Sejarah Syekh Jumadil Kubro, Leluhur Para Walisongo di Nusantara

jumadil kubro

Pecihitam.org – Dalam sumber-sumber buku sejarah, kisah tokoh yang dikenal dengan Syekh Jumadil Kubro memiliki banyak versi. Banyak yang menyebutkan bahwa pada zaman kuno terdapat empat orang suci beragama Islam, yaitu: Jumadil Kubro di Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Pethak di Gunung Bromo, dan Maulana Ishak di Blambangan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam Kronika Banten, Syekh Jumadil Kubro digambarkan sebagai seorang nenek moyang Sunan Gunung Jati. Dikisahkan bahwa salah seorang putra Syekh Jumadil Kubro yang bernama Ali Nurul Alam tinggal di Mesir. Ali Nurul Alam berputra Syarif Abdullah. Syarif Abdullah berputra Syarif Hidayatullah yang kelak dikenal Sunan Gunung Jati.

Sementara itu, menurut Babad Cirebon, tokok Jumadil Kubra dianggap sebagai leluhur Sunan Gunung Jati dan wali-wali lain seperti Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga.

Sedangkan menurut Kronika Gresik, Jumadil Kubro memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik. Putra Syeikh Jumadil Kubra bernama Maulana Ishaq di kirim ke Blambangan untuk melakukan islamisasi di sana. Maulana Ishaq adalah ayah dari Sunan Giri. Jadi, Jumadil Kubra, menurut versi ini adalah kakek dari Sunan Giri.

Baca Juga:  Syekh Anom Sidakarsa Kebumen; Keturunan Kerajaan Demak yang Mewakafkan Dirinya Untuk Berdakwah

Sejalan dengan Kronika Gresik, Raffles dalam History of Java yang mencatat kisah-kisah legenda Gresik menyebutkan bahwa Jumadil Kubra bukanlah seorang tokoh nenek moyang melainkan seorang pembimbing wali yang pertama.

Dikisahkan, Raden Rahmat yang kelak menjadi Sunan Ampel, pertama-tama datang dari Champa ke Palembang dan kemudian meneruskan perjalanan ke Majapahit.

Mulanya, Raden Rahmat ke Gresik, dan mengunjungi seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali, bernama Syekh Molana Jumadil Kubro. Syekh Molana Jumadil Kubro kemudian menyatakan bahwa kedatangannya telah diramalkan oleh Nabi bahwa keruntuhan agama kafir telah dekat dan Raden Rahmat dipilih untuk mendakwahkan Agama Islam di pelabuhan timur Pulau Jawa.

Dalam keterangan Babad Tanah Jawi menuturkan bahwa Syekh Jumadil Kubra adalah sepupu Sunan Ampel yang hidup sebagai petapa disebuah hutan dekat Gresik. Keberadaan Syeikh Jumadil Kubra sebagai seorang petapa, didapati pula dalam cerita tutur bersifat legendaris yang tersebar di sekitar Gunung Merapi di utara Yogyakarta.

Dalam cerita ini, Jumadil Kubra diyakini sebagai wali tertua asal Majapahit yang hidup bertapa di hutan Lereng Merapi. Jumadil Kubra dalam legenda itu, diyakini berusia sangat tua sehingga dipercaya menjadi penasihat ruhani Sultan Agung.

Baca Juga:  Mengenal Sosok Abu Ibrahim Woyla, Sang Waliyullah Asal Aceh

Sementara itu, menurut tradisi para sayyid asal Hadramaut yang datang ke Indonesia pada akhir abad ke-18, para wali termasuk Syekh Jumadil Kubro yang mengislamkan Jawa dan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara adalah keturunan Sayyid. Tokoh yang dianggap sebagai leluhur mereka itu bernama Jamaluddin Husain al-Akbar.

Manakah kisah yang lebih otentik antara sumber-sumber babad lokal dengan cerita tradisi yang disampaikan para sayyid? Dalam simpulannya, Martin van Bruinessen yang mendasarkan kajian pada dokumentasi yang ada, menilai versi babad Jawa lebih asli daripada versi para sayyid.

Bagi Martin, cerita tentang Jamaluddin al-Akbar versi para sayyid tampaknya merupakan hasil dari upaya pada abad ke-20 awal untuk mengoreksi legenda-legenda Jawa. Kata sifat Kubra diganti dengan kata Arab yang lebih tepat, yaitu al-Akbar, dan nama aneh Jumadil diganti dengan nama Arab yang paling mirip, yaitu Jamaluddin.

Seusai dengan kisah keberadaan dan sepak terjangnya yang simpang siur dalam banyak versi, makamnya juga diyakini berada diberbagai tempat. Berdasarkan kisah dalam Babad Tanah Jawi yang menuturkan Syeikh Jumadil Kubra pernah melakukan tapa di Bukit Bergota di Semarang, maka penduduk setempat meyakini bahwa sebuah makam tua yang terletak diantara tambak dan daerah Terbaya, adalah makam Syeikh Jumadil Kubra.

Baca Juga:  KH Ahmad Siddiq, Ulama yang Berjasa Terhadap Asas Tunggal Pancasila

Kisah Syekh Jumadil Kubro di Gresik dan Mantingan, tidak meninggalkan jejak makam maupun petilasan dari tokoh tersebut. Di lereng Gunung Merapi tepatnya di Desa Turgu di kaki Gunung Kawastu, terdapat makam keramat yang diyakini sebagai makam Syekh Jumadil Kubra.

Dan satu-satunya makam yang diyakini umum sebagai kuburan Syekh Jumadil Kubra adalah yang terletak di komplek makam Tralaya di Kabupaten Mojokerto. Wallahu A’lam.

Sumber: Atlas Walisongo, Agus Sunyoto.