Kisah Santri Nakal Jadi Kiai dengan Ribuan Santri

kisah santri nakal

Pecihitam.org – Barangkali dari kita sering mendengar keluarga muslim yang anaknya dianggap bandel atau kurang berprestasi kemudian mengirim (atau mengancam akan mengirim) mereka ke pesantren. Memang bagi beberapa anak, masuk ke pondok pesantren terkesan seperti masuk penjara, sehingga ancaman orang tua yang demikian terdengar menakutkan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Citra pesantren sebagai tempat pembuangan bagi anak nakal ini memang agak kurang mengenakkan sebetulnya. Namun kisah Kiai Haji Ahmad Umar Abdul Mannan, pengasuh dan salah satu kiai generasi pertama Pondok Pesantren Al Muayyad Solo Jawa Tengah bisa memberi gambaran bagaimana pesantren memang tempat mendidik dan mengasah akhlak para santri.

Pondok pesantren Al Muayyad Solo ini dipimpin oleh Kiai Ahmad Umar Abdul Mannan atau dikenal dengan panggilan Kiai Umar. Di pondok pesantren ini, kita akan menemukan kisah melegenda tentang cara kiai dan ustadz menghadapi santri-santri yang nakal. Namun karena barakahnya, di kemudian hari santri tersebut akhirnya menjadi kiai yang juga punya pondok pesantren dengan ribuan santri.

Meski Kiai Umar tidak begitu dikenal secara nasional apalagi di kalangan non-santri, pada era 1980-an. Namun Mbah Kiai Ma’shum Lasem menganggap Kiai Umar sebagai sosok penting di tanah Jawa, selain KH. Arwani Amin dari Kudus, KH. Abdul Hamid dari Pasuruan, dan Habib Anies Alwi Al-Habsyi dari Solo.

Mengapa nama Kiai Ahmad Umar Abdul Mannan jarang dikenal oleh masyarakat umum? Mungkin karena sejak dulu beliau enggan ikut serta dalam urusan politik. Termasuk politik PBNU.

Meski cukup banyak pengurus NU yang datang dan mencoba mendekati Kiai Umar untuk masuk politik, namun beliau menolaknya. Sikapnya yang kerap menghindari persoalan politik ini adalah ciri khasnya

Seperti dikutip laman NU, Kiai Umar pernah berkata, “Orang itu pangkatnya lain-lain. Ada yang pangkatnya memikirkan NU, ada yang pangkatnya mengurusi NU. Lha kita ini baru sampai pangkat mengamalkan NU. Ya sudah, jadi bagian kita ini saja kita laksanakan. Mengajar santri, memelihara orang kampung. Jangan terlalu banyak orang memikirkan dan mengurusi NU, tapi sedikit mengamalkannya,” ujar Kiai Umar.

Baca Juga:  Kitab Gundul, Kurikulum Pesantren yang Tak Lekang Oleh Zaman

Kisah Santri Nakal

Suatu hari kepala pengurus pondok (biasa disebut Lurah Pondok) merasa pusing bukan kepalang mengatasi santri-santri nakal yang kerap membikin ulah. Maka, sang lurah pun melaporkan masalah ini kepada Kiai Umar.

Mendapat laporan soal santri-santri yang nakal ini, Kiai Umar kemudian memanggil Lurah Pondok. “Kang, tolong catat nama santri-santri yang nakal ya? Diranking ya? Paling atas paling nakal. Urutannya, paling nakal, nakal sekali, nakal, agak nakal.” kata Kiai Umar

Mendapati perintah demikian, Lurah Pondok merasa senang bukan kepalang. Dalam bayangan Lurah Pondok, beban sebagai seorang kepala pengurus pesantren bisa sedikit berkurang. Setidaknya, tidak akan melihat lagi para santri nakal, pikirnya.

“Kapokmu kapan lee. Dikasih tahu pengurus pondok ngeyel saja. Sekarang namamu tak tulis pakai spidol besar-besar,” kata Lurah Pondok girang sekembalinya ke kantor pengurus pondok.

Dengan semangat Lurah Pondok menulis beberapa nama santri nakal. Setelah selesai mendaftar beberapa nama santri Nakal, ia langsung melapor. “Ini, Kiai,” katanya kepada Kiai Umar.

Lurah Pondok kemudian pamit dan menunggu keputusan Kiai Umar. Seminggu, dua minggu, tiga minggu. “Kok tidak apa-apa?” batin Lurah Pondok, heran.

Santri-santri nakal itu masih saja berkeliaran di pesantren. Jangankan diusir atau dikeluarkan dari pesantren, dipanggil ke Ndalem (rumah kiai) untuk menghadap Kiai Umar saja tidak.

Akhirnya karena penasaran, Lurah Pondok lantas memberanikan diri sowan untuk bertanya, “Pak Kiai, nyuwun sewu.”

“Iya kenapa?” tanya Kiai Umar.

“Itu, Pak Kiai, santri-santri nakalnya kok belum diusir dari pondok?” tanya Lurah Pondok.

“Lho? Siapa? Santri yang mana?”

“Itu, santri yang kemarin saya catat nama-namanya dan saya serahkan ke Pak Kiai.”

“Lho, kok diusir emang kenapa?” tanya Kiai Umar.

“Lha, kan itu santri nakal-nakal,” jawab Lurah Pondok semakin bingung.

Baca Juga:  Mengenal Tipologi Pesantren ala Buya Husain Muhammad

Kiai Umar hanya tersenyum mendengar pertanyaan Lurah Pondok. “Kang, mereka ini, santri-santri mbeling ini, mereka dipondokkan justru karena mereka nakal. Dipondokkan itu memang supaya tidak nakal,” kata Kiai Umar.

Lurah Pondok bingung. Lalu buat apa panjenengan perintahkan saya mencatat nama-nama santri yang nakal ini? tanya Lurah Pondok.

“Kang, kamu kan tahu sendiri kalau setelah salat tahajud, doaku ya mendoakan seluruh santri-santriku semua. Nah, catatan nama-nama itu tak bawa, untuk khususon. Biar diprioritaskan,” terang Kiai Umar.

Mendengar penjelasan itu, Lurah Pondok manggut-manggut, tanda paham.

Kiai Umar memang punya cara sendiri untuk mendidik santri nakal. Bahkan, tidak jarang beliau memanggil santri nakal ke ndalem-nya dan dijamu dengan makanan yang enak-enak. Diajak bicara baik-baik, sampai si santri merasa bersalah dan akhirnya mau memperbaiki diri.

Kisah inilah yang kemudian menginspirasi Lurah Pondok yang di kemudian hari menerapkan cara yang sama dalam menghadapi santri nakal di pesantren yang diasuhnya. Lurah Pondok ini adalah KH. Baidlowi Syamsuri pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin di Brabu, Purwodadi, Jawa Tengah.

Bukan hanya mendoakan, Kiai Baidlowi juga sering menggunakan cara yang sama dengan Kiai Umar: menjamu santri nakal makan di kediamannya untuk diajak bicara dan dinasehati baik-baik.

Cara yang sama juga dilakukan Kiai Ali Maksum (teman Kiai Umar), pendiri Pondok Pesantren Ali-Maksum Krapyak. Beliau sering mengajak santri-santrinya yang nakal untuk jalan-jalan naik sepeda onthel dan menyuruh mereka sering-sering main ke kediamannya. Bahkan si santri kadang dijamu layaknya tamu kehormatan.

Cerita Gus Mus

Sekian dekade berlalu setelah kejadian Kiai Umar dan santri nakalnya, KH Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) menceritakan kembali kisah tersebut ketika memperingati haul KH. Umar Abdul Manan di Pondok Pesantren Al Muayyad Solo.

“Suatu ketika saya diundang ceramah di Pesantren Azzahro, Kendal, Jawa Tengah, pesantren dengan kiai yang masih sangat muda saat itu” Ujar Gus Mus.

Baca Juga:  Bisakah Bu Nyai Menjadi Penguasa di Lingkungan Pesantren?

Ada puluhan ribu orang yang hadir. Di pengajian tersebut, Gus Mus bercerita tentang kisah Kiai Umar dan santri nakalnya.

Gus Mus mengatakan suka menceritakan kisah ini, karena apa yang dilakukan Kiai Umar memang sesuai dengan yang dipesankan ayahnya, bahwa mengajar harus lahir batin.

Ketika hadirin yang lain tertawa mendengar cerita Gus Mus, hanya satu orang yang tidak tertawa. Kiai muda ini tertunduk diam. “Apa Kiai ini tidak paham yang saya sampaikan atau bagaimana? Kok tidak ada ekspresi apa-apa saat dengar cerita saya.” ujar Gus Mus

Begitu Gus Mus turun dari mimbar, kiai muda ini langsung merangkul Gus Mus. Tentu saja Gus Mus terkejut. Dalam pelukannya, kiai muda ini berkata, “Alhamdulillah, Kiai. Njenengan tidak menyebut nama.”

“Lho? Memangnya kenapa?” Gus Mus bingung.

Dengan nada bicara pelan, Kiai muda ini berkata, “Saya itu santri yang dicatat Lurah Pondok di ranking paling atas.”

“Kaget, heran dan kagum saya, dengan statusnya dulu sebagai santri ternakal, dia sekarang jadi kyai dengan ribuan santri”. pungkas Gus Mus

Betapa luar biasa kiai-kiai zaman dulu. Mereka mendidik santri tidak hanya mengajar secara lisan saja. Namun juga dibarengi dengan laku tirakat dan doa.

Bahkan, meski santrinya sudah pulang ke rumah pun masih diperhatikan dan didoakan. Dikunjungi, dipantau dan ditanyakan perkembangannya. Itulah salah satu rahasia keberkahan ilmu di pesantren. Doa seorang guru.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik