Dimensi Sosial dalam Tasawuf Abu Thalib al-Makki

Dimensi Sosial dalam Tasawuf Abu Thalib al-Makki

Pecihitam.org – Al-Makki lahir di Jabal, sebuah desa tidak jauh dari Baghdad, Irak. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu Thalib al-Makki.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di samping memiliki sebutan populer al-Makki, ia juga akrab disebut al-Haritsi karena ia berasal dari suku Harits, atau al-Maliki karena merupakan pengikut madzhab Imam Malik.

Kegigihan al-Makki dalam menuntut ilmu dan mencari guru sufi membuatnya melanglang buana mengelilingi dunia sejak usia muda.

Daerah pertama yang menjadi tujuannya dalam petualangan dan perjalanan “sucinya” adalah Makkah. Pada usia yang masih sangat muda, ia sudah meninggalkan negeri asalnya untuk menuju kota suci demi mencari ilmu dan guru sufi.

Keberadaan dan kehidupannya di kota suci ini sungguh sangat berarti baginya dan benar-benar membentuk kepribadian dan pola pikirnya. Karena itu, ia lebih dikenal dengan sebutan al-Makki yang berarti orang Makkah walaupun ia lahir di Irak.

Salah satu motivasi yang mendorong al-Makki untuk menggeluti tasawuf dan menggunakannya sebagai jalan perjuangannya adalah karena ia melihat ilmu ini sebagai satu-satunya cara membenahi kemerosotan moral masyarakat.

Dalam kitab Qut al-Qulub ia tidak henti-hentinya mendengungkan suara hatinya dan berteriak agar anomali moral bisa dikendalikan dan diperbaiki. Ia prihatin karena agama telah kehilangan sentuhan metafisis dan spiritualnya.

Sisi lain dari orientasi sosial tasawuf al-Makki tampak pada pembahasannya dalam Qut al-Qulub tentang persaudaraan sebagai landasan bagi keharmonisan dan kemajuan sosial.

Baca Juga:  Kalam Sufi dari Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Pemimpin Forum Sufi Dunia

Ia mengajarkan bahwa tidak ada istilah “ini milikku dan itu milikmu” dalam Islam. Maknanya, sebuah masyarakat adalah satu kesatuan sosial yang seharusnya saling membantu dan memberi. Ini semacam penolakan terhadap paham kapitalisme dan dukungan atas sosialisme.

Pembahasan al-Makki tentang keharmonisan sosial tidak terlalu panjang akan tetapi sangat menunjukkan perhatiannya kepada persoalan sosial.

Penekanan al-Makki bukan pada “infrastruktur” yang meniscayakan adanya pembicaraan panjang mengenai persoalan sosial. Ia lebih menekankan kepada “suprastruktur” sebagai landasan dan fondasi sistem sosial. Hubungan antar manusia bukan hanya dinilai dari segi material tetapi lebih dari itu adalah persaudaraan di jalan Tuhan.

Persaudaraan di jalan Tuhan tidak hanya tentang berbagi suka, cita, dan rasa tetapi juga tentang kebersamaan dan kekompakan dalam membangun masyarakat. Dalam ungkapan yang pendek “persaudaraan adalah tentang cinta”.

Ibarat sebuah keluarga, yang juga mendapat perhatian al-Makki, masyarakat harus sekata, sejiwa, dan sehati dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Di atas segalanya, persaudaraan itu harus mewujud dalam bentuk saling mencintai agar komitmen bersama dalam membesarkan agama dan menegakkan keadilan dapat terbangun.

Dengan mengutip sebuah hadits Nabi, al-Makki mengajarkan bahwa cinta kepada sesama melandasi keimanan kepada Tuhan. Dikatakan demikian karena esensi Tuhan adalah cinta.

Baca Juga:  Ilmul Yaqin, ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, 3 Tingkatan Yakin Menurut Ulama Tasawuf

Keimanan itu sendiri adalah cinta, atau persisnya buah dari cinta manusia kepada Tuhannya. Karena secara esensi, mencintai sesama manusia berarti mencintai Tuhan dan Nabi-Nya. Hal ini sering ditegaskan oleh al-Makki melalui penjabarannya atas sebuah hadits Nabi:

Tuhan dan Nabi-Nya harus lebih dicintai oleh orang-orang yang beriman daripada apapun”.

Walau cinta yang ditekankan di sini adalah cinta kepada Tuhan, al-Makki juga memikirkan cinta kepada sesama sebagai landasan kehidupan sosial bermasyarakat.

Yang mencengangkan adalah dia mengusung versi baru “rukun Islam” yang terdiri dari empat tiang yaitu cinta, kejujuran, keyakinan,, dan rida.

Ajaran al-Makki tentang cinta sebagai landasan cita-cita ia sempurnakan dengan pembahasan mengenai keluarga. Di sini, ia mengajukan teori bahwa keluarga adalah bentuk terkecil masyarakat.

Oleh karena itu, membangun keluarga sama halnya dengan membangun masyarakat. Jika kehidupan dalam sebuah keluarga penuh cinta dan kebahagiaan maka kehidupan bermasyarakat juga demikian.

Seperti para pemikir muslim pada umumnya, al-Makki meyakini bahwa membangun keluarga dapat dimulai dengan membangun kepribadian seorang istri. Dalam benaknya istri adalah pilar keluarga, dan sangat menentukan runtuh tidaknya keuarga.

Menyadari akan peran penting seorang isteri, al-Makki membagi tipe istri menjadi tiga, yaitu istri egois (al-annanah), istri pengkhianat (al-khannanah), dan istri pengalah atau pemberi (al-mannanah).

Baca Juga:  Nafas, Khawatir, Syariat dan Hakikat: Pahami Hal Ini Jika Ingin Mendapat Kesempurnaan dalam Ibadah

Tipe istri yang ketiga adalah penopang keluarga, sedangkan yang pertama dan kedua adalah perusak dan penghancur.

Dengan mengajukan tipologi istri ini, pemikiran al-Makki tentang keharmonisan keluarga sudah dapat ditebak. Ia ingin menawarkan sebuah gagasan bahwa di samping “empat rukun Islam” di atas yang merupakan imperative categories juga terdapat dua hal lain yang harus dihindari dalam proses membangun masyarakat, yaitu egoisme dan pengkhianatan.

Penjelasan ini sudah cukup menunjukkan bahwa al-Makki adalah seorang sufi sosial. Dengan bahasa yang lebih tepat sebagai penganut paham tasawuf dengan penekanan kuat pada struktur moral masyarakat.

Ia meyakini bahwa tasawuf bukan tentang perilaku individu tetapi tentang watak masyarakat. Karena itu, kitab Qut al-Qulub  yang ia tulis tidak membidik orang sebagai individu tetapi melihatnya sebagai bagian dari masyarakat.