Hukum Menambahkan Nama Suami di Belakang Nama Istri

Hukum Menambahkan Nama Suami di Belakang Nama Istri

PeciHitam.org – ta pasti sering menemui penambahan nama tersebut di sosial media maupun sekedar nama panggilan. Dalam tradisi Indonesia, sangat lumrah di telinga kita mendengar nama-nama perempuan yang akhirnya ditambahkan nama seorang laki-laki. Sebenernya, bagaimana hukum menambahkan nama suami di belakang nama istri seperti hal diatas?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Biasanya nama orang laki-laki yang ditambahkan di belakang nama si perempuan tersebut adalah nama ayahnya ataupun nama suaminya.

Lantas bagaimana dengan pendapat beberapa orang (ustadz atau ustadzah) yang mengharamkan penambahan nama suami pada nama istri yang berlandaskan pada hadits Muslim yang diriwayatkan oleh Abi Dzar?

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ

Artinya, “Orang yang mengaku keturunan dari orang yang bukan ayahnya sendiri, sedangkan dia tahu, maka dia telah kafir.”

Bahkan dalam riwayat Bukhari dan Abu Dawud dijelaskan sebagai berikut.

فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ مَنْ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ

Artinya, “Siapa yang mengaku keterunan dari orang yang bukan ayahnya sendiri, sedangkan dia tahu, maka haram surga baginya.”

Untuk memahami dua hadits di atas tidak lantas menelan mentah-mentah bentuk teksnya. Sehingga dianggap bahwasannya semua orang yang menambahkan nama orang lain di belakang namanya termasuk dalam kategori dua hadis di atas.

Baca Juga:  Hukum Waris dalam Islam di Indonesia, Sudah Sesuaikah?

KH Ali Mustafa Yaqub dalam hal ini mengutip pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengatakan bahwa dalam memahami sebuah hadits seseorang harus mengetahui illatnya termasuk dalam memahami hadits di atas.

Dengan demikian kita tidak serta merta mengharamkan seseorang yang menambahkan nama suaminya setelah namanya.

Ibnu Hajar Al-Asqalani ketika memberi penjelasan pada hadits di atas mengatakan, yang dimaksud oleh hadits riwayat Bukhari di atas (dan hadits riwayat Muslim) sebenarnya bukan untuk semua orang yang menambahkan nama orang lain setelah namanya, namun lebih spesifik kepada orang yang mengakui orang lain sebagai ayahnya.

Dengan begitu yang dimaksud dalam hal ini ialah menasabkan dirinya dengan orang yang bukan ayah kandungnya.

Hal itu dilarang karena seolah-olah dia mengatakan bahwa “Allah mencipatakanku dari air maninya si fulan”. Dan hal seperti ini secara otomatis orang tersebut telah berbohong atas nama Allah.

Sepandangan dengan pendapat Ibnu Hajar yang mengutip pendapat Ibnu Bathal tentang hal ini. Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah tidak semua orang yang namanya terkenal dengan tambahan nama orang lain (seperti menambahkan nama suami setelah nama istri) melainkan hadits tersebut ingin mengomentari budaya Jahiliyah yang mengadopsi anak lantas anak tersebut dinasabkan kepada orang yang mengadopsinya. Sehingga seolah-olah orang yang mengadopsi tersebut adalah ayahnya yang sesungguhnya.

Baca Juga:  Bagaimanakah Hukum Menempatkan Beberapa Istri dalam Satu Rumah?

Bahkan budaya Jahiliyah tersebut pernah dialami Nabi Muhammad SAW. Kala itu nabi memiliki budak yang dimerdekakan bernama Zaid. Karena saking lekatnya Zaid dengan Rasulullah, maka Zaid dipanggil Zaid bin Muhammad. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar berikut ini.

أن زيد بن حارثة مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم ما كنا ندعوه إلا زيد بن محمد. حتى نزل القرآن) ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله  (فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أنت زيد بن حارثة بن شراحيل

Artinya, “Sesungguhnya kami selalu memanggil Zaid, budak yang dimerdekakan Rasulullah dengan panggilan Zaid bin Muhammad sampai turunlah ayat ‘Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan nama bapak-bapak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah,’ (Surat Al-Ahzab ayat 5). Nabi pun berkata, ‘Kamu adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil.’”

Namun menurut pandangan Ibnu Hajar, masih ada beberapa orang yang dipanggil dengan nama bapak angkatnya seperti Miqdad bin Al-Aswad. Padahal nama bapak kandungnya ialah Amr bin Tsa’labah. Dia dinisbatkan kepada Al-Aswad bin Abdul Yaghuts Az-Zuhri karena Al-Aswad adalah bapak angkatnya. Menurut Ibnu Hajar hal ini diperbolehkan dengan alasan, karena bukan untuk tujuan nasab tapi untuk ta’rif.

Baca Juga:  Hukum Asuransi dalam Islam dan Takaful; Benarkah di Haramkan? Ini Penjelasannya

Sebagaimana kasus Miqdad diatas, sebenarnya ada berbagai alasan mengapa perempuan harus menambahkan nama suami di belakang namanya. Menambahkan Nama Suami di Belakang Nama Istri dibolehkan denga alasan ialah li ta’rif, yakni untuk lebih mengetahui secara spesifik si pemilik nama itu. Bisa jadi ada beberapa nama perempuan yang sama. Ketika ditambahkan nama suaminya, maka akan lebih jelas dan spesifik lagi siapa nama yang dimaksud.

Dari beberapa penjelasan di atas, bisa kita pahami bahwa sebenarnya menambahkan nama suami setelah nama istri adalah diperbolehkan karena bukan bertujuan untuk li nasab, melainkan hanya untuk ta’rif. Wallahu a’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *