Mengenal Pemikiran Said Hawa tentang Tazkiyatun Nafs dan Pembagiannya

Mengenal Pemikiran Said Hawa tentang Tazkiyatun Nafs dan Pembagiannya

PeciHitam.org – Said Hawa dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Arabiyyah Althaisy di kota Hammah (Suriah) pada tanggal 27 September 1935. Ayahnya bernama Muhammad Dib Hawa. Said Hawa meninggal dalam usia ke-52 tahun, tepatnya pada tanggal 9 Maret 1987 di kota Amman, Yordania.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Said Hawa kecil, sudah aktif di Ikhwanul Muslimin (IM) sejak masih remaja.

Pemikiran-pemikiran ikhwanul muslimin sangat mempengaruhi kepribadian dan pola pikir Said Hawa. Dari beberapa karya Said Hawa, dapat kita simpulkan bahwa pandangan gerakan islam Said Hawa sealiran dengan Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.

Adapun beberapa karya-karya Said Hawa, antara lain:

  1. Tarbiyatun ar-Ruhiyyah
  2. Al-Mustakhlas fi Tazkiyah al-Anfus
  3. Ash-Shiddiqina wa ar-Robbaniyyina min Khilal an-Nusus wa Hikam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari
  4. Al-Islam
  5. Ar-Rasul
  6. Al-Asas fi as-Sunnah
  7. Allah Jallalah
  8. Ihya’ur Rabbaniyyah
  9. Hadzihi Tajribati wa Hadzihi Syahadati
  10. Jundullah Takhtitan wa Tanziman
  11. Sina’ah ash-Shabbab
  12. Akhlaqiyyat wa Sulukiyyat fi Qarnil Khamis ‘Asyar al-Hijri
  13. Jaulat fi al-Fiqhaini al-Kabir wa al-Akbar wa Ushulihima
  14. Al-Asas fi al-Tafsir
  15. Ijazah Takhassus ad-Du’a

Dalam kitabnya yang berjudul Tarbiyatuna ar-Ruhiyah, ia mengeksplor lebih jauh pemikiran al-Ghazali tentang jiwa. Menurutnya, jiwa manusia dapat dibagi dalam tiga keadaan, yakni an-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang), an-nafs al-lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri), dan an-nafs la’ammarat bis su’ (jiwa yang memerintakan untuk berbuat keburukan). Ketiga konsep tentang jiwa ini di Indonesia mungkin sering kita dengar, terutama populer di kalangan Nahdlatul Ulama.

Baca Juga:  Al Qarafi Ilmuwan Muslim Penemu Teori Pelangi

Pertama, mengenai an-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang). Yang dimaksud jiwa yang tenang di sini ialah selalu berusaha mencari ridha Allah SWT dengan cara senantiasa semaksimal mungkin mengerjakan kebajikan agar hidupnya tenang. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab setiap kali seseorang melakukan keburukan, sering kali ia merasa resah atas perbuatannya tersebut.

Hal ini merujuk pada surat al-Fajr ayat 27 sampai 30, Allah berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

Hai jiwa yang tenang

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.

فَادْخُلِي فِي عِبَادِي

Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku,

وَادْخُلِي جَنَّتِي

masuklah ke dalam surga-Ku.

Kedua, yaitu an-nafs al-lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri). Penyesalan ini muncul dari kelalaiannya dari perintah Allah. Tidak jarang ketika seseorang melalaikan perintah-perintah-Nya, karena mengikuti bujuk rayu hawa nafsunya sesaat, ia akan menyesalinya di kemudian hari. Baik itu selama masih dunia maupun di akhirat kelak. Hal ini merujuk pada surat al-Qiyamah ayat 2, yang berbunyi:

Baca Juga:  Abu Jahal (Amr bin Hisyam), Musuh yang Mengakui Kebenaran Nabi

وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).

Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kelak di hari kiamat nanti, orang-orang yang melalaikan kewajibannya selama didunia akan menyesal. Sebab di hari kiamat nanti semua amal yang kita lakukan di dunia akan diperhitungkan dan diberikan balasan.

Kemudian yang ketiga yaitu an-nafs la’ammarat bis su’ (jiwa yang memerintakan untuk berbuat keburukan). Jiwa yang lalai di atas, akan terperosok kepada keadaan ketiga, yaitu nafsu yang selalu menyuruh pada kejahatan (an-nafs la’ammarat bis su’), seperti yang terekam dalam surah Yusuf ayat 53, Allah berfirman:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

Surah ini berkisah tentang keadaan Nabi Yusuf AS saat terbebas dari fitnah. Nabi Yusuf secara rendah hati tidak mengatakan dirinya suci atau terbebas dari kesalahan. Sebab, secara naluri jiwa manusia selalu condong kepada kesenangan, yakni menganggap indah keburukan dan kejahatan.

Baca Juga:  Syaikh Ibrahim Samarkandi; Penyebar Islam di Champa Hingga ke Nusantara

Ia bersyukur Allah karena telah menjaganya dari terpedaya nafsu. Hanya jiwa yang dijaga atau diberi rahmat oleh Allah lah (“maa rahima rabbii”) yang akan dihindarkan dari kejelekan.

Dengan menyadari tiga kondisi jiwa (nafs), maka dirasakan perlu adanya penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Menurut Said Hawwa, tazkiyatun nafs pada hakikatnya menjauhkan diri dari kemusyrikan, yakni mengakui dengan setulus hati dan sebenar-benarnya tentang keesaan Allah SWT.

Mohammad Mufid Muwaffaq