Benarkah Jika Sudah Bertasawuf Tidak Perlu Lagi Syariat? Ini Penjelasannya

Bertasawuf Tidak Perlu Lagi Syariat

Pecihitam.org – Ketidakmauan mengetahui apa itu ilmu tasawuf tidak jarang melahirkan tuduhan sesat tidak berdasar dengan mengatakan bahwa orang-orang tasawuf itu anti dengan syariat. Anggapan keliru lainnya yaitu mengangap kaum sufi tidak terlalu taat pada syariat, bahkan ada yang menafikan syariat. Lantas benarkah demikian?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hal ini tentu saja tuduhan keliru dan tidak benar. Sebab hakikatnya melaksanakan syariat pada taraf sempurna itulah intisari dari tasawuf. Maksud dari syariat dijalankan dengan sempurna itu bukan sekedar dzohirnya saja, namun juga mementingkan fiqih batin.

Maka, sejatinya makna tasawuf adalah upaya melaksanakan syariat pada tingkat dzohir dan batin. Sebab antara syariat dan tasawuf memiliki keterikatan erat yang tiada dapat dipisahkan. Dan jika dipisah, maka Islam itu sendiri menjadi tidak sempurna.

Tasawuf merupakan pengamalan syariat berasaskan ilmu yang sebenarnya. Jadi dengan memahami ilmu syariat dengan sungguh-sungguh kemudian melaksanakannya pada taraf sempura, maka niscaya akan ketemu dimana hakikat dari tasawuf itu.

Dengan demikian, syariat adalah pintu masuk menuju hakikat tasawuf. Tanpa pengamalan syariat, apalagi anti-syariat, jelas tidak akan bisa masuk pada ruang tasawuf. Tasawuf dapat dikaitkan dengan ibadah yang berasaskan akidah benar. Maka, di kalangan ulama sufi, pengamalan syariah diutamakan. Bahkan tidak ada satu pun tokoh tasawuf sepanjang sejarah yang pernah menyatakan atau menunjukkan sikap meremehkan syariat.

Tasawuf di sini juga bukan seperti faham spiritualisme kaum Batiniyah dari sekte Syiah Ismailiyah, yang dikenal menggugurkan syariat. Sebagaimana Imam al-Ghazali pernah mengingatkan muridnya,

Baca Juga:  Tujuan Utama Mengamalkan Ajaran Tasawuf dalam Islam

“Seandainya ada orang mengaku telah mendapat derajat tinggi dari Allah Swt, ahli tasawuf kemudian menggugurkan kewajiban shalat, maka tidak ada keraguan untuk memerangi orang tersebut”. (Zakaria al-Anshari, al-Mathalib Syarh Raudh al-Thalib, I/338).

Perlu diketahui sekte Batiniyah ini mengajarkan bahwa melaksanakan aturan-aturan syariat hanyalah tugas orang-orang awam, sedangkan orang-orang khusus syariatnya cukup bersifat batin.

Syekh al-Junaid al-Baghdadi, juga pernah memperingatkan kemunculan orang-orang jahil yang mengaku bertasawuf dengan menggugurkan kewajiban syariat ini. Menurut Syekh al-Junaid, “Orang yang mengaku telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu lalu meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt, itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina (Abu Nu’aim,Hilyatu al-‘Awliya’, hal. 386).

Selain itu Syekh al-Junaid al-Baghdadi menasihati para sahabatnya agar tidak mudah tertipu dengan manusia yang mengaku punya kemampuan lebih di luar batas kenormalan. Beliau mengatakan: ‘

Jika kamu melihat seseorang yang bisa berjalan di atas air, maka jangan kamu ikuti dia sampai kamu dapat memastikan perilakunya menjalankan perintah syariat dan menjauhi larangannya. Jika kamu menjumpainya dia mentaati seluruh perintah Allah Swt meninggalkan seluruh larangannya maka ikutilah dia. Jika tidak, maka jauhilah’ (Abdul Wahhab al-Sya’rani,Tanbih al-Mughtarin, hal. 19).

Bahkan kaidah utama tasawuf itu justru wajib taat kepada al-Qur’an dan Sunnah. Syekh al-Junaid al-Baghdadi kembali menjelaskan: ‘Tariqah kami itu selalu terikat dengan aturan al-Qur’an dan Sunnah. Dan barangsiapa yang tidak mengamalkan al-Qur’an dan tidak menjaga al-Sunnah dengan memahami isinya maka tariqahnya tidak sah untuk diikuti’ (Abdul Wahhab al-Sya’rani,Tanbih al-Mughtarin, hal. 19).

Baca Juga:  Sufisme dalam Islam, Sebuah Jalan Lain Menuju Allah

Syeikh Ali al-Khawwas, guru imam al-Sya’rani pun mengatakan: ‘Sesungguhnya tariqah kaum sufi merupakan tariqah yang berhias al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana hiasan emas dan mutiara. Sebab, dalam setiap gerak, diam dan nafas mereka, mengandung niat yang benar demi mengikuti syariat. Tidak diketahui di antara mereka kecuali mereka sangat mendalam dalam ilmu-ilmu syariat’.

Perlu diketahu juga sebelumnya, bahwa para sufi sangat menjunjung tinggi syariat. Bahkan di kalangan mereka perkara makruh itu bagaikan sesuatu yang haram. Sedangkan amalan sunnah seperti menjadi kewajiban (fardhu).

Jadi jangankan sekedar perkara haram, amalan yang dihukumi makruh saja ditinggalkan jauh oleh para sufi. Bagi mereka perkara makruh itu sudah sangat di benci, terebih lagi perkara yang haram. Inilah bukti kecintaan ulama tasawuf terhadap syariah Agama.

Hadratussyekh KH Hasyim ‘Asy’ari mengatakan bahwa semua terbebani syari’at. Tidak ada perbedaan antara santri, kiai, awam dan wali. Beliau mengatakan,

“Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban syari’at. Apabila ada yang mengingkari syari’at maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan tertipu oleh setan”. Orang seperti itu menurutnya tidak perlu dipercaya. Orang yang mengenal Allah Subhahu Wata’ala wajib menjalankan seluruh amal dzahir dan batin (Hasyim ‘Asy’ari, al-Duror al-Muntastiro fi Masa’il al-Tis’u al-‘Asyara, hal. 6).

Baca Juga:  Mengenal Konsep Mahabbah dalam Dunia Tasawuf

Maka sejatinya jika kaum awam melaksanakan syariat sekedar dhohir, kaum sufi melaksanakan kewajiban syariah tersebut hingga taraf dzahir dan batin. Semua sama meliputi seperti shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah Swt dan lain sebagainya. Hanya saja faktor batin batin inilah perbedaan kaum sufi dalam menjalankan ibadah. Mereka benar-benar tersambung dengan Allah Swt.

Syekh Ibnu Athaillah mengatakan: “Jika kamu beribadah seperti mendirikan shalat dan membaca al-Qur’an, namun tidak bisa merasakan kehadiran Allah dan tidak bisa bertadabbur, berarti dirimu telah dijangkiti penyakit batin, baik itu kesombongan, ujub atau sejenisnya.

Maka, baik amal dzohir dan batin keduanya pendting dan tidak bisa dipisahkan. Sebab jika Islam hanya dzohir saja yang diamalkan, akan menjadi fasik. Dan jika hanya mengamalkan batin saja tanpa dzohir akan menjadi zindiq. Islam menjadi tidak sempurna jika salah satu diabaikan atau dibuang.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik