Mengenal Aliran Maturidiyah, Salah Satu Teologi Ahlussunah Wal Jamaah

aliran maturidiyah

Pecihitam.org – Dalam sejarah Islam, setelah wafatnya Khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah keempat, umat Islam mendapat ujian berbagai fitnah hingga umat terpecah. Ada yang meminta supaya diusut dulu penyebab wafatnya Usman dan siapa dalang di baliknya, sedangkan yang lain meminta ditegakkan dulu posisi khalifah untuk meredakan situasi yang genting.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Akibatnya, bermunculan tuduhan saling menyesatkan di antara umat Islam. Bahkan, sampai ada kelompok yang mengafirkan kelompok lain. Puncaknya adalah terjadinya perang shifin yaitu pertempuran sesama kaum muslimin.

Inilah salah satu faktor yang menyebabkan munculnya berbagai paham atau aliran teologi (akidah) dalam Islam. Di antara aliran teologi itu, salah satunya adalah aliran Maturidiyah.

Daftar Pembahasan:

Mengenal Aliran al Maturidiyah

Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Aliran ini kali pertama muncul di daerah Samarkand, pada pertengahan kedua abad ke-9 Masehi. Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, yaitu Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Ia lahir di Samarkand dan wafat pada tahun 944 M.

Saat itu Abu Manshur Al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy’ariyah mengenai kemampuan akal manusia.

Beliau adalah orang yang banyak merujuk pada rasio (akal) dan dari pendapat-pendapat mereka sendiri. Mereka memberikan kepadanya titel yang menyeluruh/sempurna, sepanjang persoalan itu bisa dibuktikan, dia tidak akan mengambil pendapat ulama.

Mereka mengatakan, “Ia berdiri keras melawan golongan Mu’tazillah”. Ia begitu luar biasa dalam menyerang teks (Al Quran dan As Sunnah) dengan menggunakan rasio. Ia seorang rasionalis yang mencoba membuktikan eksistensi Allah dengan hujjahnya sendiri, akan tetapi jika dia tidak mengetahui bagaimana eksistensi Allah berdasarkan Al Qur’an maka dia akan dihukum oleh Allah SWT.

Baca Juga:  Menyikapi Khilafiyah dalam Islam Ala Ahlussunnah Wal Jamaah

Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah. Mafhum, karena Al-Maturidiyah sendiri dikenal dengan salah satu aliran dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan sebelum mendirikan aliran Maturidiyah ini, Abu Mansur al-Maturidi juga merupakan murid dari pendiri Asy’ariyah, yakni Abu Hasan al-Asy’ari.

Meski demikian ada pendapat bahwa mereka berdua tidak pernah saling bertemu. Namun dilaporkan bahwa mereka berdebat dan berkomunikasi melalui surat dan melalui murid-murid mereka (meskipun tidak ada bukti nyata bahwa mereka secara nyata berkomunikasi lewat surat).

Beberapa literatur menjelaskan mazhab teologis Maturidiyah ini memang tidak sebanyak dengan aliran al-Asyariyah. Di antara literatur yang memaparkan aliran ini di antaranya al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, Ibnu Hazm, dan Abdul Qahir al-Baghdadi.

Mengutip Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan bahwa pada pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam.

Abu Hasan Al-Maturidi yang hidup pada masa itu akhirnya melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya. Pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah, namun juga aliran Asy’ariyah.

Banyak kalangan yang menilai, pemikiran al Maturidi itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Oleh karenanya, aliran ini sering disebut “berada antara teologi Muktazilah dan Asy’ariyah”. Namun yang pasti, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas sama-sama menentang aliran Muktazilah.

Kaum Asy’ariyah berhadapan dengan Muktazilah di pusatnya, yakni Basrah, sedangkan Maturidi berhadapan di Uzbekistan, di daerah Maturid. Karena itulah, Maturidiyah dan Asy’ariyah dianggap memiliki haluan yang sama meskipun berbeda aliran.

Menurut Muhammad Abduh, seorang pemikir Muslim dari Mesir, sebagaimana dikutip Ahmad Hanafi dalam Theology Islam (Ilmu Kalam), yang sering dipermasalahkan keduanya tidak lebih dari 10 hal dan semuanya tidak terlalu prinsip, kecuali hanya istilah.

Baca Juga:  Sejarah Perkembangan Aswaja Hingga Sampai ke Nusantara

Keduanya, baik Asyariyah maupun al Maturudiyah sama-sama membela kepercayaan yang ada dalam Alquran dan Sunnah. Dalam usahanya tersebut, keduanya mengikatkan diri pada kepercayaan itu.

Pandangan aliran Maturidiyah banyak memiliki kesamaan dengan al-Asy’ariyah dalam persoalan sifat-dzat Tuhan. Hematnya, Tuhan memiliki sifat-sifat, akan tetapi sifat bukan Dzat. Menurut mereka Tuhan mengetahui bukan dengan Esensi-Nya, akan tetapi dengan pengetahuan-Nya. Begitupun dengan sifat ‘qudrat’, Kuasa karena sifatnya, bukan Dzat-Nya. Pandangan semacam ini berangkat dari penolakan dualism sifat-Dzat.

Pengikut Madzhab Hanafi

Semasa hidupnya, Abu Hasan al-Maturidi dikenal sebagai pengikut setia Imam Hanafi yang terkenal ketat dengan keabsahan pendapat akal. Al-Maturidi memang banyak menimba ilmu dari para ulama Mazhab Hanafi, seperti Muhammad bin Muqatil ar-Razi, Abu Bakar Ahmad bin Ishaq al-Juzjani, Abu Nasr al-Iyadi, dan Nusair bin Yahya.

Sebagai pengikut setia Imam Hanafi, maka tak mengherankan jika paham teologi yang disebarkan oleh al-Maturidi memiliki banyak kesamaan dengan paham-paham yang dipegang Imam Hanafi yang banyak mengedepankan pertimbangan akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan. Hal ini pula yang menyebabkan paham Maturidiyah banyak dianut oleh kalangan ulama fiqih yang menganut Mazhab Hanafi.

Kitab

Di antara karya dari aliran al-Maturidiyah adalah Kitab al-Tawhid, dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Selain itu ada juga beberapa naskah yang disandarkan kepada Abu Manshur al Maturidi, seperti Risalah fi al-Aqaid dan Syarh al-Fiqh al-Akbar.

Kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar merupakan bukti kedekatan pandangan teologis al-Maturidi dengan Abu Hanifah. Hal ini jelas dikarenakan al-Fiqh al-Akbar merupakan kitab teologi Abu Hanifah. Selain kitab di atas, ada pula kitab-kitab yang memuat pemikiran teologis al-Maturidi yang ditulis oleh murid-muridnya seperti Usul al-Din karya al-Bazdawi.

Cabang Aliran Maturidiyah

Seperti halnya aliran-aliran lain dalam Islam, al-Maturidiyah juga memiliki beberapa faksi di dalam tubuhnya. Pertama, yaitu golongan Samarkand yaitu pengikut dari Abu Manshur al-Maturidi sendiri. Kedua, yaitu golongan Bukhara di mana mereka dipimpin oleh Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi.

Baca Juga:  Peringatan 40 Hari Kematian, Adakah Dalilnya dalam al-Quran dan Hadis? Begini Penjelasannya

Al-Bazdawi merupakan pengikut al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek al-Bazdawi menjadi salah satu murid al-Maturidi. Ia mempelajari ajaran Maturidiyah dari kedua orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri juga memiliki seorang murid bernama Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (537 H), penulis kitab al-‘Aqaid al-Nasafiah.

Kecendrungan pemahaman teologis keduanya berbeda karena ada perbedaan pendirian mengenai wewenang akal. Yang pertama lebih cendrung kepada pandangan Mu’tazilah, meski tidak semunya. Begitupun dengan yang kedua, golongan ini memiliki kecendrungan kepada kelompok al-Asyari.

Bagi Maturidiyah Samarkand pimpinan Abu Hasan, berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, baik dan buruk, serta mengetahui kewajiban bersyukur kepada Tuhan.

Sementara itu, aliran Maturidiyah Bukhara berpandangan bahwa akal manusia hanya dapat mengetahui adanya Tuhan serta baik dan buruk, sedangkan mengenai kewajiban manusia merupakan wewenang wahyu, bukan wewenang akal.

Dalam beberapa penjelasan di atas, jelas bahwa pemikiran Abu Hasan al Maturidi sangat banyak dipengaruhi dari berbagai pemahaman teologis dari mazhab yang berbeda. Entah itu dari Abu Hanifah dan para pengikutnya, atau dari Mu’tazilah dan juga al-Asyariyah yang memang banyak memiliki kesamaan pemahaman dengan aliran ini.

Wallahua’lam

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik