Mengapa Pesantren Masih Diminati di Tengah Maraknya Sekolah Islam Modern?

Mengapa Pesantren Masih Diminati di Tengah Maraknya Sekolah Islam Modern

Pecihitam.org – Tak lama setelah era reformasi bergulir kita menyaksikan maraknya kehadiran lembaga-lembaga pendidikan Islam baru. Berbagai kajian nampaknya menyepakati bahwa kehadiran lembaga-lembaga tersebut adalah imbas dari kolaborasi antara semangat islamisme dengan kemunculan kaum muslim kelas menengah sehingga menghasilkan kecenderungan keberagamaan baru yang disebut populisme Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sekolah-sekolah Islam baru itu menawarkan keislaman dan keshalihan individu yang terkomodifikasi dengan unsur-unsur kemodernan. Tentunya hal itu menjadi tawaran yang menggiurkan bagi generasi orangtua muslim masa kini.

Suasana ini sempat memunculkan kekhawatiran akan masa depan pesantren. Namun perasaan itu sedikit memudar demi melihat masih banyak para pelajar yang berbondong-bondong masuk pesantren.

Lalu mengapa pesantren masih diminati sekalipun tersedia pilihan-pilihan sekolah Islam lain yang kelihatannya lebih modern, baik dari segi fasilitas maupun kegiatan belajar-mengajarnya?

Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan mengapa pesantren masih diminati di tengah gempuran sekolah-sekolah Islam baru yang bermunculan dalam beberapa tahun terakhir.

Akan tetapi, penulis hanya mengambil satu contoh kasus pesantren, yakni Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri yang terletak di kota Martapura, Kalimantan Selatan.  

Hal ini karena keterbatasan penulis sendiri sebagai guru di pesantren tersebut dan kapasitas pengamatan yang memang bukan bertujuan untuk melakukan penelitian yang formal dan komprehensif. Meski ini hanyalah kajian sederhana, bisa saja gambaran objektif yang tertuang dalam tulisan ini terjadi pula di beberapa pesantren lain.

Tahun ajaran 2019-2020 ini Darul Hijrah Putri menerima jumlah besar santriwati baru dengan proses penerimaan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Sebelum penerimaan santriwati baru berakhir di akhir bulan Februari 2019 tercatat sebanyak lebih dari 600 nama telah mengisi formulir pendaftaran. Ini berarti jumlah pendaftar telah melebihi kuota yang telah disediakan (500).

Hal ini memberi kesan nampaknya Darul Hijrah Putri masih mendapat kepercayaan dan perhatian para orangtua. Dengan demikian, patutlah kiranya muncul pertanyaan “apa yang membuat masyarakat masih menaruh kepercayaan kepada Darul Hijrah Putri?”, “apa yang membuat pesantren putri ini masih diminati?”

Pertanyaan yang memberi gambaran awal terhadap jawaban pertanyaan “mengapa pesantren masih diminati?” itu dirasa penting untuk mengetahui bidang-bidang mana dari pesantren yang menarik perhatian para orangtua dan bagian mana yang perlu dibenahi, serta apa yang menjadi pembeda pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam baru.

Baca Juga:  Corak Aswaja dalam Bidang Politik, Santri Millenial Harus Paham!

Mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis menelusuri jawaban-jawaban 610 orangtua dalam prosesi wawancara orangtua selama penerimaan calon santriwati baru. Kepada mereka ditanyakan: “mengapa Bapak/Ibu ingin menyekolahkan anak di Darul Hijrah Putri?”

Pertanyaan yang diajukan tersebut berbentuk essay dan jawaban para orangtua tentunya bervariasi, sehingga penulis berkesimpulan untuk menggunakan pendekatan kualitatif terhadap objek yang diamati, karena tidak pas menafsirkan pernyataan-pernyataan bebas tanpa indikator tertentu ke dalam angka-angka.

Pertama-tama, penulis mengumpulkan satu-persatu jawaban orangtua dari data yang telah dihimpun Panitia Penerimaan Santriwati Baru (PSB) sebagai data valid, kemudian menafsirkan jawaban-jawaban tersebut lalu mengelompokkannya dalam berbagai kategori. Setelah kategori-kategori tersusun dilakukanlah analisa secara kualitatif sebagai sentuhan akhir.

Berdasarkan metode di atas, jawaban-jawaban orangtua digolongkan ke dalam empat kategori, yakni: pengetahuan dan keterampilan, pembentukan pribadi, pilihan anak sendiri dan faktor keluarga.

Kategori pertama menunjukkan bahwa para orangtua percaya bahwa Darul Hijrah Putri memiliki kurikulum yang dinilai mumpuni dalam membina pengetahuan dan keterampilan anak. Target yang diinginkan adalah putri-putri mereka menguasai dasar-dasar bahasa Arab dan Inggris yang telah menjadi ciri khas dan identitas pesantren Gontorian ini.

Keseimbangan kurikulum antara kurikulum pondok dan negeri yang diusung oleh pesantren ini juga menjadi nilai tawar yang nampak ideal di mata orangtua. Hal itu ditambah dengan ketersediaan kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler yang berupaya mengembangkan minat dan bakat santriwati, sehingga lengkaplah harapan orangtua tentang masa depan putri-putrinya.

Dengan demikian, Darul Hijrah Putri sampai saat ini masih dikenal oleh masyarakat sebagai pesantren dengan ciri khas dan identitasnya dan nampaknya pesantren ini masih akan tetap mempertahankan ciri khas dan identitas itu.

Persoalannya, karakteristik-karakteristik tersebut kini juga dapat ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam baru yang sedang menjamur.

Sekolah-sekolah itu menawarkan pendidikan bahasa Arab dan Inggris dengan metode-metode yang lebih mutakhir, memadukan cita-cita duniawi dan ukhrawi, serta meminjam pola pendidikan pesantren yang memberi peluang besar bagi terlaksananya beragam kegiatan ekstrakulikuler lewat apa yang kini dikenal dengan full day school.

Apa yang kemudian disebut sebagai sekolah-sekolah Islam “terpadu” itu menjadi tren masyarakat muslim saat ini dan bahkan biaya pendidikan yang tinggi bukanlah masalah bagi muslim kelas menengah yang meminatinya, sehingga mengatakan “Darul Hijrah baik-baik saja” sungguh tidak terdengar baik.

Baca Juga:  Gus Dur, Pesantren dan Gelombang Dinamisasi

Sekalipun kehadiran lembaga-lembaga pendidikan Islam baru menjadi tantangan tersendiri bagi Darul Hijrah Putri dan pondok pesantren umumnya, setidaknya ada satu nilai tawar pesantren yang nampaknya tidak atau belum dapat tergeser. Hal ini terlihat dari kategori jawaban orangtua kedua, yakni bahwa melalui pesantren mereka berharap putri-putri mereka mendapat pendidikan yang membentuk kepribadian.

Pembentukan pribadi anak yang dimaksud para orangtua meliputi pendidikan agama, akhlakul karimah, berdisiplin, mandiri dan aman dari pergaulan yang negatif. Harapan para orangtua ini mencerminkan kepercayaan yang tinggi terhadap sistem pendidikan pesantren yang berbeda dari lembaga pendidikan Islam lain. Akan tetapi, bukankah sekolah-sekolah Islam lain punya tujuan yang sama?

Rupanya pembedanya terletak pada asrama-asrama pesantren yang menjadi tempat tinggal santriwati 24 jam setiap hari dan tujuh hari setiap minggu. Asrama pesantren memberikan pengalaman berbeda dan khas kepada para santriwati demi membina kepribadian mereka.

Asrama juga menyediakan lebih banyak waktu dan tempat untuk beribadah. Asrama memberi wadah pergaulan yang luas sesama santriwati sebagai sarana belajar berakhlakul karimah Asrama juga membiasakan santriwati berdisiplin dan tentunya asrama memaksa santriwati untuk mandiri.

Selain itu, tertutupnya lingkungan santri putri dari dunia luar, seperti adanya Darul Hijrah Putri, memberi rasa aman bagi para orangtua dan tentu saja lingkungan semacam ini dipercaya sebagai pendukung pembinaan kepribadian putri-putri mereka.

Inilah yang membedakan pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya, sehingga dengan ini pesantren perlu agak sedikit lebih fokus pada proses pendidikan di asrama-asramanya, di samping kegiatan belajar-mengajar di kelas-kelas.

Selain jawaban-jawaban di atas, kategori jawaban orangtua ketiga juga dapat dijadikan tolak ukur mengapa orangtua memilih pesantren. Dalam wawancara sebagian orangtua mengatakan bahwa mereka memasukkan putri-putrinya ke pesantren ini karena pilihan si anak sendiri. Dengan ini sah-sah saja mengatakan bahwa Darul Hijrah Putri cukup populer di kalangan generasi muda.

Tidak diketahui secara pasti bidang apa yang dimiliki pesantren ini hingga memikat remaja-remaja putri, namun tidaklah keliru kiranya jika pesantren ini mempertahankan posisinya tersebut dengan menggunakan pendekatan-pendekatan keremajaan milenial dalam proses pendidikannya.

Baca Juga:  Hubungan Antara Pesantren, Santri dan Kyai, Apa Sajakah Itu?

Penyiaran informasi dan kabar-kabar pondok melalui internet dan khususnya media sosial sebagai tuntutan zaman dan kebanyakan dikonsumsi generasi muda milenial nampaknya cukup berpengaruh bagi popularitas pesantren ini.

Selain populer di kalangan generasi muda, Darul Hijrah Putri sepertinya sudah dikenal dengan baik. Sebagian orangtua beralasan bahwa mereka mendaftarkan putri-putri mereka karena sebelumnya pernah menyekolahkan putri-putri mereka atau anggota-anggota keluarga yang lain di pesantren ini, entah santri-santri putri lama itu sudah menjadi alumni atau masih mondok.

Jika saudari yang lebih tua masih belajar, maka menitipkan anak di pesantren ini bukanlah keputusan yang sulit bagi orangtua. Jika si kakak sudah lulus dan si adik melanjutkan kiprah saudarinya menempuh pendidikan di pesantren ini, maka tidaklah berlebihan jika para orangtua mengakui bahwa pesantren putri ini adalah pilihan terbaik.

Hasil wawancara orangtua sebagaimana dipaparkan di atas disajikan untuk memotret sejauh mana pandangan masyarakat terhadap Darul Hijrah Putri. Akan tetapi, perlu diperhatikan dua hal penting yang di satu sisi bisa menjadi kelemahan hasil wawancara orangtua untuk memenuhi tujuan tersebut.

Pertama, wawancara orangtua tersebut merupakan salah satu prosesi penerimaan santriwati baru, sehingga jawaban-jawaban yang mereka berikan didorong oleh keinginan agar anak-anak mereka diterima sebagai santriwati baru. Penulis, misalnya, tidak menemukan jawaban-jawaban terkait ketersediaan fasilitas dan lain sebagainya.

Kedua, alasan-alasan orangtua memasukkan ke anak ke Darul Hijrah Putri terdengar lebih berupa harapan-harapan ketimbang pandangan-pandangan, sehingga alih-alih diperhitungkan sebagai “daya jual” dan “daya saing”, hasil wawancara orangtua itu mesti dipandang sebagai motivasi bagi pengurus pesantren untuk membenahi bidang-bidang yang menjadi tumpuan harapan para orangtua setelah melihat sejauh mana bidang-bidang tersebut berjalan selama ini.

Meski demikian, kita masih dapat memandang jawaban-jawaban orang-tua tersebut di atas untuk menilai tingkat kepercayaan mereka terhadap Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri dan pesantren pada umumnya. Sebab, di manapun harapan ditanamkan di situ ada rasa kepercayaan.

Tentu saja banyak lagi variabel-variabel lain yang harus dipertimbangkan dalam menjawab pertanyaan “mengapa pesantren masih diminati?”, seperti kondisi geografis pesantren, fasilitas, konstruk budaya masyarakat di sekitar pesantren dan lain-lain. Jangan-jangan, pesantren juga mendapat manfaat dari geliat populisme Islam yang mencuat selama ini.

Yunizar Ramadhani