Kisah Pengaduan Sahabat pada Nabi Muhammad Perihal Konflik Rumah Tangga Mereka

Kisah Pengaduan Sahabat pada Nabi Muhammad Perihal Konflik Rumah Tangga Mereka

Pecihitam.org- Setiap ada konflik, para sahabatnya selalu mengadukan kepada Rasulullah SAW. Baik itu konflik yang berkaitan dengan keagamaan, perekonomian, kemasyarakatan, dan bahkan konflik rumah tangga, termasuk urusan perceraian.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mereka melakukan itu karena menganggap Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang diutus untuk membimbing umat manusia sesuai dengan syariat Allah. Dengan saksama, Rasulullah menerima para aduan para sahabat. Beliau mendengarkan, memeriksa persoalannya, dan mencarikan solusinya. 

Dalam Sejarah Madinah (Nizar Abazhah, 2017) dan Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad (Tariq Ramadan, 2015), suatu ketika ada beberapa sahabat perempuan yang mendatangi Nabi Muhammad. Mereka mengadu kepadanya terkait urusan rumah tangga, yakni mereka ingin meminta cerai dari suaminya karena sudah tidak lagi cinta.

Di antara sahabat perempuan yang pernah melakukan itu adalah Jamilah binti Ubay bin Salul, Habibah binti Sahl al-Asariyah, dan Barirah (mantan budak Sayyidah Aisyah).

Kepada Jamilah binti Ubay, Nabi Muhammad bertanya perihal apa yang dia tidak suka dari suaminya, Tsabit bin Qais. Bagi Jamilah, agama Tsabit bin Qais sangat baik dan dia masalah dengan itu. Namun alasan dia meminta cerai dari suaminya adalah karena dia  tidak mau terus bersalah karena ketidaksetiaan.

Baca Juga:  Hukum Pernikahan Dalam Islam Beserta Dalilnya

Dalam artian, dirinya tidak bisa menghargai hak-haknya sebagai suami atau lewat pikiran dan perilaku dia mengkhianatinya. Riwayat lain menyebutkan bahwa wajah suaminya yang bernama Tsabit bin Qais, dianggap jelek oleh istrinya Jamilah sehingga dia tidak lagi suka.

Rasulullah pun kemudian bertanya kepada Jamilah, apakah engkau bersedia mengembalikan sebidang kebun yang diberikan oleh suamimu sebagai mahar. lantas tanpa ragu jamilah menjawab “Iya”.

Setelah menimbang banyak hal, Rasulullah menyadari kalau keduanya tidak akan bisa hidup bahagia. Konflik rumah tangga mereka tidak bisa dihilangkan. Akhirnya, Rasulullah meminta Tsabit bin Qais untuk menerima perceraian.

Hal yang sama juga dialami Barirah, budak Sayyidah Aisyah. Ketika itu, Barirah dinikahi seorang budak juga, yaitu Mughits. Di satu sisi, Mughits sangat mencintai Barirah. Sementara di sisi lain, Barirah tidak mencintai suaminya itu.

Baca Juga:  Abu Nawas: Cara Keledai Mengajari kita Membaca Buku

Rumah tangga mereka bertahan hingga pada suatu saat Sayyidah Aisyah memerdekakan Barirah. Karena merasa sekarang sudah menjadi manusia merdeka, Barirah bebas dalam menentukan pilihan hidupnya, termasuk tidak lagi meneruskan rumah tangganya dengan Mughits.

Keputusan Barirah itu membuat Mughits merana. Dengan mengikuti Barirah kemanapun pergi, Mughits berharap Barirah berubah hati dan mau hidup bersamanya lagi.

Tidak hanya itu, Rasulullah pun diminta oleh Mughits untuk membujuk Barirah agar mau kembali kepadanya. Rasulullah kemudian bertanya apakah Barirah bersedia hidup bersama lagi dengan suami dan anak-anakmu?. Lantas barirah balik bertanya kepada Nabi:

“Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan sesuatu yang wajib bagiku?”. Rasulullah menjawab bahwa dirinya hanya berupaya menolong Mughits, untuk menyelamatkan bahtera rumah tangganya.  “Aku tidak membutuhkannya (Mughits) lagi,” kata Barirah kepada Nabi.

Pada saat lainnya, Nabi Muhammad juga pernah menerima seorang wanita yang mengeluh karena orang tuanya menikahkannya tanpa meminta pendapatnya.

Sebetulnya wanita tersebut ridha dengan keputusan orang tuanya tersebut, namun dia ingin menyampaikan bahwa pernikahan bukan lah keputusan orang tua saja, tapi juga anak perempuan yang dinikahkan. Menurut wanita tersebut, orang tua tidak bisa bertindak seperti itu tanpa izin dari anak perempuan mereka.

Baca Juga:  Ketika Istri Nabi Luth dan Nabi Nuh Berkhianat Pada Sang Suami, Inilah yang Mereka Alami

Maka kemudian, dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad menunda sebuah kontrak pernikahan yang dilaksanakan tanpa izin si anak perempuan. 

“Ketimbang walinya, janda lebih berhak bagi dirinya dan dengan cara diam, perawan memberikan izin untuk dirinya,” kata Rasulullah dalam sebuah hadits, terkait dengan hak perempuan dalam hal pernikahan. 

Mochamad Ari Irawan