Sejarah Berdiri hingga Runtuhnya Dinasti Turki Utsmani

dinasti turki utsmani

Pecihitam.org – Pendiri Dinasti Turki Utsmani adalah bangsa Turki dari kabilah Oghus, yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara negeri Cina, yang dipimpin Suleiman. Ia mengajak sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol yang menyerang dunia Islam pada Tahun 1219-1220 M.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pada abad ke 13 M saat Jengis Khan mengusir orang-orang Turki dari Khurasan dan sekitarnya, Sulaiman Syah (Kakek dari Utsman) bersama pengikutnya kemudian bermukim di Asia Kecil. Sulaiman mempunyai 4 orang putri yaitu Shunkur, Gundogdur, Al Thurgil dan Dun Dar. Kemudian Sulaiman Syah dan pengikutnya berpindah lagi ke Syam.

Dalam perjalanan menuju Syam tersebutlah Sulaiman Syah meninggal dunia karena tenggelam di sungai Eufrat. Karena kecelakaan tersebut rombongan itu terpecah menjadi dua, sebagian kembali ke daerah asalnya yang dipimpin dua putri Sulaiman yang pertama.

Sementara rombongan kedua melanjutkan perjalanan ke Syam bersama dua orang putra Sulaiman yang terakhir. Rombongan kedua ini dipimpin oleh Al Thurgil dan akhirnya mereka berhasil mendekati Sultan Saljuk yang bernama Sultan Alaudin II di Kunia.

Ketika Dinasti Saljuk diserang Bizantium, Al Thurgil membantu Sultan Alaudin II sehingga berhasil mengalahkan serangan Bizantium. Sebagai balas jasanya, Sultan Alaudin memberikan daerah Iski Shahr dan sekitarnya (wilayah yang beratasan dengan Bizantium) kepada Al Thurgil. Mereka terus mengembangkan wilayah tersebut dan akhirnya memilih Syukud sebagai Ibu kota. Disanalah lahir putranya yang pertama yaitu Utsman. Nama Utsman inilah yang kelak menjadi nama kerajaan Tuki Utsmani

Pada 1258 M Al Thurgil meninggal dunia. Selanjutnya Utsman anaknya, mendeklarasukan dirinya sebagai sultan. Maka berdirilah Dinasti Turki Ustmani. Ustman kemudian memindahkan Ibukota ke Yeniy. Pada 1300 M, bangsa Mongol melakukan penyerangan ke wilayah Dinasti Saljuk, menyebabkan terbunuhnya sultan Saljuk Sultan Alaudin II tanpa meninggalkan pewaris tahta.

Maka Utsman mengumumkan diri sebagai Sultan yang berdaulat penuh. Ia mengakapanyekan dirinya dengan mencetak mata uang dan pembacaan khutbah atas nama dirinya. Kekuatan mikiter yang dimiliki Utsman menjadi benteng pertahanan bagi kerajaan-kerajaan kecil dari serangan Mongol. Dengan demikian mereka secara tidak langsung mengakui Utsman sebagai penguasa tertinggi.

Baca Juga:  Pengaruh Arab dalam Proses Masuknya Islam di Nusantara

Pada awalnya kerajaan Turki Utsmani hanya memiliki wilayah yang kecil, namun dengan adanya dukungan militer, tak lama kemudian Dinasti Turki Utsmani menjadi kerajaan yang sangat besar dan bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama.

Meski mencapai kejayaan yang luar biasa, akhirnya Dinasti ini runtuh dengan beberapa faktor. Yang menarik adalah keruntuhan Dinasti ini juga menjadi penghapusan sistem khilafah yang selama ini menjadi sistem yang diterapkan oleh kaum muslim.

Dinasti Turki Utsmani dikenal dengan dinasti yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas, hal ini karena sebagian besar pemimpinnya lebih fokus pada melakukan ekspansi. Untuk itu Orkhan membentuk pasukan militer yang dikenal dengan sebutan Inkisyariyah (Janissary).

Dinasti Turki Usmani mengalami kemunduran akibat beberapa faktor yang antara lain, penduduk yang memiliki corak beragam, lemahnya para sultan pengganti Sultan Sulaiman, kerusakan moral para sultan, istri sultan ikut campur dalam mengatur pemerintah, dan juga terjadi kemerosotan di bidang ekonomi.

Sementara keruntuhan Dinasti Turki Usmani dimulai sejak adanya modernisasi yang dilakukan oleh penguasa Utsmani akibat adanya pengaruh barat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu kekalahan dalam peperangan dengan barat juga mendorong Dinasti Usmani berusaha mencari kunci keberhasilan barat.

Para penguasa Dinasti Utsmani berusaha mengirim utusan-utusan untuk memperlajari modernisasi di barat agar kelak dapat di terapkan di daerah kekuasaan Usmani. Modernisasi mulai dilakukan dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang pendidikan, kemiliteran, dan lain sebagainya. Bahkan ketika masa pemerintahan Sultan Mahmud II, secara tegas terdapat pembedaan antara masalah dunia yang diatur dengan hukum sekuler dengan hal-hal yang berkaitan dengan agama diatur oleh syariat.

Setelah itu muncul pula Dewan Tanzimat yang berusaha mengadakan reformasi di Turki. Tanzimat sendiri dapat diartikan sebagai pengaruh langsung bangsa Eropa terhadap para pemimpin dan pemikir Turki. Dewan ini diketuai oleh Muhammad Sadik Rifat Pasya. Menurutnya, modernisasi yang membawa kemajuan di barat terwujud karena adanya kedamaian dan hubungan baik antar negara Eropa. Oleh karena itu model pemerintahan absolut yang dianut Turki sebaiknya dihilangkan.

Pengaruh barat ini menimbulkan kelemahan bagi Dinasti Turki Usmani. Kelemahan Usmani ini dimanfaatkan oleh Eropa untuk mendesak persamaan hak antara orang Eropa yang beragama Kristen dengan warga Turki yang beragama Islam. Akhirnya Sultan Abdul Majid menetapkan sebuah piagam yang memenuhi tuntutan tersebut yakni Hatt-i Humayun.

Baca Juga:  Cerita Masjid Cordoba Andalusia Berubah Menjadi Gereja La Mezquita

Semakin lama Eropa menuntut perlakuan yang sama dengan kaum muslim dalam berbagai bidang, mulai dari pajak, pendidikan, pendirian fasilitas umum untuk mereka, dan lain sebagainya. Namun ternyata kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sultan mendapat kritikan dari ulama pada masanya. Hal ini karena barat dijadikan tolak ukur modernisasi sehingga sekulerisasi terjadi di berbagai bidang.

Selain itu muncul pula gerakan lain yang sebenarnya menentang para tokoh Tanzimat, mereka adalah Utsmani Muda, yang salah satu tokohnya adalah Ziya Pasya. Tujuan mereka ialah untuk menghentikan pemikiran bebas tokoh-tokoh Tanzimat. Mereka menganggap Tanzimat terlalu memaksakan sistem barat yang belum tentu sesuai dengan Islam.

Usmani Muda menganggap pemikiran barat memang perlu dipakai, tapi harus disesuaikan dengan ajaran Islam terlebih dahulu. Mereka berpendapat bahwa jika Dinasti Turki Usmani ingin maju, maka harus menggunakan sistem konstitusi dalam pemerintahannya. Usmani Muda juga mengusulkan adanya sebuah konstitusi sebagai landasan dalam pemerintahan.

Akhirnya konstitusi 1876 disetujui oleh Sultan Abdul Hamid II, sebagai konstitusi resmi. Konstitusi ini memperlihatkan sifat semi-otokratis dan belum demokratis. Dengan adanya konstitusi ini ternyata menjadikan sultan lebih absolut dalam memerintah karena sultan diberi beberapa hak khusus yang ditetapkan oleh konstitusi tersebut. Hal ini menandakan kegagalan tujuan Usmani Muda. Bahkan karena dianggap tidak sesuai dengan keinginan gerakan ini, Usmani Muda mencoba menggulingkan sultan, namun gagal.

Akhirnya Utsmani Muda dihancurkan oleh sultan karena dianggap membahayakan. Setelah itu kelompok yang tidak suka terhadap keabsolutan sultan mulai bermunculan yang salah satunya adalah gerakan Turki Muda. Salah satu tokoh yang berpengaruh adalah Ahmad Riza dengan pendapatnya bahwa Turki Usmani dapat diselamatkan dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan, bukan dengan teologi dan metafisika.

Gerakan Turki Muda ini memiliki beberapa perkumpulan yang pada perkembangannya melakukan pemberontakan kepada sultan. Untuk menjaga eksistensinya, sultan memenuhi salah satu tuntutan mereka yakni memberlakukan kembali konstitusi dan melaksanakan pemilihan umum, dan meninggalkan sistem keabsolutan sultan.

Baca Juga:  Membaca Sejarah Kerajaan Islam Liberia

Sejak saat itulah Turki Muda mulai ikut campur dalam kekuasaan Kerajaan Utsmani. Daerah-daerah Dinasti Turki Utsmani yang ada di Eropa memanfaatkan situasi ini dengan melepaskan diri dari pusat dan memerdekakan diri.

Bukan hanya negeri-negeri eropa yang memang sedang mengalami kemajuan dan memberontak kerajaan Turki Utsmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak. Di Mesir kelemahan-kelemahan Kerajaan Utsmani membuat Dinasti Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, tahun 1770 M Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Perancis tahun 1798 M.

Libanon dan Syiria, Fakhral Din yang seorang pemimpin Dntze, berhasil menguasai Palentina, dan pada tahun 1610 M merampas Ba’albak dan mengancam Damaskus. Fakhr al Din baru menyerah pada tahun 1635 M.

Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih berjaya juga beberapa kali melakukan perlawanan dengan Kerajaan Turki Utsmani dan beberapa kali pula memenagkan peperangan.

Sementara itu di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi Muhammad ibnu Abdul Wahhab yang dikenal dengan gerakan Wahhabiyah dengan penguasa lokal Ibnu Sa’ud. Mereka berhasil menguasai beberapa daerah Jazirah Arab dan sekitarnya pada paruh kedua abad ke 18 M.

Pemberontakan banyak terjadi pada Dinasti Turki Utsmani ketika sedang mengalami kemunduran. Gerakan-gerakan seperti itu berlanjut hingga abad ke 19 – 20 M. Akhirnya Dinasti Turki Utsmani runtuh dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M, dengan pendiri dan presiden pertamanya Mustafa Kemal Ataturk.

*Diolah dari berbagai sumber

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik