Siti Khadijah, Seorang Janda yang Menjadi Istri Pertama dan Tercinta Nabi Muhammad SAW

Siti Khadijah, Seorang Janda yang Menjadi Istri Pertama dan Tercinta Nabi Muhammad SAW

PeciHitam.org Salah satu sifat Basyariah Nabi Muhammad SAW terwujud dalam bentuk pernikahan. Seperti laiknya manusia pada umumnya, Nabi Muhammad SAW menikah dengan wanita dan berketurunan. Keturunan Nabi Muhammad SAW kemudian terkenal menggunakan Istilah Habib, Syarif, Sayyid dan Syarifah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Keturunan Nabi Muhammad SAW tersebar keseluruh penjuru dunia menyebarkan agama Islam, ajaran kakeknya. Istri-istri Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang saja, akan tetapi banyak bahkan terbilang banyak untuk ukuran orang modern.

Istilah untuk menyebut Istri Nabi yaitu Ummul Mukminin dan penyebutan jamaknya yaitu Ummahatul Mukminin.

Daftar Pembahasan:

Pernikahahan dan Basyariyah Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi yang diutus sebagai penutup semua nabi dan rasul. Tidak ada Nabi dan Rasul setelah pengutusan Muhammad SAW yang akan membawa syariat baru. Beliau disemati sifat kesempurnaan sebagai manusia dan keteladanan sifat mulia.

Tidak ada cacat bagi beliau baik fisik dan perilaku akhlaknya. Sifat kesempurnaan Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk oleh Allah SAW  diimbangi dengan sifat basyariah untuk menunjukan bahwa Nabi SAW adalah sebagai utusan belaka untuk meluruskan manusia.

Bukti sifat basyariah Nabi SAW banyak antara lain Nabi pernah buat lupa oleh Allah SWT, Nabi menikah, beliau bisa sakit, biasa bergaul-bercanda dengan sahabat dan meninggal dunia.

Menurut KH Bahaudin Nursalim, bahwa sifat Basyariah Nabi Muhammad SAW harus ditunjukan dalam bentuk riil agar tidak dikultuskan sebagaimana Nabi Isa AS.

النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

Artinya; “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah)

Nabi SAW diketahui memiliki banyak Istri yang disebut Ummul Mukminin. Dan pernikahan pertama Nabi terjadi ketika Muhammad SAW berumur 25 tahun dengan Janda Kaya Raya berumur 40. Janda dua kali tersebut bernama Khadijah binti Khuwailid. Istri pertama Khadijah binti Khuwailid adalah Abu Halah At-Tamimi dan yang kedua adalah Atiq bin Aidz bin Makhzum.

Baca Juga:  Abu Ali al-Haddad dan Pengalaman Spiritual Bersama Gurunya

Tetapi Siti Khadijah dikenal sebagai wanita suci meskipun sudah menikah dua kali. Silang pendapat Ulama terjadi terkait suami sebelum Muhammad SAW dan anak hasil pernikahan sebelumnya. Sebagian Ulama meyakini bahwa Siti Khadijah sudah menikah dua kali, dan sebagian lain menyebut hanya sekali.

Pun keturunan Siti Khadijah dengan pernikahan sebelumnya banyak diperdebatkan keabsahannya. Akan tetapi, Tarikh menulis bahwa Nabi Muhammad SAW menikahi Siti Khadijah dalam keadaan Janda ketika berumur 40 tahun.

Keterangan lanjutan dituliskan dalam kitab Khulashah Nuril Yaqin bahwa Muhammad SAW adalah anak buahnya dan dilamar Juragannya.

Siti Khadijah Istri Pertama dan Tercinta

Nabi Muhammad SAW menikah dengan Khadijah binti Khuwailid atas pinangan atasnya tersebut. Ketertarikan Khadijah RA yang seorang saudagar kaya dan cantik jelita karena melihat Muhammad bin Abdullah pemuda yang jujur dan berkepribadian tinggi.

Siti Khadijah juga merupakan wanita yang cerdas dengan kemampuan dalam memahami agama Islam dengan cepat. Kecerdasan Siti Khadijah teruji ketika beliau menjadi orang pertama yang beriman kepada Muhammad SAW setelah turun wahyu pertama Al-Alaq: 1-5.

Khadijah bin Khuwailid banyak mendapat pujian karena keikhlasan dan kedermawanan beliau untuk memperjuangkan Islam. Ummul Mukminin Khadijah mendapat julukan al-Kubra yang bermakna ‘Yang Agung’ karena sifat dan kecintaan Nabi kepada beliau.

Kiai Kharismatik Nusantara, KH Maemun Zubair bahkan menjadikan wirid manaqib Khadijah sebagai rutinan. Redaksi Manaqib dalam bentuk Qashidah adalah sebagai berikut;

سعدنا في الدنيا * فوزنا في الأخرى
بخديجة الكبرى * وفاطمة الزهرا

Artinya; Sungguh Beruntung diduna dan berbahagia di Akhirat

(yakni) Sayyidah Khadijah Al-Kubra (Istri Rasul) dan fatimah Azzahra (putri Rasul)

Pujian kepada Khadijah memang tidak akan pernah berhenti karena keagungan dan keluhuran budinya. Pendamping terlama Rasulullah SAW yang sangat dicintai rasul bahkan ketika sudah berpulang. Tahun meninggalnya Khadijah Al-Kubra dinamakan ‘ammul Huzni’ atau tahun kesedihan.

Baca Juga:  Kisah Toleransi Asma Binti Abu Bakar, Si Pemilik Dua Selendang

Janda yang kaya raya rela berkorban untuk seorang lelaki muda mantan anak buahnya, seorang yatim piatu dan cenderung miskin. Kiranya tidak salah Nabi Muhammad sangat mencintai Khadijah al-Kubra bahkan setelah beliau menikah dengan orang lain.

Aisyah binti Abu Bakar, adalah periwayat hadits wanita terbanyak dan Istri termuda Nabi Muhammad SAW dibuat cemburu oleh Khadijah.

مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم  مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتَهَا وَلَكِنْ كَانَ النبي صلى الله عليه وسلم يُكْثِرُ ذِكْرَهَا وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يَقْطَعُهَا أَعْضَاءَ ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيْجَةَ فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ فَيَقُوْلُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ

Artinya; “Aku tidak pernah cemburu pada seorangpun dari istri-istri Nabi SAW seperti kecemburuanku pada Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya akan tetapi Nabi SAW selalu menyebut namanya. Terkadang Nabi menyembelih seekor kambing kemudian beliau memotong-motongnya lalu mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah.

Terkadang aku berkata kepadanya, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita yang lain kecuali Khadijah”, lalu Nabi SAW berkata, “Dia itu wanita yang demikian dan demikian dan aku memiliki anak-anak darinya.” (HR Al-Bukhari)

Kecemburuan Aisyah RA yang seorang Istri Muda dan tercantik bermula ketika suaminya sering menyebut kebaikan Ummul Mukminin Khadijah RA yang  sudah meninggal. Tentunya perasaan wanita merasa bahwa Nabi Muhammad SAW lebih sayang Istri pertama daripada ia.

Perbedaan Istri Nabi lainnya (kecuali Maria Al-Qibtiyah) dengan Ummul Mukminin Khadijah adalah melalui jalur Khadijah-lah Nabi memiliki keturunan yang sampai sekarang ada.

Pernikahan dengan Ummul Mukminin Khadijah RA menghasilkan 4 Putri dan 2 Putra. Yakni Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqaiyah, Ummi Kultsum dan Fatimah Az-Zahra.

Lewat jalur Fatimah Az-Zahra yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib, Muhammad SAW memiliki cucu Hasan dan Husein. Dan sampai sekarang kita mengenal Dzurriyah Rasul yakni para Habaib, Syarif dan Syarifah.

Baca Juga:  Kecerdasan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi Membuat "Gerah" Salafi Wahabi

Poligami dalam Islam

Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah terjadi 15 tahun sebelum kenabiannya. Dan tarikh memang mencatat Nabi SAW menikah dengan janda selama kurang lebih 25 tahun. Setelah Khadijah al-Kubra meninggal dunia, baru Nabi melakukan pernikahan dengan model Poligami.

Catatan khusus tentang tarikh Islam dan aplikasi di dunia modern sering bergeser dan banyak digunakan untuk legitiminasi tentang ajara Poligami. Nabi Muhammad SAW TIDAK PERNAH menikah lagi ketika Khadijah RA, seorang Janda lebih Tua, belum meninggal.

Ajaran Poligami memang SAH dalam Islam akan tetapi TIDAK HARUS, sebagaimana Rasulullah SAW tidak pernah memadu Istri pertamanya. Alasan orang yang Poligami sering menggunakan pembenaran dalil Poligami Nabi, akan tetapi lupa bahwa disatu sisi tentang Istri pertama Nabi yang seorang Janda.

Fenomena sosial poligami memang isu seksi yang bisa dimainkan sekehendak hati, akan tetapi perlu ada catatan bahwa Poligami SAH dalam Islam akan tetapi tidak menjadi Arus Utama dalam pernikahan. Banyak dimensi yang  tidak bisa dipenuhi oleh orang yang melakukan poligami pada era modern.

Seperti dimensi keadilan, nafsu, bersembunyi dibalik dalil, atau berasalan memenuhi sunnah Rasul. Padahal bisa jadi murni keinginan untuk menambah Istri yang lebih muda dan lebih cantik dari Istri pertama.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan