Pengaruh Kebudayaan Champa Terhadap Islam di Nusantara (Bagian 1)

kerajaan champa

Pecihitam.org – Salah satu jalur Islamisasi Nusantara adalah melalui Champa, Vietnam. Jalur Champa ini dibawa oleh Syaikh Ibrahim Samarkand bersama dua anaknya, yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Ali Murtadho yang kemudian menjadi imam di Gresik pada zaman Majapahit.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mulanya, di Champa terdapat sebuah Kerajaan Islam. Salah satu putri Champa tersebut dinikahkan dengan Syaikh Ibrahim Samarkand asal Asia Tengah dan melahirkan dua puteranya tersebut. Selain itu, puteri Kerajaan Champa lainnya menikah dengan Prabu Brawijaya V. Walaupun, pada akhirnya Kerajaan Champa runtuh setelah diserang kerajaan lain di Vietnam.

Pengaruh jalur Champa tersebut melalui dakwah Syaikh Ibrahim Samarkand bersama putra-putranya yang menjadi tokoh besar dan jalur kraton Majapahit melalui putri Champa yang menikah dengan Prabu Brawijaya V.

Dari jalur pernikahan tersebut terbukti membantu memudahkan proses dakwah Syaikh Ibrahim Samarkand dan putra-putranya. Kemudian, proses Islamisasi jalur Champa tersebut memiliki pengaruh terhadap tradisi keislaman yang banyak diadopsi dan dilestarikan masyarakat muslim Nusantara.

Baca Juga:  Inilah Tiga Tahap Perkembangan Institusi Atau Organisasi Tarekat Menurut Harun Nasution

Menurut budayawan Nahdlatul Ulama’ (NU) Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo (2017) dengan mengutip Antonie Cabaton melalui karyanya Les Chams Musulmans de l’Indochine Francaise yang menjelaskan bahwa kaum muslim Champa setelah melakukan pemakaman terhadap saudaranya yang wafat, melakukan upacara doa-doa bersama.

Upacara doa-doa peringatan hari kematian tersebut meliputi upacara hari ke-3, ke-7, ke-10,  ke-30, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Upacara demikian itu sangat mirip dengan tradisi dalam masyarakat muslim tradisional di Nusantara yang kemudian membentuk organisasi Nahdlatul Ulama’ (NU). Dengan sama persis, kalangan muslim tradisional melakukan tradisi yang seperti itu ketika keluarga atau tetangganya wafat.

Tradisi upacara doa setelah pemakaman tersebut belakangan ini kaum wahabi menuduh bahwa tradisi upacara doa pasca pemakaman tersebut merupakan tradisi agama Hindu-Budha yang musyrik jika ditiru oleh kaum muslim. Padahal, dalam tradisi kaum Hindu-Budha sendiri mereka hanya mengenal tradisi sraddha, yakni upacara setelah 12 tahun wafat.

Baca Juga:  Cerita Gus Baha Tentang Slogan Kembali ke Qur'an dan Sunnah

Kemudian, menurut Antonie Cabaton lagi, bahwa kaum muslim di Champa selain melakukan upacara peringatan hari kematian, mereka juga melakukan upacara haul tahunan, peringatan hari Asyura, Maulid Nabi Saw, upacara menikahkan anak, dan berbagai bentuk tradisi masyarkat Melayu-polinesia lainnya (Sunyoto, 2017).

Antonie Cabaton menjelaskan bahwa kaum muslim Champa dalam melakukan sebuah upacara peringatan hari wafat, memulainya dengan doa yang oleh mereka disebut sebagai ngap kamrwai, bersembahyang, yakni dengan membaca sunsamillah (bismillah). Kemudian disusul dengan bacaan phwatihah (fatihah) dan pujian-pujian kepada para Po Yang (Pu Hyang) dan kepada arwah leluhur (Sunyoto, 2017).

Kemudian upacara itu ditutup dengan kegiatan makan-makan bersama dengan mendahulukan Ong Gru (tuan guru) dan para imam. Dari penggambaran Antonie Cabaton tersebut menampakkan tradisi yang sama persis dengan tradisi yang dilakukan oleh kaum muslim tradisionalis di Nusantara.

Baca Juga:  Inilah Tugas Malaikat Jibril Setelah Rasulullah Wafat

Dalam tradisi upacara peringatan hari kematian kaum muslim Nusantara disebut sebagai “kenduri”. Konon kabarnya istilah kenduri sendiri tersebut diadopsi dari bahasa Persia. Yakni sebuah tradisi yang memperingati wafatnya Fatimah Az-zahra (puteri Nabi Muhammad Saw) dalam kebiasaan orang Persia disebut sebagai “kanduri”. Dari kata “kanduri” tersebut dalam logat pelafalan kaum muslim Nusantara disebut sebagai “kenduri”.

Demikianlah tentang salah satu warisan tradisi keislaman Champa yang kemudian dilestarikan oleh kaum muslim tradisionalis di Nusantara. Ternyata tradisi upacara peringatan hari wafat tersebut kelitu jika dianggap sebagai pengaruh Hindu-Budha. Yang benar adalah demikian itu merupakan warisan dari kebudayaan Islam Champa.

Bersambung bagian 2