penilaian syara’. Sedangkan bila tasawuf berakar pada al-ihsan, maka dapat diungkapkan secara sederhana bahwa tasawuf merupakan kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara seorang Muslim dengan Tuhan.

Di samping itu, tasawuf merupakan suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.

Dalam pengertian seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah ajaran yang sangat penting dalam Islam. Karena esensi tasawuf adalah membina akhlak manusia.

Hal ini searah dengan salah satu tujuan diturunkannya Islam, yaitu membina akhlak umat manusia di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Baca Juga:  Inilah Gambaran Ketika Manusia Melintasi Jembatan Shiratal Mustaqim

Memang, antara fikih dan tasawuf mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah sebuah ilmu yang membicarakan bagaimana mengadakan hubungan dengan Allah.

Namun antara keduanya terdapat perbedaan penekanan. Fikih lebih membicarakan hukum lahiriah, sedangkan tasawuf membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan kerohanian atau kebatinan seseorang.

Dengan demikian, pemilahan antara kedua ilmu ini sebenarnya sebatas dalam pemahaman dan metode yang dipakai. Menurut imam al-Thusi (1997), syariat adalah sebuah nama yang mengandung dua pengertian, yakni riwayah dan dirayah. Namun apabila keduanya terhimpun, maka akar dari ilmu syariat tersebut mengarah pada alam lahir, sedangkan dari amal batin memunculkan ilmu tasawuf.

Menurut Prof. Amin Syakur (2012), dalam praktik pengamalan ajaran Islam, antara yang lahirian dan batiniah sama sekali tidak bisa dipisahkan. Orang yang beribadah perlu penghayatan. Namun penghayatan agama saja tidak cukup, ia harus dilakukan secara tertib sesuai dengan aturan formal yang ditentukan oleh ilmu fikih.

Baca Juga:  Sejarah Awal Mula Munculnya Sajadah Sebagai Alas Shalat

Hal ini juga sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Imam Malik bahwa “barang siapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia akan menjadi fasiq, dan sebaliknya siapa yang bertasawuf tanpa fikih, maka ia akan menjadi kafir zindiq. Dan barang siapa yang melakukan keduanya, niscaya dia menjadi golongan Islam yang hakiki”.

Jauh sebelum imam Malik, seorang sufi bernama Abu Yazid al-Busthami pernah mengatakan bahwa “janganlah engkau tergiur apabila melihat seseorang mendapatkan karamah, sehingga dia mampu terbang di atas udara, sebelum engkau melihatnya bagaimana dia menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan”.

Karenanya, antara fikih dan tasawuf seyogyanya dapat selalu bergandengan tangan, bahwa seorang Muslim akan selalu butuh penghayatan keagamaan, baik secara lahir maupun batin. Keseimbangan antara keduanya dari segi pengamalan keagamaan, akan membuat seorang Muslim makin menikmati lezatnya beribadah kepada Allah.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *