Manhaj dan Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah

manhaj ahlussunnah wal jamaah

Pecihitam.org – Berawal dari banyaknya firqah-firqah menyimpang dan konflik identitas teologis, kemudian lahirlah firqah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ahlussunnah Wal Jama’ah lahir untuk melawan paham-paham yang melenceng dari ajaran Nabi Muhammas SAW dan para sahabat. Itulah mengapa pemikiran Aswaja jauh berbeda dengan firqah-firqah lain seperti Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Jabariyah, dan Qadariyah.

Daftar Pembahasan:

Manhaj Pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari

Metodologi pemikiran Imam al-Asy’ari adalah mengedepankan wahyu di atas akal. Berbeda dengan Mu’tazilah dan Qadariyah yang ekstrim dalam mengedepankan akal daripada wahyu.

Pemikiran Imam al Asy’ari adalah sebagai berikut :

  1. Kalamullah adalah qadim, bukan makhluk
  2. Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah
  3. Meyakini adanya Dajjal
  4. Meyakini Malaikat siksa kubur
  5. Meyakini Malaikat Munkar Nakir
  6. Meyakini Isra’ Mi’raj
  7. Meyakini kebenaran sebagian tafsir mimpi
  8. Sedekah dan do’a bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal
  9. Surga dan neraka ciptaan Allah
  10. Orang yang meninggal dan terbunuh berdasarkan takdir Allah
  11. Rezeki, halal dan haram, semuanya dari Allah
  12. Meyakkini telaga Kautsar
  13. Meyakini Syafaat Nabi
  14. Melihat Allah di surga
  15. Mengakui khalifah Abu Bakar al-Shiddiq.

Menurut Syekh Muhammad Abu Zahrah, pandangan Imam al-Asy’ari adalah moderat. Karena mencoba mencari jalan tengah antara pihak-pihak yang berlebihan, yang menafikan dan menetapkan serta pihak-pihak yang salin bertentangan seperti golongan Mu’tazilah, Hasywuyah, dan Jabariyah.
Pertentangan itu misalnya dalam beberapa hal, antara lain : Sifat-sifat Allah; Kekuasaan Allah dan perbuatan manusia; Al-Qur’an; dan Dosa besar.

Manhaj Pemikiran Imam Abu Manshur al-Maturidi

Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad al-Maturidi as-Samarwand lahir di Maturid, sebuah kota kecil dari daerah Samarqand pada pertengahan abad ke-3 H. atau pertengahan dua abad ke-9 M.

Beliau meninggal pada tahun 944 M. Sayangnya, Imam al-Maturidi tidak banyak diketahui riwayat hidupnya. Maka wajar, kalau riwayat pendidikannya tidak banyak diketahui publik.

Kota Samarqand, tempat Imam al-Maturidi dibesarkan, menjadi arena perdebatan antara aliran fiqh Hanafiyyah dan Syafi’iyyah. Juga perdebatan antara fuqaha’ dan ahli hadis di satu pihak dan aliran Mu’tazilah di pihak lain. Inilah yang mendorong Imam al-Maturidi untuk mendalami fikih dan ushul fikih serta ushuluddin.

Baca Juga:  Perbedaan Karakteristik Ahlussunnah Wal Jamaah dan Firqah Lainnya

Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaan, Imam al-Maturidi banyak pula menggunakan akal dalam kajian kalamnya. Imam al-Maturidi menggunakan metode berpikir ‘aqli (rasional), sedangkan Imam Imam Asy’ari menggunakan metode berpikir naqli (berdasarkan teks ayat dan hadis.

Abd Wahhab al-Khallaf mengatakan bahwa aliran Maturidiah merupakan aliran moderat. Maturidiyah berada di antara posisi Mu’tazilah dan Asy’ariyyah. Secara lebih detail, buah pemikiran Imam al-Maturidi adalah sebagai berikut :

1. Akal dan fungsi wahyu. Akal dapat menjangkau kesimpulan tentang adanya Allah, juga mampu mengetahui kewajiban berterima kasih kepadaNya. Karena Allah adalah pemberi nikmat, maka manusia harus dapat mengetahui keharusan berterima kasih kepada pemberi nikmat.

Imam al-Maturidi juga berpendapat bahwa akal bisa mengetahui baik dan buruk sesuatu berdasarkan sifat-sifat dasar, yang baik pada perbuatan baik dan sifat-sifat buruk pada perbuatan buruk.

2. Perbuatan manusia. Perbuatan manusia terbagi dua. Pertama, perbuatan Allah yang mengambil bentuk penciptaan daya pada diri manusia. Kedua, perbuatan manusia yang mengambil bentuk pemakaian daya berdasarkan pilihan dan kebebasan.

3. Perbuatan Allah. Perbuatan Allah mengandung hikmah yang ditentukan sendiri, tidak ada yang sia-sia. Perintah dan larangan dari Allah pasti mengandung hikmah.

Diperintahkan karena banyak mengandung manfaat dan dilarang karena banyak madharatnya. Mustahil bagi Allah memerintahkan keburukan dan melarang perbuatan baik.

Namun, perbuatan itu tidak wajib, karena kalau wajib meniadakan iradah Allah, jika wajib maka Allah dipaksa, dan apabila dipaksa berarti derajat Allah dibawah makhluk.

4. Perbuatan Dosa Besar dan Iman. Amal sebagian dari iman, jika seseorang melakukan dosa besar, sedangkan ia masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia tetap seorang mukmin. Dosa besar tidak membuat seseorang abadi di neraka, sekalipun mati sebelum bertaubat.

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Susu Formula dalam Islam Menurut Ulama Ahlussunnah wal Jamaah

Alasan yang dikemukakana dalah Allah akan membalas kejahatan dengan hukuman yang setimpal. Dosa yang tidak diampuni hanya syirik. Sepanjang seseorang tidak syirik, maka ia tetap mukmin dan kalaupun di neraka tidak selamanya.

5. Sifat-sifat Allah. Allah memiliki sifat namun sifat bukanlah dzat, sifat bukanlah yang tegak atau melekat pada dzat, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa terbilangnya sifat akan mengakibatkan kepada ta’addud al-qudama’.

6. Keqadiman al-Qur’an. Kalam Allah adalah makna yang berada pada dzat-Nya. Ia qadim dengan keqadiman yang tinggi. kalam Allah pada mulanya tidak terdengar karena jika terdengar, berarti suara, sedangkan suara itu baru atau makhluk. Kalam Allah ada dua, kalam nafsi, yang sifatnya qadim, dan kalam lafdzi, yang sifatnya hadits.

7. Melihat Allah. Melihat Allah mungkin karena hari kiamat berbeda dengan dunia. Pada hari kiamat berlaku ilmu Allah yang khusus, tanpa harus bertanya bagaimana caranya. Adapun pengibaratan melihat Allah dengan melihat bulan tanpa awan adalah memudahkan pemahaman.

Manhaj Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari

Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia sudah melekat sejak lama, dari generasi awal, yaitu Wali Songo, sampai generasi sekarang. Salah satu tokoh yang memproklamirkannya adalah KH. M. Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama.

Menurut Kiai Hasyim, Aswaja adalah kelompok yang tetap mempertahankan tradisi keagamaan lama dan tetap berada dalam koridor salafiyyun. Kelompok ini menunjuk pada muslim tradisional yang tetap mempertahankan tradisi keagamaan yang diwarisi dari ulama-ulama salaf.

Seperti hanya berpegang kepada salah satu madzhab tertentu, selalu mendasarkan pada kitab-kitab yang populer sebagai rujukan menjalankan agama, memiliki kecintaan yang tinggi terhadap keluarga Nabi, para wali dan ulama shalih.

Tidak hanya itu, mereka mempercayai dan mempraktekkan ‘meminta keberkatan’ (tabarruk) kepada Nabi, keluarganya, para wali dan ulama salih, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Baca Juga:  Salafi Wahabi Sedikit Pun Tak Layak Mengaku Sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Mereka juga melakukan ziarah ke makam, meneruskan tradisi talqin mayit, bersedekah untuk mayit, serta meyakini kebenaran doktrin syafa’ah, kebermanfaatan doa melalui si mayit atau tawassul, dan sebagainya.

Fokus Aswaja yang dikembangkan Kiai Hasyim adalah mengharuskan generasi sekarang untuk bermadzhab kepada generasi masa lalu yang cukup otoritatif dan membela tradisi keagamaan yang telah sekian lama dikembangkan oleh para ulama.

Keharusan mengikuti madzhab jelas melihat kapasitas orang-orang Indonesia, khususnya yang belum sampai kepada derajat mujtahid dan juga dalam rangka melestarikan warisan budaya Wali Songo yang berhasil mengislam orang Jawa dengan pendekatan budaya lokal.

Sebagai seorang pakar hadits, Kiai Hasyim mempunyai dasar keagamaan yang kuat untuk melegitimasi pemikirannya. Metode pemikiran Kiai Hasyim adalah kombinasi tekstual dan kontekstual.

Tekstual karena mengkaji al-Qur’an, hadis, dan pemikiran para ulama. Kontekstual karena membumikan esensi al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama sesuai dengan kebutuhan lokal masyarakat.

Metode dan produk pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari, Imam al-Maturidi dan KH. M. Hasyim Asy’ari di atas memberikan kejelasan pemahaman kepada kita bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah selalu menekankan moderasi, toleransi, keseimbangan, dan progresivitas dalam berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan, sehingga eksistensinya senantiasa diterima semua golongan.

Kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan dunia-akhirat selalu menjadi tujuan Ahlussunnah wal Jama’ah. Radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme menjadi musuh Aswaja yang harus direspons dengan pencerahan intelektual dan aksi sosial progresif untuk membumikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *