Proses Penyebaran Islam di Nusantara Menurut Mukti Ali

Proses Penyebaran Islam di Nusantara Menurut Mukti Ali

PeciHitam.org – Hubungan antara kaum Muslim di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-masa awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan anak benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Penetrasi Islam di masa ini lebih belakangan tampaknya lebih dilakukan para guru pengembara sufi yang sejak akhir abad ke-12 datang dalam jumlah yang semakin banyak ke Nusantara.

Sumber dinamika penyebaran Islam di Wilayah Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18. Para ulama Melayu Indonesia yang (Jawi) terlibat dalam jaringan ulama kosmopolitan yang menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya berpusat di Makkah dan Madinah, sebagian besar mereka kembali ke Nusantara.

Di sinilah mereka menjadi transmitter memainkan peranan menentukan dalam menyiarkan gagasan-gagasan pembaruan baik melalui pengajaran maupun karya tulis.

Pembaruan Islam di Wilayah Melayu-Indonesia pada abad ke-17 bukan semata-mata Islam yang berorientasi pada tasawuf, melainkan juga Islam yang berorientasi pada syariat (hukum). Ini merupakan perubahan besar dalam sejarah Penyebaran Islam di Nusantara, Sebab pada abad-abad sebelumnya, Islam mistislah yang dominan.

Baca Juga:  Warna Warni Masyarakat Islam di Indonesia Menurut Clifford Geertz

Setelah belajar di pusat jaringan di Timur Tengah, para ulama Melayu-Indonesia sejak paruh kedua abad ke-17 dan seterusnya melakukan usaha-usaha secara sadar, bahkan secara serentak, untuk menyebarkan neo-Sufisme di Nusantara. Pada giliranya mendorong munculnya upaya-upaya serius ke arah rekontruksi sosio-moral masyarakat-masyarakat Muslim.

Mukti Ali dalam bukunya Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia menjelaskan, ada beberapa hal dalam usaha jaringan ulama di Nusantara:

Pertama, dalam kehidupan agama di Indonesia, Islam yang bercorak tasawuflah yang pertama-tama masuk ke Indonesia. Hal ini memberikan warna kepada kehidupan di Indonesia. Kehidupan Agama yang bercorak tasawuf ini lebih menekankan kepada “amaliah” dari pada “pemikiran”.

Agama adalah soal penghayatan pribadi yang tidak perlu dikomunikasikan secara umum dan tidak perlu dianalisis. Oleh karena itu, kehidupan yang semacam ini sudah barang tentu jauh dari pendekatan agama secara ilmiah.

Kedua, pemikiran ulama-ulama Indonesia tentang Islam lebih banyak di tekankan dalam bidang fiqh dengan pendekatan secara normatif. Sebagaimana diketahui bahwa setelah Terusan Suez dibuka, hubungan antara Indonesia dengan negeri Arab makin berkembang. Jamaah haji dari Indonesia semakin meningkat, bahkan sebagian ada yang menetapn di tanah suci, baik untuk belajar maupun untuk lainnya.

Baca Juga:  Nahdliyyin Senang Tahlilan, Ternyata Ini 4 Keistimewaan Membaca Tahlil

Timbullah masyarakat “Jawi” di Makkah. Sebaliknya, orang-orang Arab, terutama dari Hadramaut, datang ke Indonesia untuk mengadu nasib. Akibat dari hubungan ini, pemikiran fiqih masuk ke Indonesia.

Dengan demikian dua kecendrungan berebut pengaruh di Indonesia, yaitu penghayatan agama secara tasawuf dan pendekatan agama secara fiqih yang normatif.

Ketiga, sudah barang tentu terhadap kedua pemikiran tersebut timbulah reaksi di kalangan pemikir-pemikir muslim. Dalam hal ini, seperti Harun Nasution, guru besar filsafat Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ia menentang kehidupan agama yang serba mistis dan pendekatan Agama secara Normatif yang hanya terpusat kepada fikih. Oleh karena itu, ia mengarang buku-buku dalam bidang ilmu kalam dan filsafat.

Keempat, timbulnya semangat dakwah yang begitu hebat di Indonesia terutama setelah terjadinya pemberontakan komunis pada tahun 1965, menyadarkan Umat Islam bahwa dakwah di Indonesia harus lebih di tingkatkan. Semangat dakwah semacam ini menimbulkan satu cabang ilmu pengetahuan sendiri yaitu “Ilmu Dakwah” atau Misiologi.

Baca Juga:  Ki Dalang Sunan Kalijaga, Cermin Islam Nusantara

Demikianlah pengembangan gagasan pembaruan dan transmisinya melalui jaringan ulama melibatkan proses-proses yang sangat kompleks. Terdapat saling-silang hubungan di antara banyak ulama dalam jaringan, sebagai hasil dari proses keilmuan mereka, khususnya dalam bidang hadis dan tasawuf.

Mohammad Mufid Muwaffaq