Kisah Dialog antara Seorang Kyai dengan Penjudi

dialog kyai dan penjudi

Pecihitam.org – Suatu ketika setelah shalat Isya, seorang laki-laki mendatangi rumah Kyai Jahari. Laki-laki itu terkenal sebagai seorang penjudi. Semua orang mengetahuinya, termasuk Kiai Jahari.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

“Silahkan masuk,” kata Kyai Jahari setelah melihatnya berada di pintu.

Laki-laki paruh baya itu menghampiri Kyai Jahari dan menyalaminya. Ia duduk di samping Kyai Jahari setelah dipersilahkan.

“Lama kita tak berjumpa,” ujar Kyai Jahari.

“Iya, Kyai, Begini Kyai, saya hendak bertanya sesuatu.” kata si penjudi

“Silakan,” ucap kyai asal Susukan, Cirebon, yang hidup di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu.

“Anak dan istri saya menolak nafkah pemberian dari saya. Katanya uang hasil judi itu haram. Benarkah demikian, kyai?” tanya si penjudi

Kyai Jahari tersenyum, kemudian berkata: “Tidak juga, selama tuan tidak pernah kalah sekalipun.”

Si penjudi itu sedikit tercengang. Lalu berkata: “Tidak mungkin, kyai. Ketika berjudi, tidak ada seorang pun yang belum pernah kalah. Semua penjudi pernah mengalaminya.”

“Jika tuan sudah tahu jawabannya, kenapa tuan masih melakukannya?” sahut Kyai Jahari

Laki-laki itu terdiam, dengan wajah menunduk.

“Tak ada keuntungan dalam berjudi. Menang atau kalah, sama-sama merugikan. Ketika tuan menang, tuan merugikan orang yang kalah. Ketika tuan kalah, tuanlah yang dirugikan. Itulah alasan kenapa uang hasil judi dihukumi haram, karena didapatkan dengan merugikan orang lain.” jelas Kyai Jahari

Baca Juga:  Karomah Kyai Kholil, Sebab KH Hasyim Asyari Ngaji 120 Tahun

“Tapi sukar menghentikannya, kyai.” sahut si penjusi

“Ya, memang sukar. Jika mudah, tuan tidak akan datang kemari,” ujar Kyai Jahari tersenyum lebar.

Pendekatan Kyai Jahari ini sangat memanusiakan. Beliau tidak mengusir penjudi itu dan menerimanya dengan ramah, meski orang itu telah terkenal sebagai penjudi dan pemabuk.

Jawaban yang diberikannya pun menarik, tidak seketika mengharamkan dan menyalahkan. Beliau memberikan jawaban yang memancing perenungan, sehingga tanpa sadar sang penjudi mengatakan: “Tidak mungkin, kyai. Ketika berjudi, tidak ada seorang pun yang belum pernah kalah. Semua penjudi pernah mengalaminya.”

Andai ditarik ke ranah teoritis, pendekatan Kiai Jahari dalam menjawab bisa -mungkin- di-skemakan seperti ini.

Pertama, mengajukan argumentasi logis dengan mengatakan: “Tidak juga, selama tuan tidak pernah kalah sekalipun.” Argumentasi logis ini yang kemudian dipahami oleh penjudi sebagai bentuk ketidak-mungkinan. Artinya, Kyai Jahari sengaja menggunakan pengalaman berjudi orang tersebut untuk membangun landasan argumentatifnya.

Baca Juga:  Ketika Fatwa Abu Hanifah Ditolak oleh Ibunya Sendiri

Kedua, setelah landasan argumentatifnya terbangun, yaitu perkataan: “Jika tuan sudah tahu jawabannya, kenapa tuan masih melakukannya?”

Kiai Jahari masuk ke dalam wilayah influence (mempengaruhi) dan membangun impression (kesan), dengan cara membiarkannya menggali kesimpulannya sendiri, yang pada akhirnya membuka pikirannya untuk menerima masukan baru.

Ketiga, setelah kesan kuat berada di benaknya, artinya Ia telah siap menerima masukan yang bersifat hukum. Kemudian Kyai Jahari memberikan konklusi argumentasi logis dibalik keharaman berjudi dengan mengatakan: “Tak ada keuntungan dalam berjudi. Menang atau kalah, sama-sama merugikan. Ketika tuan menang, tuan merugikan orang yang kalah. Ketika tuan kalah, tuan lah yang dirugikan. Itulah alasan kenapa uang hasil judi dihukumi haram, karena didapatkan dengan merugikan orang lain.”

Keempat, pemahamannya terhadap sukarnya menghentikan perbuatan dosa bagi yang terbiasa melakukannya, tidak membuat Kyai Jahari memberikan wejangan-wejangan hukum yang akan membuatnya lari dan keberatan, tapi dengan pernyataan sederhana yang tidak menakutkan: “Ya, memang sukar. Jika mudah, tuan tidak akan datang kemari.”

Kyai Jahari memahami betul bahwa tidak mudah menjauhi perbuatan yang dilarang Allah, khususnya bagi orang-orang yang terbiasa melakukannya. Banyak orang sering menganggap para pendosa sebagai orang bodoh yang tidak berdaya mengendalikan hawa nafsunya. Hal itu memang benar, tapi Kyai Jahari merasa tidak perlu membawa hal tersebut dalam proses dakwah.

Baca Juga:  Nabi Musa dan Murid yang Meragukan Ketidakadilan Tuhan

Dengan kata lain, dakwah bil hikmah (mengajak dengan kebijaksanaan) harus dikedepankan, bukan dakwah dengan laknatisasi kekufuran. Beliau menyadari bahwa peluang berubah selalu ada, bagi siapa saja.

Jika Allah mengampuni orang yang telah membunuh 100 orang, tanpa pernah beribadah kepada-Nya, sekedar merasakan penyesalan dan hasrat bertaubat yang tinggi, apalagi hanya seorang penjudi dan pemabuk kampung.

Semoga kita bisa mengambil teladan dan manfaatnya, serta melanjutkan perintah luhur agama, yaitu berdakwah menggunakan kebijaksanaan. Wallahua’lam Bisshawab.

Sumber: Islam Nusantara

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *