Sejarah Wali Songo dan Proses Islamisasi Melalui Seni dan Budaya Nusantara

Sejarah Wali Songo dan Proses Islamisasi Melalui Seni dan Budaya Nusantara

Pecihitam.org – Dalam literatur Jawa, penjelasan yang paling lengkap dan memadai tentang sejarah Wali Songo terdapat dalam suatu sumber yang disebut Babad.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagian naskah Babad ini mencapai 6000 halaman. Penelitian tentang Wali yang bersumber pada Babad telah dimulai oleh Ringkes yang pada tahun 1910 mulai menginventarisasi subjek-subjek yang berkaitan dengan para Wali ini.

Pada tahun 1982, lembaga riset dan survey IAIN Wali Songo melakukan penelitian tentang Wali Songo, tetapi terbatas pada inventarisasi tentang keyakinan yang hidup dan ada pada masyarakat tentang Wali itu.

Sumber-sumber otoritatif menyebutkan bahwa pada dasawarsa 1440-an telah datang kakak-beradik asal Champa, yang tertua bernama Ali Murtolo (Murtahdo) dan yang muda bernama Ali Rahmatullah bersama sepupu mereka bernama Abu Hurairah ke Jawa.

Melalui bibinya, Darawati, yang dipersunting Sri Prabu Kertawijaya Raja Majapahit (1447-1451 M), Ali Rahmatullah diangkat menjadi imam di Surabaya dan kakaknya diangkat menjadi Raja Pandhita di Gresik.

Berpangkal dari keluarga asal Champa itulah penyebaran agama Islam berkembang di wilayah Majapahit terutama setelah putra-putra, menantu-menantu, kerabat, dan murid-murid dua orang tokoh kakak-beradik itu berdakwah secara sistematis melalui jaringan dakwah yang disebut “Wali Songo”, yang menurut perkiraan, dibentuk pada pertengahan dasawarsa 1470-an.

Kelompok “Wali Songo”

Tentang siapa-siapa yang termasuk dalam kelompok Wali Songo itu, di kalangan masyarakat Jawa tidak dijumpai kesatuan pendapat. Umumnya orang berpendapat bahwa yang termasuk kelompok Wali Songo adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Mulia.

Dalam babad Cirebon, naskah No. 36 koleksi Brandes dikemukakan bahwa yang dimaksud Wali Songo tidak lain adalah Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Syekh Majagung, Maulana Magribi, Syekh Betong, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Gunung Jati.

Dalam konteks ini, susunan Wali Sembilan menjadi berubah karena adanya pendapat yang berbeda-beda.

Sementara itu, Agus Sunyoto (2012) memaparkan secara tegas dan meyakinkan bahwa kelompok Wali Songo terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Syekh Siti Jenar, Sunan Kudus, dan Sunan Muria.

Baca Juga:  Adzan Pitu, Tradisi Masyarakat Cirebon dalam Menangkal Wabah Penyakit

Dalam hal ini, Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak dimasukkan karena beliau datang ke bumi Nusantara sekitar lima puluh tahun sebelum kedatangan Sunan Ampel.

Sementara catatan sejarah menunjukkan bahwa sebelum Sunan Ampel berdakwah, penduduk pribumi secara keseluruhan masih menganut agama lokal dan Hindu-Budha.

Sehingga dapat dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim sama sekali tidak melakukan proses dakwah dan belum memiliki pengikut dari penduduk pribumi yang masuk Islam.

Syekh Siti Jenar dimasukkan dalam jajaran kelompok Wali Songo karena beliau memiliki peran penting dan urgen dalam berdakwah dan melakukan proses Islamisasi di Nusantara, terlepas apakah ajaran-ajarannya sah atau menyesatkan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Syekh Siti Jenar juga memiliki pengikut yang sangat banyak dengan tarekat Satariyah yang menjadi ajarannya.

Dengan demikian, penulis lebih sepakat dengan pendapat dari Sunyoto yang bisa menyajikan fakta-fakta obyektif dan lebih meyakinkan tentang siapa saja tokoh-tokoh yang terdapat dalam jajaran kelompok Wali Songo.

Tujuan Dakwah

Dakwah atau penyiaran agama Islam merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim, karena hal itu secara jelas diperintahkan oleh Islam. Setiap muslim harus menyiarkan agamanya, baik yang pengetahuannya sedikit maupun yang banyak, kepada orang yang belum mengetahuinya.

Hal itu disebabkan karena kebenaran yang terkandung di setiap dada Muslim tidak akan diam, kecuali kebenaran itu terwujud dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Dan ia tidak akan merasa puas hingga ia menyampaikan kebenaran itu pada tiap orang,, sehingga apa yang ia percayai itu juga diterima sebagai kebenaran oleh anggora masyarakat dan umat manusia pada umumnya.

Dari sejak lahirnya, Islam adalah agama dakwah, baik dalam teori maupun dalam praktik. Kehidupan nabi Muhammad pun merupakan contoh yang baik. Ajaran Islam adalah universal dan agama Islam tidak membeda-bedakan warna kulit, ras dan bangsa, kedudukan sosial, dan sifat-sifat insidental yang melekat dalam diri manusia. Itulah sebabnya, menurut kodratnya Islam memang harus tersiar dan diterima oleh berbagai kelompok umat manusia (Ali, 1993).

Baca Juga:  Sikap Nahdlatul Ulama Tentang Hubungan Antara Muslim dengan Non Muslim - Bagian 2

Melihat nama-nama dari anggota dewan Wali Songo dengan gelar yang diberikan kepada mereka, dapat diduga bahwa para wali itu memiliki keahlian yang holistik terutama dalam bidang keislaman, serta keahlian yang mereka capai itu tentu bukan dengan sembarangan, tetapi secara tekun dan mendalam belajar dari guru kenamaan dan miliki ilmu yang luas. Sehingga mereka membawa bekal yang mumpuni, dakwah Wali Songo dapat dikatakan memperoleh hasil yang sangat gemilang.

Menurut Amin (1980) dakwah memiliki tiga tujuan, yang dalam hal ini akan dikontekskan dengan dakwah Wali Songo. Pertama, adalah menanamkan akidah yang mantab disetiap hati seseorang, sehingga keyakinannya tentang ajaran Islam tidak dicampuri dengan keraguan.

Salah satu upaya para Wali Songo dalam rangka menanamkan akidah Islam kepada masyarakat Jawa salah satunya adalah dengan menggunakan sarana mitologi Hindu.

Salah satu bukti dimanfaatkannya mitologi Hindu sebagai model untuk menanamkan akidah Islam oleh para Wali Songo adalah dilakukannya “de-dewanisasi” yang berupa cerita-cerita yang terkait dengan kelemahan dan kekurangan dewa sebagai sesembahan manusia.

Kedua, adalah tujuan hukum. Maka dakwah harus diarahkan kepada kepatuhan setiap orang terhadap hukum yang telah disyariatkan oleh Allah.

Salah satu upaya para wali dengan menyebarluaskan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa agar mau mematuhi hukum syariat Islam adalah dengan membentuk nilai tandingan bagi ajaran Yoga-Tantra yang berasaskan Malima.

Sementara tujuan dakwah yang ketiga adalah menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat Jawa. Sehingga terbentuk pribadi muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat terpuji dan bersih dari sifat-sifat tercela. Para wali dalam menanamkan dakwah Islam di tanah Jawa ditempuh dengan cara-cara yang sangat bijak dan adilihung.

Proses Islamisasi Seni dan Budaya

Seni pertunjukan yang potensial menjadi sarana komunikasi dan transformasi informasi kepada publik, terbukti menjadikan sarana yang efektif oleh Wali Songo dalam usaha penyebaran berbagai nilai, paham, konsep, gagasan, pandangan, dan ide yang bersumber dari agama Islam.

Cara ini dilakukan, baik melalui proses pengambilalihan lembaga pendidikan asrama atau dukuh maupun melalui pengembangan sejumlah seni pertunjukan dan produk budaya tertentu untuk disesuaikan dengan ajaran Islam.

Baca Juga:  Metodologi dan Ide Islam Nusantara di Indonesia

Dari sini, lahirlah bentuk-bentuk baru kesenian hasil asimilasi dan singkretisasi kesenian lama menjadi kesenian tradisional tradisional khas yang memuat misi ajarah Islam.

Pada masa Majapahit, seni pertunjukan umumnya berkaitan dengan fungsi-fungsi ritual yang mengacu pada nilai-nilai budaya agraris yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan Hindu-Budha.

Menurut catatan Sunyoto (2012) bahwa seni pertujukan yang berkaitan dengan fungsi-fungsi ritual keagamaan memiliki enam ciri, yakni; membutuhkan tempat pertunjukkan yang dipilih yang lazimnya dianggap sakral, dibutuhkan pilihan hari dan waktu yang juga dianggap sakral, Butuh pemain terpilih yang dianggap suci atau bersih secara spiritual, dibutuhkan sesaji yang banyak jenis dan macamnya, tujuan spiritual lebih diutamakan daripada nilaib estetis, dan terakhir menggunakan busana khusus.

Yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia zaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan. Yang dimaksud dengan kebudayaan purba dalam konteks ini disebut kepercayaan animisme dan dinanisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki “daya sakti” dan kepercayaan terhadap arwah; sejatinya, yang dimaksud dengan animisme-dinamisme itu adalah ajaran Kapitayan.

Proses islamisasi kebudayaan purba sebagaimana ungkapan di atas adalah bukti asimilasi yang dilakukan oleh para penyebar Islam generasi Wali Songo.

Bukti asimilasi lain dalam usaha mengislamkan anasir Hindu, adalah mengubah badan sekaligus menyesuaikan epos Ramayana dan Mahabharata yang sangat digemari masyarakat dewasa itu dengan ajaran Islam.

Anasir Hindu yang dianggap penting untuk diislamkan adalah pakem cerita wayang yang didasarkan pada cerita Ramayana dan Mahabharata. Dalam proses tersebut terjadi “dedewanisasi” menuju “humanisasi” demi tumbuhnya tauhid.

Dengan kenyataan historis tentang keberadaan gubahan-gubahan model seni dan budaya yang menyimbang dari naskah induknya, semakin jelas bahwa usaha-usaha para penyebar Islam yang dikenal dengan nama kelompok Wali Songo itu telah melakukan perombakan seting budaya dan tradisi keagamaan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *