Contoh Kedangakalan Wahabi dalam Pengambilan Hukum

Contoh Kedangakalan Wahabi dalam Pengambilan Hukum

PeciHitam.org Kerancuan nalar golongan salafi wahabi dalam menempatkan kaidah-kaidah sangat terlihat, terlebih ketika memahaminya hanya sekedar teks. Nushus tidak didialogkan atau minimal menggunakan pendekatan akademis melalui qaul-qaul Ulama. Pun jargon salafi wahabi adalah back to Qur’an walaupun seringkali tidak konsisten.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam memahami sebuah amaliah yang berkembang jauh dari peradaban Asli Islam harus menggunakan kaca mata sejarah dan Fiqhu Dakwah. Memaksakan sebuah nilai baru kepada budaya dan tradisi baru pasti akan menghadapi penolakan, kecuali mampu membumikan ajaran seperti Walisongo.

Amaliah Muslim Nusantara tidak terlepas dari Fiqhu Da’wah dan membumikan Islam sesuai jalur tradisi ulama yang mendasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun salafi wahabi menuduh hal demikan sebagai bid’ah, khurafat dan sesat.

Kaidah Salah Salafi Wahabi

Umum dijumpai baik dalam ceramah (termasuk akun Dakwah Sunnah) atau selebaran media sosial yang menyudutkan Islam di Nusantara. Sebagai contoh akun dakwah Sunnah menyudutkan amaliah mendoakan orang  meninggal di Nusantara sebagai praktek bid’ah dan memberatkan keluarga ahlu Musibah.

Ukuran keberatan atau tidak dalam sebuah kultur memang sangat beragam, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Namun fenomena Individu tidak menjadi sebab berubahnya, hukum secara general/ umum. Sebagaimana hukum shalat bisa berubah dari kesempurnaanya namun merujuk kepada masing-masing individu.

Baca Juga:  Kisah Ayah Membunuh Anaknya yang Berakidah Wahabi

Nah, dalam pandangan salafi wahabi sebagaimana Narasi dalam akun Dakwah Sunnah bahwa Tahlilan terlarang atau tidak dicontohkan oleh Nabi/ Sahabat karena memberatkan keluarga. Pun realitasnya, banyak tetangga yang membantu untuk memberikan sumbangan bahan makanan pokok kepada ahlu musibah, bahkan sampai berlebih.

Akan tetapi golongan salafi wahabi yang tidak setuju Tahlilan tetap berpegang kepada Dalil ‘لَوْ كَانَ خَيْرًا لسبقونا إليه’. Golongan salafi wahabi tidak mau memahami bahwa Tahlilan adalah sebuah rangkaian doa bersama sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian kepada ahlu Mushibah. Pun mendoakan orang yang meninggal dunia adalah Fardlu Kifayah seperti dalam shalat Jenazah.

Tata Cara Mengambil Hukum

Nalar yang salah banyak digunakan oleh orang-orang Salafi Wahabi untuk menuduh sesat, bid’ah atau kafir kepada Muslim di Nusantara. Padahal simpulan tuduhan tersebut hanya berasal dari interpretasi dangkal pada teks-teks Al-Qur’an atau Hadits. Poinnya adalah, ‘selama tidak sesuai, sama persis maka Bid’ah’, yang menjadikan kerusakan permanen dalam Islam.

Sebagai contoh adalah Kesunnahan ketika menaiki kendaraan, yang mana dianjurkan membaca doa sebagai berikut;

Baca Juga:  Mr. Hempher dan Pengaruhnya pada Muhammad bin Abdul Wahab (Bag 3)

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ

Artinya; “Maha Suci Rabb yang Menundukan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Tidak akan ditemukan riwayat Nabi SAW menaiki kereta mesin, Kereta Api, Sepede Motor, Mobil atau Pesawat Terbang. Namun doa tersebut tetap sunnah Ila Yaumil Qiyamah dibaca ketika menaiki kendaraan apapun. Jika saja nalar salafi wahabi digunakan dengan dalil ‘لَوْ كَانَ خَيْرًا لسبقونا إليه’ bisa saja menaiki mobil, Kereta Api dan lainnya disebut dengan bid’ah.

Pemikiran Ulama tentang bid’ah sudah sangat jelas diterangkan oleh Imam Izzudin Abdussalam yang  mena menerangkan tentang penggalian simpulan hukum.

وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ

Artinya; “Metode untuk mengetahui klasifikasi hal baru adalah dengan cara hal baru itu dikembalikan pada kaidah syariat. Bila ia masuk pada kaidah wajib maka berarti wajib, bila masuk pada kaidah haram berarti haram, bila masuk pada kaidah sunnah berarti sunnah, bila masuk dalah kaidah makruh berarti makruh dan bila masuk dalam kaidah mubah maka mubah.”

Kecocokan kaidah dan amaliah (tidak harus sama persis) dalam ibadah menjadikan turunan hukum yang sama sesuai dalil induknya. Sebagaimana mendoakan orang yang meninggal adalah sunnah maka cara Tahlilan menjadi Sunnah karena isinya memang mendoakan orang meninggal.

Baca Juga:  Khawarij dan Wahabi itu Beda, Tapi Lebih Banyak Persamaannya

Sama kiranya bahwa membaca seluruh atau sebagian surat Al-Qur’an adalah Sunnah, maka membaca surat Yasin yang tertradisi dalam Yasinan adalah sunnah. Maka nalar rancu salafi wahabi tidak lebih dari kebohongan dan kedangkalan dalam memahami Islam.

ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan