Pecihitam.org – Ulama merupakan tokoh penting yang selalu mewarnai dinamika keagamaan, sosial, politik, dan kebangsaan Indonesia dari masa ke masa. Sejak zaman kolonial, mereka sudah berperan aktif dalam membumikan wacana keagamaan, modernitas, dan gagasan-gagasan kebangsaan yang hingga sekarang menjadi dasar keberislaman mayoritas umat Islam Indonesia.
Menjelang kemerdekaan, banyak ulama tampil sebagai tonggak utama dan peletak dasar ideologi kebangsaan Indonesia. Tokoh-tokoh penting seperti KH. Wahid Hasyim (NU), Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan Kasman Singodimejo (Masyumi), untuk menyebut beberapa, terlibat dalam sidang-sidang Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Mereka terlibat langsung dalam mendorong terjadinya negosiasi yang akhirnya membuat Pancasila dikukuhkan sebagai dasar negara Indonesia.
Menurut Nurhaidi Hasan (2018), ulama memiliki pengaruh yang sangat penting dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Mereka mendirikan ribuan lembaga pesantren tradisional sekaligus membentuk tradisi keagamaan yang khas ala Indonesia sejak abad ke-17 M. Juga, keberadaan ulama yang beraliran modernis turut serta dalam memberikan warna baru bagi keberislaman masyarakat.
Ulama-ulama ini menjadi tokoh sentral dalam mengelolaan lembaga pendidikan Islam bercorak modern yang juga tersebar luas di berbagai kota di Indonesia. Meski begitu, sejak kira-kira tahun 1980-an, banyak pula ulama beraliran Salafi-Wahabi yang mempopulerkan pendekatan tekstualisme dalam memahami kitab suci. Kehadiran mereka, dalam beberapa hal, dianggap bertentangan dengan Islam maenstrem yang telah diajarkan oleh para pendahulu.
Di masa reformasi, muncul pula ulama-ulama “model baru” yang menawarkan pendidikan Islam Terpadu yang sangat populer di kalangan kelas menengah muslim perkotaan yang berhasrat mengekspresikan identitas keagamaan sambil memperlihatkan status, kelas, dan selera sosial mereka sebagai seorang muslim yang saleh, modern, dan mengglobal. Ulama jenis ini, tak lain merupakan kepanjangan dari organisasi Ikhwanul Muslimin dari Mesir, yang mencoba menerapkan sistem pendidikan Islam yang terintegrasi.
Berbagai model ulama yang terurai di atas, tidak semuanya terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Di antara mereka ada yang menanamkan pemikiran dan pengaruhnya ke lembaga pendidikan Islam melalui media, terutama penulisan dan penerbitan literatur keagamaan Islam yang dikonsumsi secara luas oleh umat Islam dari berbagai profesi dan latar belakang.
Kita bisa melihat dalam beberapa tahun terakhir, banyak ulama yang berusaha mempopulerkan gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dengan kemasan yang lebih kekinian dan populer, misalnya melalui instrumen media televisi, Internet, smartphone, dan media sosial.
Ulama model ini, antara lain, dibentuk oleh persentuhannya secara langsung dengan aspirasi generasi muda Islam masa kini. Di sisi lain, kemajuan yang pesat di bidang teknologi komunikasi juga menjadi faktor penting peralihan model dakwah yang mengantikkan peran mereka yang semula mendidik dengan cara-cara tradisional kemudian bergeser menjadi lebih terbarukan.
Meski begitu, ada semacam kegelisahan tersendiri dalam menyikapi fenomena ini. Sebab, ketika dakwah sudah bergesar ke media online dan televisi, otomatis akan lebih sulit mengenali latar belakang ideologis dari ulama itu, apakah ia dari kalangan tradisionalis, modernis, Salafi, atau yang lainnya. Akibatnya, banyak orang-orang awam mendapatkan basis pengetahuan keislaman yang terkesan campur aduk, karena tidak mengerti atas nama aliran apa ulama tersebut berdakwah.
Memang, Islam hanyalah satu, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa sejak masa-masa awal perkembangannya, Islam sudah terpecah-pecah menjadi berbagai sekte dan aliran, baik atas dasar konflik politik maupun ideologis.
Karenanya, mengenali aliran Islam ini sama pentingnya dengan mengenali Islam itu sendiri. Sebab hampir tidak mungkin kita bisa mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, tanpa ada bantuan dari para ulama dahulu yang sedari awal sudah membentuk paradigma sendiri-sendiri dalam memahami Islam yang akhirnya membentuk aliran.
Terlepas dari itu semua, kita perlu tahu bahwa para ulama telah membuktikan diri sebagai aktor penting yang berpengaruh secara politik, sosial, dan kultural terhadap dinamika perkembangan masyarakat Indonesia, baik di kalangan muslim maupun non muslim. Banyak di antara mereka memelopori perjuangan pendirian negara ini dan mengawalnya hingga saat ini.
Paling tidak, dalam melihat hubungan antara Islam dan negara, umat Islam perlu mengacu pada ulama-ulama yang lebih komit dalam menjalankan Pancasila dan UUD 1945, bukan ulama-ulama impor yang hanya bisa menyalahkan sistem negara ini tanpa melihat bagaimana peran ulama dahulu dalam memperjuangkan berdirinya Indonesia.
Ulama-ulama dulu merupakan pelopor gerakan Islam yang menyertai ide tentang keterpaduan antara agama dan kekuasaan negara, dan bukan pengusung khilafah.
Kiranya, penting bagi umat Islam sekarang untuk lebih hati-hati dalam berguru dan menjadikan ulama sebagai panutan. Tidak semua dari mereka cocok dengan kondisi politik dan kultural di Indonesia, bahkan ada sebagian yang justru ingin merusak tatanan negara ini dan ingin menggantinya dengan sistem baru yang dianggap lebih Islami.
- Perbedaan Syariat dan Fiqih dalam Terminologi Hukum Islam - 14/12/2019
- Perbedaan Wacana Sufisme di Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah - 13/12/2019
- Disiplin Sufisme dalam Sejarah Pemikiran Islam - 10/12/2019