Bolehkah Meninggalkan Shalat Karena Menjadi Relawan Bencana?

Bolehkah Meninggalkan Shalat Karena Menjadi Relawan Bencana?

PeciHitam.org – Indonesia merupakan daerah yang rawan terjadi bencana. Indonesia menempati peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hal ini dipengaruhi posisi geografis Indonesia yang terletak di ujung pergerakan tiga lempeng dunia, antara lain Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Tidak hanya itu, Indonesia juga berada di wilayah Cincin Api yang rawan terjadi aktivitas seismik dan gunung api.

Berdasarkan kondisi seperti itu, Indonesia dituntut agar mampu tanggap bencana. Banyak sekali relawan yang terjun untuk menanggulangi bencana tersebut.

Bagi relawan yang beragama Islam, ketika disibukkan dengan kegiatan penanggulangan bencana, ia juga memiliki kewajiban agama, salah satunya shalat. Lalu, yang menjadi pertanyan, bolehkah meninggalkan shalat karena menjadi relawan bencana?

Seperti yang kita ketahui bersama, kewajiban mengerjakan shalat berlaku bagi setiap mukallaf (manusia yang akil dan baligh) seumur hidup. Oleh sebab itu, dalam kondisi dan situasi apapun ia masih memilii kewajiban tersebut. Misalnya situasi sakit sekalipun kewajiban shalat juga masih tetap berlaku meskipun dalam mengerjakannya berbeda dengan shalatnya orang sehat, baik itu dengan duduk, berbaring dan sebagainya.

Baca Juga:  Khilafiyah di Antara Ulama Tentang Hukum Menikah dalam Islam

Dalam situasi dan kondisi tertentu, mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal) tetap harus melakukan shalat kecuali perempuan yang sedang mengalami menstruasi atau nifas (melahirkan).

Ada keringanan (rukhshah) bagi perempuan yang sedang menstruasi dan nifas agar tidak mengerjakan shalat dan tidak mengqadhanya menurut mazhab Syafi’i.

Adapun ketika dihadapkan dalam situasi uzur (berhalangan) atau bahkan darurat, seseorang juga hanya diberi keringanan untuk membatalkan shalat atau menunda pelaksanaan shalat saja dari waktu yang seharusnya. Hal ini berdasarkan yang tertuang dalam kitab Al-Mausu’ah al- Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah sebagaimana keterangan berikut ini:

فَتُقْطَعُ الصَّلاَةُ لِقَتْل حَيَّةٍ وَنَحْوِهَا لِلأَمْرِ بِقَتْلِهَا، وَخَوْفِ ضَيَاعِ مَالٍ لَهُ قِيمَةٌ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ، وَلإِغَاثَةِ مَلْهُوفٍ

“Shalat boleh dibatalkan karena ingin membunuh ular atau sejenisnya yang diperintahkan dalam syariat untuk dibunuh, karena dikhawatirkan dapat kehilangan harta benda berharga dan harta lainnya, karena menyelamatkan orang yang minta tolong.”

Kemudian pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika sedang mengevakuasi harta benda korban bencana? Apakah boleh menunda untuk mengerjakan shalat dari waktu yang seharusnya? Bagaimana cara dan langkahnya?

Baca Juga:  Hukum Mencukur Bulu Kemaluan dalam Islam dan Tata Cara Melakukannya

Dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Az-Zuhayli dijelaskan sebagai berikut:

كما تقطع الصلاة خوف اندلاع النار واحتراق المتاع ومهاجمة الذئب الغنم؛ لما في ذلك من إحياء النفس أوالمال، وإمكان تدارك الصلاة بعد قطعها

“Shalat juga dapat dibatalkan ketika khawatir pada jilatan api, terbakarnya harta benda tertentu, atau terkaman serigala kepada ternak kambing karena pembatalan shalat karena untuk menolongnya itu merupakan bagian dari penyelamatan jiwa atau harta benda dan memungkinkan mengulang shalat tersebut setelah pembatalan.”

Namun demikian, kiranya situasi memang tidak begitu mendesak atau darurat, para relawan bencana juga dianjurkan untuk tetap menjaga shalat tepat pada waktunya (shalat li waqtiha). Bisa juga ketika memang ada relawan bencana lain yang dapat bergantian untuk sementara ketika hendak mengerjakan shalat.

Sehingga orang tersebut bisa memiliki kesempatan untuk tetap mengerjakan shalat sekaligus tanpa mengabaikan tugasnya dalam mengevakuasi para korban.

Pada saat korban membutuhkan pertolongan para relawan, baik pertolongan evakuasi jiwa maupun harta benda. Namun kala itu jumlah relawan yang terjun ke daerah bencana dikatakan minim atau terbatas, maka para relawan tersebut diperbolehkan untuk mengambil langkah penundaan atau pembatalan shalat dari waktu yang seharusnya atau semestinya.

Baca Juga:  Wajib Tahu! Inilah Lima Ketentuan Berpakaian Bagi Muslimah

Hal yang perlu ditekankan ialah kondisi tersebut bersifat darurat, dan tidak memungkinkan untuk bergantian melaksanakan shalat. Barulah dapat mengambil langkah untuk menunda pelaksanaan shalat dari waktu yang semestinya.

Demikianlah pembahasan mengenai boleh atau tidaknya meninggalkan shalat karena menjadi relawan bencana, semoga menjadi baham pembelajaran bagi kita semua. aamiin.

Mohammad Mufid Muwaffaq