Hukum Poligami dalam Islam, Boleh Namun Bukan Anjuran

Hukum Poligami dalam Islam

Pecihitam.org – Ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa “Agama Islam menganjurkan poligami”. Memang benar bahwa Rasulullah Saw dan para sahabat melakukan poligami. Namun apakah itu berarti bahwa poligami adalah sebuah anjuran? Benarkah poligami adalah sunah Rasul? Bagaimana sebenarnya hukum poligami dalam Islam

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Apa Itu Poligami?

Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Adapun dalam antropologi sosial, poligami adalah praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri.

Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu:

  1. Poligini yaitu sistem perkawinan seorang pria yang memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan.
  2. Poliandri adalah sistem perkawinan seorang wanita yang mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.
  3. Pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage) yaitu kombinasi poligini dan poliandri.

Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namun hanya poligini-lah bentuk yang paling umum terjadi dan yang dibolehkan dalam Islam sedangkan poliandri dan pernikahan kelompok diharamkan.

Praktik Poligami Rasulullah

Dalam faktanya, Rasulullah Muhammad Saw, melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, karena sebelumnya beliau beristri hanya satu orang selama 28 tahun.

Setelah istri pertamanya (Khadijah ra) barulah beliau Saw menikah dengan beberapa perempuan. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Rasulullah adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar).

Menurut Ibn al-Atsir, Sikap dan mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi Saw waktu itu adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Karena dalam prakteknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.

Bahkan saat Nabi melihat ada sahabat (Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits) yang mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka pun diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat saja. Inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Baca Juga:  Hukum Poligami dalam Pandangan Agama Islam dan Syarat Melakukannya

Hukum Poligami dalam Islam

Memang benar poligami adalah sesuatu yang dilakukan Rasulullah Saw (sunnah Rasulullah). Dari sudut pandang ini, jika ada yang mengatakan ‘poligami bukan sunnah nabi, maka jelas ini adalah sebuah kesalahan.

Namun kita juga harus membedakan antara dua jenis ‘sunah’. Pertama, sunnah yang pengertiannya adalah ‘apa-apa yang dilakukan Rasulullah Saw’. Yang kedua, adalah sunah yang pengertiannya terkait hukum Fiqh: sebagai sesuatu yang dianjurkan untuk dilakukan. Yaitu ketika sesuatu lebih baik untuk dilakukan (berpahala), namun jika ditinggalkan tidak apa-apa (tidak berdosa).

Nah, jika dilihat dari dari sisi hukum, umumnya para ulama seperti Imam Syafi’i yang menyebutkan dalam Kitab Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Madzhab bahwa dalam Islam hukum poligami itu ada empat sebagaimana berikut.

Pertama, Hukum Poligami Mubah atau Boleh

Menurut Imam Syafi’i, hukum asal poligami dalam Islam adalah boleh bukan sunah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt sebagai berikut:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ [ النساء :3 ] .

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (Q.S. An-Nisa’/4: 3).

Kedua, Hukum Poligami Sunah

Hukum poligami menjadi sunnah untuk laki-laki yang memang butuh pendamping lagi. Hukum ini disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya karena istri pertama dalam keadaan sakit, mandul, dan laki-laki tersebut benar-benar mampu berlaku adil. Jika keadannya demikian, maka poligami menjadi disunnahkan baginya karena adanya maslahat secara syar’i.

Ketiga, Hukum Poligami Makruh.

Hukum poligami dalam Islam bisa menjadi makruh untuk laki-laki yang tidak memiliki hajat atau dalam keadaan butuh untuk melakukan poligami. Misalnya ketika laki-laki tersebut berpoligami hanya ingin mencari kesenangan dan hiburan saja, serta dia sendiri masih ragu akan kemampuannya dalam berlaku adil.

Rasulullah Saw bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ (رواه الترمذي)

Artinya: “Tinggalkanlah perkara yang membuatmu ragu menuju perkara yang tidak membuatmu ragu.” (HR. At-Tirmidzi).

Keempat, Hukum Poligami Haram

Dalam Islam hukum poligami menjadi haram bagi laki laki yang dia menduga dirinya tidak akan mampu berlaku adil jika menikahi lebih dari satu perempuan. Faktor yang mempengaruhi adalah karena ia fakir, miskin, lemah, atau dirinya tidak bisa untuk berlaku adil.

Baca Juga:  Menabur Bunga Di Kuburan, Bagaimanakah Hukumnya?

Dalam kondisi demikian poligami menjadi haram hukumnya. Sebab apabila dipaksakan, justru akan membahayakan pihak lain terutama bagi si istri. Nabi Muhammad Saw bersabda:

لا ضرر ولا ضرَارَ (رواه ابن ماجه)

Artinya: ‘Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)

Hal ini juga telah sangat jelas tercantum dalam al Quran sebagai berikut:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ [ النساء : 3 ] .

Artinya: “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa’/4: 3)

Poligami itu Boleh, Bukan Anjuran

Sebagian kalangan yang kurang paham berpendapat bahwa Islam mendukung praktik poligami. Pandangan ini karena rata-rata hanya bermodal bunyi terjemahan ayat Al-Qur’an pada Surat An-Nisa ayat 3 yang secara harfiah menyatakan demikian:

“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.

Akan tetapi sejatinya islam tidak memerintahkan, tidak mewajibkan dan juga tidak menganjurkan poligami. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama (ijma’) sebagaimana keterangan Syekh M Khatib As-Syarbini dalam Kitab Mughnil Muhtaj berikut ini:

إنَّمَا لَمْ يَجِبْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ إذ الْوَاجِبُ لَا يَتَعَلَّقُ بِالِاسْتِطَابَةِ وَلِقَوْلِهِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ وَلَا يَجِبُ الْعَدَدُ بِالْإِجْمَاعِ

Artinya, “Nikah itu tidak wajib berdasarkan firman Allah (Surat An-Nisa ayat 3) ‘Nikahilah perempuan yang baik menurutmu.’ Pasalnya (secara kaidah), kewajiban tidak berkaitan dengan sebuah (seorang perempuan) pilihan yang baik. Nikah juga tidak wajib berdasarkan, ‘dua, tiga, atau empat perempuan’. Tidak ada kewajiban poligami berdasarkan ijma‘ ulama”. (Lihat Syekh M Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Fikr, tanpa keterangan tahun, juz 3, halaman 125).

Dalam memahami tentang poligami dalam Surat An-Nisa ayat 3, pemikiran para ulama ini bersandar pada asbabun nuzul ayat tersebut atau aspek sejarah sosial bangsa Arab saat itu.

Surat An-Nisa ayat 3 tersebut dipahami oleh para ulama bukan sebagai perintah untuk poligami, namun sekadar membolehkannya itupun dengan syarat-syarat tertentu yang cukup ketat.

Baca Juga:  Inilah Empat Sumber Hukum Islam yang Disepakati

Jika ditelaah lebih dalam lagi, surat An-Nisa ayat 3 justru ingin membatasi jumlah istri masyarakat Arab dan lainnya yang saat itu tidak ada batasan. Sehingga yang benar adalah ayat tersebut ditujukan untuk membatasi jumlah maksimal istri hanya empat dari jumlah tak terhingga sebelumnya. Bukan menganjurkan menambah istri dari satu hingga empat perempuan.

Syekh M Khudhari dalam Tarikhut Tasyri‘ Al-Islami mengatakan:

“Di lingkaran masyarakat Arab zaman itu tidak ada batasan tentang bilangan istri. Seorang pria Arab zaman itu bisa beristri 10 perempuan, sehingga Al-Qur’an menetapkan batasan moderat. Kemudian Al-Qur’an membolehkan poligami bagi mereka yang tidak khawatir berlaku dzolim dalam memperlakukan istrinya. Sebagaimana firman Allah pada Surat An-Nisa ayat 3,” (Syekh M Khudhari, Tarikhut Tasyri‘ Al-Islami, (Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H), halaman 42).

Syekh M Khudhari juga menambahkan bahwasanya;

“Poligami bukanlah bagian dari syiar prinsipil yang harus dipraktikkan dalam pandangan Allah dan Rasulullahnya sebagai pembuat syariat Islam. Poligami bagian dari kebolehan yang pertimbangannya berpulang kepada individu mukalaf. Jika seseorang mau, ia boleh berpoligami. Jika ia memilih monogami, dia boleh mengabaikan poligami sejauh tidak melewati batas,” (Syekh M Khudhari, Tarikhut Tasyri‘ Al-Islami, (Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H), halaman 43).

Maka, benang merahnya dapat disimpulkan bahwa Surat An-Nisa ayat 3 sebetulnya tidak dapat dijadikan dalil perintah atau anjuran poligami. Ayat tersebut hanya membolehkan praktik poligami, tepatnya untuk mengurangi atau membatasi jumlah istri masyarakat Arab yang tanpa batas pada waktu itu.

Namun sayangnya sekarang ini makna ayat tersebut ditumpangi oleh segelintir orang yang hanya mengedepankan nafsu sebagai dalil hukum anjuran dan perintah poligami. Sehingga ayat ini kehilangan konteks dan semangat pembatasan jumlah istri masyarakat Arab yang tanpa batas waktu itu.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik