Jangan Baca Kitab Kuning Sebelum Paham Rumus dan Istilahnya!

Jangan Baca Kitab Kuning Sebelum Paham Rumus dan Istilahnya

Pecihitam.org – Sebelum mempelajari kitab kuning susunan ulama klasik, sangat urgen terlebih dahulu mengenal riwayat hidup penulisnya dan rumus serta istilah-istilah yang digunakannya dalam penulisan tersebut. Jangan berani mencoba menelaah bila tak paham rumus dan istilah yang digunakan. Rentan gagal paham bahkan sesat paham.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mungkin anda mempertanyakan, kenapa belajar rumus sebelum mengkaji kitab kuning menjadi urgen? Dimana urgensinya? Baiklah, mari kita telaah bersama untuk menemukan alasannya.

Umumnya, para ulama klasik, dalam menulis kitab, tidak menyebutkan nama ketika meriwayatkan dari guru utamanya. Hanya dengan “Syaikhina” (guru kami) ataupun “Syaikhi” (guru kami). Demikian pula ketika menyebut nama ulama, biasanya meringkas dengan hanya menyebut nama dengan laqob/gelar-nya ataupun kuniyah-nya. Misal Asy-Syafi’i dan Ibn Idris untuk Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (w 204 H).

Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i sendiri, dalam kitab ar-Risalah, ketika meriwayatkan suatu hadits kerapkali dengan “Seorang yang tsiqoh telah mengabariku…”. Siapa yang beliau maksud dengan “seorang yang tsiqoh”?

Ternyata bukan hanya satu orang. Ini ada rumusnya. Hanya bisa dikenali dengan mengkaji riwayat sanad Imam asy-Syafi’i.

Berikut beberapa rumusnya :

  1. Bila beliau berkata, “Seorang yang tsiqoh mengabariku, dari Ibnu Abi Dzi’ib”, maka yang dimaksud adalah Muhammad bin Ismail atau Ibn Abi Fudaik (w 200 H).
  2. Bila beliau berkata, “Seorang yang tsiqoh mengabariku, dari Laits bin Sa’d”, maka yang dimaksud adalah Yahya bin Hassan (w 208 H).
  3. Bila beliau berkata, “Seorang yang tsiqoh mengabariku, dari Walid bin Katsir”, maka yang dimaksud adalah Amr bin Abi Salamah (w 214 H).
  4. Bila beliau berkata, “Seorang yang tsiqoh mengabariku, dari Ibnu Juraij “, maka yang dimaksud adalah Muslim bin Khalid az-Zanji (w 180 H).
  5. Bila beliau berkata, “Seorang yang tsiqoh mengabariku, dari Shalih”, maka yang dimaksud adalah Ibrahim bin Abi Yahya (w 184 H).
Baca Juga:  Islam di Uzbekistan, Negeri Imam Bukhari dengan Peninggalan Peradabannya

Bukan hanya dalam menulis nama guru, nama ulama lain pun kadang ada rumusnya. Beda bidang ilmu, beda pula maksudnya. Misal ketika para ulama Hadits menulis “Syaikhani” (dua Mahaguru), maka yang dimaksud adalah Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w 256 H) dan Imam Muslim an-Naisaburi (w 261 H). Namun bila ulama Fiqh menulis kata serupa, maka yang dimaksud adalah Imam Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i (w 623 H) dan Imam Yahya bin Syarf an-Nawawi (w 676 H).

Misal lainnya kata “al-Qadhi“. Bila ulama dalam bidang Ushul Fiqh, maka yang dimaksud adalah Imam Muhammad bin Thayyib al-Baqillani (w. 403 H). Dalam bidang Fiqh, ada dua ulama yang sering disebut dengan “al-Qadhi“, yaitu bila disebutkan dalam kitab generasi awal, maka yang dimaksud Imam Qodhi Abu Hamid al-Maruzi (w. 326 H).

Namun bila disebutkan dalam kitab Fiqh generasi kedua, maka yang dimaksud adalah Imam Qodhi Husein bin Muhammad al-Marwazi (w. 462 H). Dalam bidang Tafsir yang dimaksud dengan “al-Qadhi” adalah Imam Abdullah bin Umar al-Baidhawi (w. 691 H). Dan dalam bidang Hadits, yang dimaksud adalah Imam Qadhi Iyadh bin Musa (w. 544 H).

Baca Juga:  Kesalahan Umat Islam dalam Memahami Hadits 73 Golongan Islam

Ulama generasi belakang, ada pula yang menggunakan rumus huruf dalam menuliskan nama ulama, ini seperti yang dilakukan Syekh Sayyid Bakri Syatho (w 1310 H)  dalam menyusun kitab I’anatuththalibin. Misal م ر (huruf terpisah) untuk Imam Syihabuddin Ahmad bin Hamzah ar-Ramli (w 957 H) dan مر (huruf bersambung) untuk anaknya, Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (1004 H).

Tidak terbatas pada nama, penulisan istilah ataupun kalimat tertentu juga digunakan dalam kitab kuning untuk mengisyaratkan makna. Misal “Sebagian mereka mengatakan”, tanpa menuliskan siapa yang dimaksud dengan “mereka”. Ini biasanya menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah ulama yang semasa dengan penyusun. Ditulis demikian karena barangkali di kemudian hari ulama tersebut mencabut atau menarik ucapannya, sehingga tidak layak lagi dinisbatkan padanya.

Misal lainnya adalah kalimat “Dikutip oleh” dan “Diceritakan oleh”. Meski sekilas nampak sama, namun maksudnya berbeda. Kalimat “Dikutip oleh” menunjukkan penulis setuju dengan kutipan tersebut. Sementara “Diceritakan oleh” menunjukkan penulis tidak setuju atau tidak sepakat.

Sebagian ulama ada yang menjelaskan rumus kitabnya pada pengantar (mukaddimah), seperti yang dilakukan Imam Yahya bin Syarf an-Nawawi (w 676 H) dalam menyusun kitab Minhajut Thalibin. Namun banyak pula ulama lain yang tidak.

Melihat urgensi mempelajari rumus-rumus diatas membuat membuat tidak sedikit para ulama menulis kitab khusus semacam kamus rumus untuk kitab kuning. Utamanya kitab-kitab Fiqh. Hal ini demi membentengi pembelajar dan pengkaji tidak sesat paham atas istilah dan rumus dalam kitab yang dipelajari dan dibacanya.

Bahkan, dalam beberapa bidang ilmu, kajian istilah dan rumus kelak menjadi bidang ilmu tersendiri, sebagai cabang dari induknya. Misal, bidang ilmu Hadits melahirkan ilmu Mustalah Hadits (istilah-istilah Hadits) atau Ushul Hadits. Ilmu Tafsir melahirkan Ushul Tafsir.

Baca Juga:  Corak Islam Kejawen dalam Kitab Wirid Hidayat Jati

Membaca atau mempelajari suatu kitab dalam suatu bidang ilmu tanpa mengenal istilah-istilah dan rumus-rumusnya, riskan sekali menghasilkan gagal paham, bahkan sesat paham. Karenanya orang-orang awam, sebaiknya jangan membaca suatu kitab ulama, khususnya kitab klasik, walaupun terjemahnya, tanpa berguru kepada orang yang mengerti dan memahami isi kitab tersebut, termasuk rumus dan istilah-istilah yang digunakan penulisnya.

Era digital sekarang ini, di mana setiap orang begitu mudah mendapat kitab kuning, baik versi bahasa asli ataupun terjemahnya, karena telah banyak yang didigitalisasi dan bisa didownload dengan gratis, pun juga artikel-artikel, paper, makalah ilmiah begitu mudah diakses.

Maka, siapapun, sebelum membaca kitab kuning, mestinya pelajari dan kenali rumus dan istilah yang digunakan dalam kitab tersebut terlebih dahulu. Tidak terkecuali kita. Ingat slogannya, jangan baca kitab kuning sebelum mempelajari rumus dan istilah-istilahnya!

Ust. Khairullah Zainuddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *