Pentingnya Filsafat bagi Kaum Muslim; Mengikis Fanatisme, Meredam Ekstremisme

Pentingnya Filsafat bagi Kaum Muslim

Pecihitam.org – Sering kali, sebagian dari kita, orang Islam, takut untuk belajar filsafat. Ada stigma yang berkembang dalam masyarakat kita bahwa jika belajar filsafat, maka kita akan menjadi ateis atau tidak percaya dengan Allah Swt. Apakah benar stigma yang demikian itu?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Stigma buruk yang berkembang dalam masyarakat tersebut tak sepenuhnya dapat dibenarkan. Pandangan bahwa kalau belajar fisafat dapat mengikis keimanan tersebut terlampau simplistis untuk menilai seberapa jauh manfaat filsafat untuk kehidupan kaum muslim.

Sebetulnya, dalam catatan sejarah peradaban Islam sendiri, kaum muslim itu tidak selalu memusuhi filsafat. Lihat saja, banyak ulama’-ulama’ besar dalam Islam yang menjadi ahli-ahli filsafat. Misalnya, Ibn Rushd, Ibn Sina, al-Kindi, ar-Razi dan masih banyak lagi ulama’ Islam dan sekaligus menjadi filusuf.

Bahkan suatu waktu imam al-Ghazali sempat teribat dalam sebuah perdebatan filsafat yang sangat sengit dengan Ibn Rushd. Mulanya, ketika imam al-Ghazali menulis sebuah kitab dengan judul “Tahafudz al-Falasifah”, sebuah kitab yang mengkritik kerancuan berfikir para filusuf.

Namun, kitab al-Ghazali tersebut dikritik oleh ulama’ lain yakni Ibn Rushd melalui kitabnya “Tahafut al-Tahafutz”. Pandangan al-Ghazali yang menganggap bahwa filusuf itu cara berfikirnya rancu dan jauh dari Allah Swt itu disangkal oleh Ibn Rushd. Menurut Ibn Rushd bahwa al-Ghazali sendiri alih-alih hendak melarang filsafat, justru ia sendiri dalam mengkritik para filusuf tersebut juga menggunakan metode berfikir filsafat.

Baca Juga:  Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 2)

Kemudian, terkait dengan contoh ulama’ yang sekaligus filusuf, kita perlu menengok dua teolog paham ahlus sunnah waljama’ah (Aswaja). Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi sendiri dalam mengembangkan paham Aswaja juga melalui penalaran filosofis.

Diceritakan bahwa ketika sebelum muncul paham Aswaja, paham keislaman yang berkembang adalah aliran Mu’tazilah. Paham Mu’tazilah terkenal sebagai paham keislaman yang filosofis rasionalis bahkan hingga mendahulukan akal dari pada wahyu.

Kemudian, dalam konteks untuk melawan paham Mu’tazilah yang sangat kental dengan nuansa filsafat rasional tersebut, paham Aswaja datang untuk membatalkan pemikirannya dengan pendekatan filosofis juga. Namun, perbedaannya, paham Aswaja dalam berfilsafatnya mendahulukan wahyu dari pada akal.

Dari berbagai contoh di atas, menampakkan bahwa filsafat tidaklah asing dalam tradisi dan sejarah Islam. Kemudian, pada era saat ini sepertinya penting untuk menghidupkan kembali tradisi berfilsafat dalam kehidupan kaum muslim.

Baca Juga:  Orisinalitas Filsafat Islam (2): Modifikasi Ibnu Sina terhadap Filsafat Yunani

Kenapa saat ini penting untuk menghidupkan tradisi filsafat dalam Islam? Yakni disebabkan oleh banyaknya fenomena fanatisme buta sebagian kaum muslim sehingga menumbuhkan cara pandang keislaman yang ekstrem.

Ada sebagian saudara muslim kita yang terlampau fanatik, hingga kemudian dimanfaatkan oleh tokoh agama dengan paham keislaman yang ekstrem dan jihadis untuk melakukan tindakan yang merusak. Misalnya ada sebagian saudara muslim yang menjadi pengantin bom bunuh diri oleh tokoh agama yang memiliki aspirasi keislaman ekstrem.

Dalam konteks demikian ini, sepertinya penting untuk menghidupkan tradisi filsafat dalam lingkungan kalangan muslim. Sebab apa, tradisi berfikir filsafat itu menggugah kritisisme. Jika tradisi kritisisme tersebut dilakukan oleh kaum muslim, maka akan mengikis kaum muslim yang menjadi korban doktrin keislaman yang fantis dan ekstremis.

Ekstremisme biasanya didahului oleh perintah menerima sebuah ajaran agama secara mutlak dan tak perlu dialog. Cara pengajaran keislaman yang tidak adanya ruang diskusi dan dialog inilah yang kemudian menjadikan sebagian kaum muslim menjadi fanatik.

Baca Juga:  Menyelesaikan Covid-19 dengan Rasionalitas Beragama

Jika kultur berfilsafat berkembang dengan baik dalam lingkungan kaum muslim, maka akan menumbuhkan generasi muslim yang kritis dan cerdas. Jika pun semakin banyak kaum muslim yang kritis dan cerdas, toh sepertinya tidak ada ruginya untuk perkembangan peradaban Islam kedepannya.

Misalnya, jika kita menengok sosok-sosok ulama’ besar Islam zaman dahulu, seperti imam Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki dan banyak ulama’ lain. Mereka adalah sosok muslim yang lahir dari lingkungan muslim dengan suasana intelektualisme yang penuh gairah. Dan tidak mungkin, sosok-sosok ulama’ besar tersebut lahir dari lingkungan keislaman yang fanatik dan ekstremis.

Dengan demikian, melihat situasi dunia Islam saat ini, dimana ada sebagian kaum muslim yang dibelenggu oleh fanatisme buta dan ekstremisme. Sepertinya, penting kiranya untuk menghidupkan tradisi berfilsafat dan berilmu pengetahuan dalam kehidupan kaum muslim. Wallahua’lam.