Hukum Hamil Diluar Nikah dan Statusnya Menurut Pandangan KH Bahaudin Nursalim

Hukum Hamil Diluar Nikah dan Statusnya Menurut Pandangan KH Bahaudin Nursalim

PeciHitam.org – Kasus Hamil diluar nikah di era modern banyak sekali ditemukan, bahkan dikalangan remaja belasan tahun. Masa-masa ini memang menjadi masa penuh risiko pergolakan jiwa dan pencarian jati diri. Mayoritas kasus hamil diluar nikah karena salah pergaulan atau faktor lainnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hamil diluar nikah pastinya diawali dengan praktek zina yang sangat dibenci Allah SWT atau karena kasus pemerkosaan yang dialami sebagain wanita. Data penelitian tentang praktek zina sangat mencengangkan karena sekitar 8-9% remaja pernah melakukan hubungan seksual pra-nikah.

Darai data tersebut merujuk dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Selain angka praktek hubungan seksual pra-nikah atau zina, BKKBN juga merilis angka 48 dari 1000 Ramaja Indonesia hamil diluar nikah.

Maraknya kehamilan diluar nikah tetap harus ada jawaban apa penyebabnya. Sekiranya pengetahuan hukum hamil diluar nikah dan nilai-nilai agama harus dikampanyekan dengan serius.

Daftar Pembahasan:

Fakta dan Dalil Hamil Diluar Nikah

Indonesia adalah negara dengan konsentrasi populasi Muslim terbesar didunia. Tidak kurang dari 200 juta muslim bertempat tinggal di Nusantara dengan berbagai aliran atau identifikasi ormasnya. Data tidak menyenangkan jika melihat angka prosentase pengakuan hubungan pra-nikah di Nusantara.

Data BKKBN menunjukan betapa mirisnya keadaan remaja yang terjebak dalam pergaulan bebas sampai terjerembab dalam perbuatan zina. Praktek zina bukan hanya terlarang dalam ajaran Agama Islam, akan tetapi semua agama Resmi di Nusantara melarang praktek zina.

Data lain juga menyebutkan angka remaja yang hamil dan berkeinginan untuk menggugurkannya. Sekitar 58% remaja yang hamil diluar nikah berkeinginan untuk aborsi.

Data ini menunjukan bahwa hamil diluar nikah menjadi masalah bangsa dan keberlangsungan generasi masa depan yang baik sesuai ajaran agama.

Dalam Islam, mereka yang melakukan zina dan hamil diluar nikah harus terkena hukuman. Akan tetapi hukuman bagi laki-laki dan perempuan berbeda perlakuannya. Hukuman orang zina adalah had Rajam atau dera sebanyak 100 kali.

Bagi laki-laki hukum Dera bisa langsung dilakukan setelah zina terbukti dengan saksi yang adil. Sedangkan bagi perempuan pezina akan dilakukan dera sama dengan laki-laki jika tidak dalam keadaan hamil. Jika setelah zina ia mengandung, hukuman dera ditunda sampai melahirkan anaknya.

Baca Juga:  Shalat Kafarat Dapat Mengganti Shalat Yang Ditinggalkan? Berikut Pendapat Para Ulama

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْحَامِلَ لاَ تُرْجَمُ حَتَّى تَضَعَ

Artinya; Ibnu Mundzir mengatakan bahwa wanita yang hamil tidak akan dirajam sampai ia melahirkan anaknya sesuai dengan kesepakatan Ulama.

Hukuman dera Had bagi mereka yang melakukan zina semata-mata bertujuan untuk meminimalisir prakteknya dalam Islam. Fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat terkait kelanjutan wanita yang hamil diluar nikah memerlukan tinjuan hukum.

Pembahasan hukum hamil diluar nikah harus memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan status anak yang berada dalam kandungannya.

Hukum dan Status Nikah dengan Wanita Hamil Diluar Nikah

Besaran prosentasi remaja yang hamil diluar nikah sangat besar, dalam kisaran 8-9%. Artinya banyak wanita di Nusantara yang membutuhkan naungan hukum hamil diluar nikah dan kelanjutan hubungannya dalam pernikahan.

Bukan berarti hamil diluar nikah diperbolehkan dalam Islam, akan tetapi Islam menyediakan alternatif hukum supaya tidak terus-menerus dalam kubangan maksiat.

Ulama berselisih pendapat tentang hukum menikahi wanita yang telah hamil diluar nikah, boleh atau tidak. Banyak Ulama yang sependapat dengan syaikhul Islam tidak memperkenankan menikahi wanita yang hamil diluar nikah sampai ia melahirkan bayinya.

Pendapat lain disebutkan oleh Imam Syaroni dalam kitab Mizanul Kubra bahwa hukum menikahi wanita yang telah hamil by accident (hamil kecelakaan) boleh dilakukan dan sah. Keterangan Imam Syaroni ini sering dikutip KH Bahaudin Nursalim dalam setiap kajian Ilmiah yang beliau ampu.

Gus Baha menceritakan argumentasi Imam Syaroni tentang kebolehan menikahi wanita hamil hasil zina yaitu hadits;

Pada zaman Nabi SAW pernah terjadi zina yang mengakibatkan wanitanya Hamil, kemudian Nabi SAW mendapat laporan dari Sahabat bahwa kedua orang tersebut telah melakukan pernikahan. Kemudian Nabi berkomentar,

قد خرج من سفاح الى نكاح

Baguslah, (mereka) telah keluar dari tradisi zina menuju pernikahan (yang sah) sesuai dengan aturan Agama.

Hadits ini menjadi dasar bagi Imam Syaroni tentang kebolehan seorang yang hamil diluar nikah untuk menikahi orang yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anaknya.

Baca Juga:  Hukum Memotong Rambut dan Memotong Kuku saat Haid

Gus Baha melanjutkan keterangan tentang masalahah yang dapat dipetik dari argumentasi Imam Syaroni, yakni menghentikan praktek zina yang dilakukan pasangan tersebut.

Kebolehan orang yang menikah setelah adanya kecelakaan (hamil diluar nikah) tentunya tidak otomatis menghapuskan dosa sebelum bertobat. Hukuman bagi pelaku zina tetap harus dijalankan sesuai dengan syariat Islam, yakni Had Rajam.

Variasi hukum hamil diluar nikah tidak seluruhnya atas kejadian zina yang dilakukan laki-laki dan perempuan atas dasar sukarela/ suka sama suka. Terkadang wanita hamil diluar nikah disebabkan wathi Subhat, atau karena disebabkan diperkosa. Keterangannya sebagai berikut;

وَإِذَا ظَهَرَ بِالْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ حَمْلٌ لَا زَوْجَ لَهَا وَكَذَلِكَ الْأَمَةُ الَّتِي لَا يُعْرَفُ لَهَا زَوْجٌ وَتَقُولُ أُكْرِهْتُ ، أَوْ وُطِئْتُ بِشُبْهَةٍ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا حَدٌّ كَمَا قَالَهُ : أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ فِي أَظْهَرِ رِوَايَتَيْهِ

Artinya; “Apabila tampak adanya kehamilan pada seorang perempuan merdeka yang tidak bersuami, begitu juga budak yang tidak bersuami, dan ia mengatakan saya dipaksa atau saya disetubuhi dengan persetubuhan syubhat (Wathi Subhat) maka ia tidak wajib dihad/ dihukum. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh imam Abu Hanifah, imam Syafii, dan imam Ahmad bin Hanbal menurut dalam riwayatnya yang Jelas.

Keterangan ini bersumber dari Syaikh Sulaiman Al-Bujairimi dalam kitab Tuhfatul Habib Ala Syarhil Khatib. Keterangan ini berkesimpulan bahwa hukum hamil diluar nikah tidak selamanya dihukum had. Karena hamil diluar nikah mengandung banyak kemungkinan dalam kenyataannya.

Hukum hamil diluar nikah tentunya haram jika didahului dengan zina, baik muhsan ataupun ghairu muhsan. Sedangkan hukum hamil diluar nikah bagi wanita yang diperkosa atau wathi subhat atas paksaaan tidak dikenakan had rajam bagi perempuannya. Hukum ini menunjukan alternatif tentang kesempurnaan Islam dan sistem hukumnya.

Hukum Anak Hasil Hamil Diluar Nikah

Pandangan Islam dalam menghukumi anak hasil hubungan diluar nikah dikemukakan oleh Ibnu Rusyd. Ulama sepakat tentang Nisbat Nasab dan Hukum anak hasil zina sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujathid wa Nihayatu Muqtashid;

وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ أَوْلَادَ الزِّنَا لَا يُلْحَقُونَ بِآبَائِهِمْ إِلَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَلَى اخْتِلَافٍ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الصَّحَابَةِ

Baca Juga:  Pertimbangan Diperbolehkannya Hukum Mengebiri Kucing

Artinya; Mayoritas ulama sepakat bahwa anak zina tidak di-ilhaq-kan (dinasabkan) kepada bapak mereka  kecuali anak-anak yang lahir pada masa jahiliyah sebagaimana yang diriwayatkan dari sayyidina Umar bin al-Khaththab RA, dan dalam hal ini terjadi perbedaan di antara shahabat

Hukum anak hasil hubungan diluar nikah tidak boleh menisbatkan keturunannya kepada ayah biologis sang jabang bayi. Walaupun diketahui dengan jelas ayah yang terkandung baik secara medis atau pengakuan sang pelaku zina.

Akan tetapi dalam konteks tersebut hukum anak zina dalam Islam, menurut Imam Syafii, tidak boleh dinisbatkan kepada ayah biologisnya.

Pendapat mayoritas Ulama di atas sesuai dengan pendapat Umar bin Khattab yang menetapkan bahwa anak hasil zina tidak masuk dalam hukum anak ayahnya. Status hukum anak hasil zina dalam Islam menurut pendapat mayoritas Ulama adalah dinisbatkan kepada Ibunya sendiri.

Jika anaknya sudah dewasa dan berjenis kelamin perempuan maka hukum wali nikahnya adalah Sulthan. اَلسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

Artinya; Bahwa bagi anak perempuan yang tidak memiliki Wali (nikah), maka Walinya adalah Sulthan atau penguasa daerah tempat ia tinggal.

Dalam konteks Indonesia, maka wali sulthan ditujukan kepada petugas yang mengurusi pernikahan yakni Kantor Urusan Agama. Di Nusantara terkenal dengan wali Hakim. Ash-Shawabu Minallah.

Mohammad Mufid Muwaffaq