Abu Thalib, Meninggal Sebagai Kafir atau Sebagai Mukmin?

Abu Thalib, Meninggal Sebagai Kafir atau Sebagai Mukmin

Pecihitam.org – Menurut catatan sejarah bahwa ketika Nabi Muhammad saw berumur Dua Bulan dalam kandungan ibunya Aminah, ayahnya meninggal. Setelah Nabi Muhammad saw berumur 6 tahun ibunyapun meninggal.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Maka iapun dirawat oleh kakeknya Abdul Mutthalib sampai Nabi Muhammad saw berumur 8 tahun kakeknya Abdul Mutthalib meninggal juga lalu beliau di rawat dan dibesarkan oleh pamannya Abu Thalib saudara ayahnya Abdullah anak dari Abdul Mutthalib.

Ketika Nabi Muhammad saw di ikut sertakan pergi berdagang di Syam (suriah hari ini) bersama dengan pamannya Abu Thalib, di tengah jalan ia bertemu dengan pendeta Bukhara.

Pendeta tersebut tahu bahwa yang bersama dengan Abu Thalib adalah manusia yang kelak akan menjadi Nabi dan Rasul, maka atas saran pendeta tersebut Abu Thalib diminta tidak meneruskan perjalanannya demi keselamatan keponakannya Muhammad bin Abdullah. Abu Thalib pun mendengarkan saran pendeta tersebut.

Pada umur 25 tahun Muhammad saw menikah dengan Khadijah yang tidak lepas dari keterlibatan pamannya Abu Thalib. Dan pada umur 40 tahun Muhammad bin Abdullah di angkat oleh Allah swt sebagai Nabi dan Rasul.

Baca Juga:  Belajar Agama Wajib dari Ustadz yang Sanad Ilmunya Jelas, Bukan dari Medsos

Setelah kenabiannya Abu Thalib tidak menghalang-halangi dakwah Nabi Muhammad saw bahkan ia menjadi terdepan membela dakwah Nabi Muhammad saw sehingga dakwah beliau sedikit aman saat itu.

Bahkan Abu Thalib memiliki dua anak yaitu Ja’far bin Abi Thalib dan Ali bin Abi Thalib masuk Islam dan Abu Thalib sedikitpun tidak menentang atau marah terhadap keputusan anaknya.  

Ketika Nabi Muhammad saw diasingkan di gua selama kurang lebih tiga tahun lamanya dan diembargo secara ekonomi, tidak ada yang boleh melakukan transaksi ekonomi dengan Nabi Muhammad saw, pamannya Abu Thalib ikut serta dalam penderitaan Nabi Muhammad saw

Pada tahun yang sama dan bulan yang sama (kalau tidak salah ingat) Khadijah istri yang paling dicintai Rasulullah saw dan Abu Thalib yang selalu mendampingi beliau dan melindungi beliau dari gangguan Kafir Quraish di Makkah, keduanya meninggal dan kesedihan Nabi Muhammad saw begitu mendalam, maka dalam catatan sejarah tahun itu disebut ‘Aam al-Huzn (tahun duka cita).

Baca Juga:  Virus Corona dan Narasi Kelompok Radikal di Tanah Air

Jadi Abu Thalib merawat Nabi Muhammad saw saat umur 8 tahun, pada umur 12 tahun Abu Thalib pada hakikatnya sudah tahu kerasulan Nabi Muhammad saw atas informasi dari pendeta Bukhara, maka sejak itu ia selalu mendampingi dan menyertai Nabi Muhammad saw dan sampai akhir hayatnya Abu Thalib tidak pernah terpisah dari Nabi Muhammad saw.

Lalu pertanyaannya sekarang, apakah hanya karena ada riwayat yang menyebutkan bahwa pamannya di akhir hayatnya ia tidak mengucapkan syahadat lalu kita berkesimpulan Abu Thalib meninggal sebagai orang KAFIR?

Apakah perbuatannya yang selalu mendukung, melindungi dan bersama dengan Nabi Muhammad saw tidak lebih dari ucapan Syahadat itu sendiri?

Bukankah perbuatannya menunjukkan pengakuannya (syahadatnya) terhadap risalah kenabian? Bukankah perbuatan itu lebih meyakinkan dari pada Syahadat lisan itu sendiri? Pepatah bugis mengatakan, “sisebbu ada seddi fangkaukeng, fakaukengnge mappannessa (seribu kata-kata satu perbuatan, maka perbuatan itu yang membuktikan.

Baca Juga:  Gagasan Jaminan Kebebasan Beragama ala Gus Dur

Saya tahu dan paham ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Thalib di akhir hayatnya tidak mau mengucapkan syahadat padahal diminta oleh Rasulullah saw saat itu tapi dia menolaknya. Saya pun paham bahwa ada ayat di dalam al-Qur’an yang digunakan sebagai dalil atas kekafiran Abu Thalib.

Insya Allah, akan saya bahas pada artikel selanjutnya. Sabar brader. Berbeda pendapat itu boleh, tapi bertengkar itu haram. Perbedaan itu niscaya, bertengkar itu musibah.

Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariq.

Muhammad Tahir A.