Konsep Faidh: Teori Penciptaan Alam Melalui Emanasi

Teori Penciptaan Alam Melalui Emanasi

Pecihitam.org – Adapun yang menarik dari tradisi berfilsafat para filusuf Muslim adalah betapapun mendalamnya dalam memikirkan tentang hakikat segala sesuatu, selalu saja mereka melibatkan Tuhan sebagai faktor kunci pembentuknya. Hal ini bisa kita lihat dari uraian dari dua filusuf yang pernah dimiliki oleh dunia Islam, yakni Ibn Sina dan al-Farabi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mulyadhi Kartanegara, seorang guru besar filsafat Islam, dalam buku Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Manusia, dan Alam (2017) menuturkan bahwa tradisi berfilsafat dua filusuf besar Muslim ini amat dipengaruhi oleh alam pikiran Yunani Kuno. Mereka dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Neo-Platonis yang bernuansa idelais. Dalam tradisi Neo-Platonis, ada konsep yang disebut sebagai “Akal.”

“Akal” ini dipahami tak sekedar sebagai gagasan atau pikran semata yang eksis setelah manusia memikikirkannya. Berbeda dengan konsep akal sebagaimana dalam makna keseharian yang sering kita pahami, “Akal” bahkan sudah eksis sebelum manusia itu berfikir. Dan “Akal” ini menjadi pembentuk dari segala yang ada di alam raya ini.

Nah, konsep tentang “Akal” ini oleh Ibn Sina dan al-Farabi dipinjam dan dielaborasi untuk menjelaskan perihal penciptaan alam semesta dengan memosisikan Tuhan sebagai pusat dari akal tersebut. Konsep penciptaan alam semesta yang dilakukan oleh dua filusuf besar Muslim ini disebut sebagai konsep Faidh (pelimpahan) atau dapat disebut sebagai Emanasi.

Baca Juga:  Mengenal Ibnu Sina (Avicenna), Seorang Tokoh dan Ilmuwan yang Terkenal dengan Ilmu Kedokterannya

Konsep Faidh atau Emanasi ini menjelaskan bahwa alam semesta ini diciptakan melalui runtutan penciptaan yang hirarkis dari fase awal ke fase-fase selanjutnya. Hirarki penciptaan dan fase-fase dalam konsep Emanasi ini disebut sebagai transisi dari Akal Pertama, ke Akal Kedua dan seterusnya hingga Akal Kesepuluh.

Penciptaan ini bermula dari Akal Pertama. Akal Pertama ini merupakan zat yang paling maha kuasa, yakni Tuhan. Dalam konsep emanasi, “Akal” dipahami sebagai sesuatu yang dapat berfikir dan kemudian dapat menghasilkan sesuatu.

Kemudian, setiap segala sesuatu yang berfikir juga membutuhkan objek yang dipikirkan. Karena Akal Pertama juga harus memiliki objek berfikir, namun karena dalam permulaan tidak ada zat lain selain Tuhan sendiri, maka yang dipikirkan Akal Pertama adalah zatnya Tuhan sendiri.

Baca Juga:  Qurban 2020, Begini Syarat dan Mekanisme yang Harus Dijalankan saat New Normal

Hasil dari Akal Pertama yang memikirkan dirinya sendiri tersebut adalah Akal Kedua. Kemudian Akal Kedua memikirkan tentang dirinya sendiri lantas menghasilkan Akal Ketiga yang berupa tubuh langit pertama dan jiwa dari langit pertama.

Proses berpikir dan pelimpahan ini kemudian dilakukan secara terus-menerus dan berurutan hingga tercapai Akal berikutnya lagi sampai Akal Kesepuluh. Pada Akal Kesepuluh itulah Bumi yang kita tinggali saat ini tercipta.

Teori penciptaan yang dikembangkan oleh Ibn Sina dan al-Farabi ini berusaha mengembalikan Tuhan ke dalam posisi sentralnya sebagai pencipta dari alam semesta ini. Konsep penciptaan alam semesta yang hirarkis dan berfase-fase ini biasanya dikembangkan oleh tradisi evolusi yang belakangan dipelopori oleh Charles Darwin.

Meskipun penemuan Darwin sudah jauh dari masa hidup Ibn Sina dan al-Farabi, namun dalam metode berfikirnya sangatlah materialistik yang meminggirkan peran Tuhan dalam prosesi penciptaan.

Tradisi pemikiran yang materialistik seperti Darwinisme itulah yang sebenarnya ingin diantisipasi oleh para filusuf Muslim dengan mengembangkan filsafat dengan landasan yang religius.

Metodologi filsafat emanasi ala Ibn Sina dan al-Farabi ini sayangnya kurang mendapatkan perhatian yang serius dari kaum Muslim sendiri. Padahal, jika saja konsep-konsep emanasi Ibn Sina dan al-Farabi ini dikembangkan lagi hingga memiliki paradigma ilmiah untuk ilmu-ilmu alam sungguhlah menarik.

Baca Juga:  Teori Mekanika Alam dan Problem Otonomi Alam Semesta dari Tuhan

Pengembangan itu akan menjadi paradigma alternatif di luar paradigma positivisme logis yang berkembang secara umum dalam dunia ilmu-ilmu alam belakangan. Pengembangan itu akan memperkaya dinamika keilmuan di pentas akademik kita.

Demikianlah penjelasan perihal konsep Emanasi dari Ibn Sina dan al-Farabi. Konsep ini berusaha mengembalikan Tuhan ke dalam posisi sentralnya dalam perdebatan filosofis tentang penciptaan alam semesta. Wallahua’lam.