Ghibah dalam Islam, Pengertian dan Ancaman Bagi Pelakunya

Ghibah dalam Islam, Pengertian dan Ancaman Bagi Pelakunya

Pecihitam.org – Ghibah dalam Islam adalah “dzikrul insan fii ghiibatihi bi-maa yahrahuhu”, yaitu menggunjing atau membicarakan hal negatif (aib) orang lain saat orang yang dibicarakan tidak berada di tempat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, Rasulullah bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga sedang mencakar wajah dan dada mereka. Saya bertanya: Siapakah mereka ini wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan melecehkan kehormatan mereka, (HR Abu Daud 4878. Hadis shahih).

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa pada zaman Rasulullah SAW jika ada orang yang berghibah, maka siksanya langsung diperlihatkan, seperti yang dialami oleh dua orang perempuan yang diperintah olehnya untuk memuntahkan darah kental dari mulutnya setelah menggunjing saudaranya.

Namun di zaman seperti saat sekarang ini, karena semakin banyaknya pelaku ghibah, maka siksaan itu pun tak lagi diperlihatkan. Terlebih lagi nampaknya dosa besar tersebut sudah dianggap sebagai suatu hal yang biasa terjadi.

Baca Juga:  Keutamaan dan Peristiwa Besar dalam Sejarah yang Terjadi pada Hari Selasa

Padahal, Rasulullah SAW sendiri sudah menyatakan bahwa dosa ghibah dalam islam lebih berat dari dosa zina:

الْغِيبَةُ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا . قِيلَ: وَكَيْفَ؟ قَالَ: الرَّجُلُ يَزْنِي ثُمَّ يَتُوبُ، فَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَإِنَّ صَاحِبَ الْغِيبَةِ لَا يُغْفَرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبُهُ

Artinya, “’Ghibah itu lebih berat dari zina.’ ”Seorang sahabat bertanya, ‘Bagaimana bisa?’ Rasulullah SAW menjelaskan, ‘Seorang laki-laki yang berzina lalu bertaubat, maka Allah bisa langsung menerima taubatnya. Tetapi bagi pelaku ghibah tidak akan diampuni hingga ia dimaafkan oleh orang yang dighibahnya,’” (HR At-Thabrani).

Seperti itulah kira-kira bahaya perbuatan ghibah yang mungkin selama ini kita anggap enteng. Pertanyaan berikutnya adalah adakah Ghibah yang Diperbolehkan dalam Islam?

Ghibah pada dasarnya diharamkan, kecuali dalam keadaan tertentu yang memang diperkenankan oleh syara’, seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi, yang terdiri dari 6 (enam) macam:

Baca Juga:  Hukum Ghibah dalam Islam yang Dilarang dan yang Diperbolehkan

Pertama, Tindakan yang bertujuan untuk mengadukan suatu perbuatan dzalim kepada penguasa atau kepada pihak yang berwenang, misalnya mengatakan: ”Si Arif telah menganiayaku”

Kedua, Untuk meminta tolong agar dihindarkan dari perilaku jahat, dan untuk membuat orang yang berlaku jahat tersebut dapat kembali ke jalan yang benar. Misalnya meminta tolong kepada orang yang mampu menghapus suatu kemungkaran: ”Si Fachri telah melakukan tindakan kejahatan semacam ini, tolonglah saya agar bisa bebas dari perilakunya tersebut”

Ketiga, jika bertujuan untuk meminta fatwa pada Ulama, Misalnya; ”Abang saya telah mendzhalimi saya, dan telah menjadikanku seperti ini, apa yang harus saya lakukan biar bisa lepas dari kedzalimannya?”

Kempat, untuk mengingatkan Umat Islam terhadap suatu kejelekan, seperti menjelaskan tentang seorang perawi hadits yang suka berdusta.

Baca Juga:  Cara Memakmurkan Masjid Dalam Pandangan Ulama dan Contoh Nabi Muhammad

Kelima, ketika membicarakan orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan maksiat dan/atau bid’ah tentang perbuatanya tersebut;

Keenam, menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah populer dengan sebutan tersebut, dengan tujuan untuk dikenali, bukan bermaksud merendahkannya, seperti menyebutnya si buta. Namun, jika ada ucapan yang baik, maka ucapan yang baik itulah yang lebih baik. (an-Nawawî, Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, T.tp.: Mathba‘ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1930, Juz XVI hlm. 142-145).

Wallahu a’lam.

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *