Bullying Dimana-Mana, Bagaimana Pandangan Islam dan Cara Pencegahannya

Bullying Dimana-Mana, Bagaimana Pandangan Islam dan Cara Pencegahannya

Di media sosial, berseliweran berita kriminalitas yang diakibatkan oleh Bullying. Seorang anak yang selalu mengalami bullying, diam-diam menyimpan dendam dan saat boot waktu meledak ia mampu membunuh orang yang membully nya. 

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bullying kerap kali terjadi dilingkungan pendidikan, yang mana seharusnya tempat memanusiakan manusia malah menjadi tempat terjadinya kriminalitas yang tidak manusiawi, baik itu bullying ataupun balas dendam yang dilakukan oleh korban bullying.

Lalu, bagaimana Islam memandang Bullying dan bagaimana pencegahan bullying perspektif Islam?. Berikut penjelasan nya.

Bullying Perspektif Islam

Islam sebagai agama yang damai, toleran dan penuh kasih sayang mengecam keras segala tindakan perundungan atau Bullying. Baik dalam bentuk fisik, verbal, maupun psikologis. 

Merujuk kepada khutbah Jum’at Ustadz Amien Nurhakim, musyrif ponpes Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunah sekaligus Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, setidaknya ada 3 istilah dalam Al-Qur’an yang masuk kategori Bullying.

Ketiganya bukanlah cermin kepribadian seorang muslim, dan barang tentu tidak disukai oleh Allah Rabbul ‘alamin, dan pastinya dilarang oleh Allah Ta’ala.

Pertama, istihza yang bermakna mengolok-olok. Firman Allah Ta’ala dalam kitab-Nya: “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: 

“Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok” (QS. Al-Baqarah:80).

Dalam hal ini, mengolok-olok tidak hanya antara individu dengan individu lain, tetapi juga terhadap syari’at Islam, atau terhadap Allah dan Rasul-Nya. 

Disebutkan dalam kitab Nawaqidul Islam atau Pembatal Keislaman, pada pembatal yang keenam mengolok-olok ini dapat menjadikan seseorang kafir setelah dia beriman. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Katakanlah: apakah terhadap Allâh, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-ngolok. Tidak perlu meminta maaf karena sungguh kalian telah kafir setelah kalian beriman” (QS. At-Taubah: 65-66).

Baca Juga:  Hoaks, 78 Tentara Korea Utara Masuk Islam

Kedua, istilah selanjutnya Sakhr yang berarti merendahkan atau mengejek. Dalam hal ini merujuk kepada kisah Nabi Nuh dan umutnya yang membuat bahtera, namun diejek dan di rendahkan oleh orang-orang yang tidak menyukai nya. Firman Allah Ta’ala

“Mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami)” (QS. Hud: 38).

Ketiga, istilah berikutnya adalah Talmiz atau saling mencela satu sama lain, bak itu individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok. Disebutkan dalam Firman Allah Ta’ala

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Hujurat: 11).

Ketiga istilah diatas, baik mengolok-olok, merendahkan dan mengejek serta saling mencela tidaklah dibenarkan dalam Islam serta dibenci oleh Allah Ta’ala. Sudah semestinya seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menjaga perbuatan, tindak tanduk dan lisan dari ketiga hal di atas. 

Bahkan, tanda bahwa islam seseorang yang baik adalah saat ia mampu menjaga mulut dan tangannya dari menyakiti orang lain. Sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: 

Seorang (disebut) muslim adalah ketika muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Muslim).

Baca Juga:  Pesan Ali bin Abi Thalib Tentang Ilmu dan Menjaga Persaudaraan

Bahkan dewasa ini, tidak sedikit kaum muslimin yang memanggil saudaranya sendiri dengan laqob yang buruk, dan bahkan memanggil dengan nama hewan. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan perkataan dari Sa’id bin Musayyab rahimahumullah, bahwa beliau pernah berkata: 

“Janganlah kalian berkata kepada teman kalian, ‘Wahai keledai’,’wahai anjing’, atau ‘wahai babi’. Karena kelak dihari kiamat engkau akan ditanya, ‘Apakah engkau melihat aku diciptakan sebagai Keledai, Anjing, atau Babi ?”.

Solusi Bullying ala Islam

Dalam jurnal karya Sindy Kartika Sari yang berjudul “Bullying dan Solusinya Dalam Al-Qur’an” menjelaskan beberapa solusi yang diberikan Al-Qur’an bagi pelaku bullying. Kepada pelaku diberikan solusi agar ia mampu membiasakan diri untuk berbuat naik, berkata baik dan menjaga tingkah laku.

Pertama, ialah bertakwa kepada Allah sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, jika mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat (kepada Allah). Maka, seketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya)” (QS. Al-A’raf: 201).

Kedua, berkata baik yang merupakan implementasi dari takwa. Seperti dalam firman-Nya: “Katakan kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (dan benar). Sesungguhnya setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia” (QS. Al-Isra’: 53).

Sejalan dengan itu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam” (HR. Bukhari).

Ketiga, memanggil dengan panggilan yang baik. Bagi pelaku bullying perlu pembiasaan untuk memanggil orang lain dengan panggilan yang baik. Seperti dalam firman-Nya: 

“….Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir” (QS. Hud: 42). Panggilan ‘wahai anakku’ merupakan panggilan halus, lembut serta penuh cinta dan kasih sayang.

Baca Juga:  Man Jadda Wajada: Siapa yang Bersungguh-sungguh Pasti Berhasil

Untuk korban sendiri, solusi yang paling baik adalah terbuka kepada orang tua, ceritakan apa yang terjadi, apa yang dialami, agar orang tua mampu mencegah dengan berkonsultasi kepada pihak sekolah. Jika tidak memungkinkan, bisa saja orang tua memindahkan anak nya kesekolah yang lebih baik. Sementara itu dari Islam sendiri, solusi yang ditawarkan adalah hendaknya selalu dan tetap bersabar dan tidak membalasnya.

Seperti dalam firman Allah berikut: “Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik” (QS. Muzammil: 10). 

Dan dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (QS. Al-Furqon: 63).

Dan pada akhirnya, peran serta pendidikan orang tua adalah kunci bagi anak agar ia mampu untuk bersosialisasi dengan baik. Orang tua yang mendidik anaknya dengan baik, akan menghasilkan produk manusia yang mampu menjaga perkataan dan perbuatannya dari menyakiti orang lain. 

Semoga bermanfaat, Wallahu Ta’ala A’lam.

Penulis: Fajar Mahotra (Mahasiswa S1 Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Riau)

Redaksi