Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir Al-Qur’an

sejarah perkembangan ilmu tafsir al qur'an

Pecihitam.org – Tradisi tafsir yang belum sempurna, mulai muncul selama masa Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an menyatakan bahwa salah satu peran Nabi adalah untuk menjelaskan al-Qur’an. Namun demikian, terdapat perdebatan seputar apakah nabi pernah memberikan penjelasan keseluruhan al-Qur’an. Sedikit sekali penafsiran nabi atas al-Qur’an yang terekam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Setelah nabi wafat, para sahabat memainkan peranan dalam menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an. Meskipun jumlahnya sungguh banyak, akan tetapi hanya sedikit di antara mereka yang dilaporkan memberikan kontribusi secara langsung terhadap penafsiran al-Qur’an.

Para sahabat nabi yang terlibat dalam penafsiran memiliki beberapa sumber untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an, yaitu: bagian dari teks al-Qur’an itu sendiri yang menjelaskan bagian yang lain; informasi yang diterima dari nabi, baik yang bersifat lisan maupun praktik yang dilaksanakan; dan pemahaman mereka sendiri tentang apa yang dimaksud dalam teks al-Qur’an.

Mereka juga akrab dengan bahasa al-Qur’an, bagaimana konteks turunnya wahyu, bagaimana cara nabi berfikir, bagaimana norma-norma, nilai-nilai, kebiasaan orang-orang Arab, dan semua hal yang memberi mereka dasar yang unik untuk memahami makna al-Qur’an ditengah seluruh kerangka praktik kehidupan yang dibangun dan muncul dalam masyarakat Arab.

Namun demikian, tradisi penafsiran al-Qur’an pada masa ini masih bersifat verbal ataupun lisan dan belum ada bentuk apapun yang bisa disebut sebagai teori atau ilmu tafsir. Sehingga, pemahaman terhadap teks al-Qur’an hanya terbatas pada dimensi lahirian teks dan melalui apa-apa yang mereka alami selama hidup dalam konteks itu.

Sementara itu, kebutuhan akan penafsiran al-Qur’an semakin meningkat pada masa generasi kedua muslim, atau yang dikenal sebagai generasi tabi’in, yang kelompok di dalamnya lebih beragam dan pada masa inilah mulai muncul apa yang disebut sebagai pengilmuan al-Qur’an yang di antaranya adalah lahirnya ilmu tafsir dengan beragam corak dan dimensinya.

Pada era tabi’in, dua pendekatan berbeda dalam tafsir mulai muncul dan mengkristal, yakni yang menekankan pada “tradisi atau riwayat” dan yang menekankan pada “akal”.

Dalam tradisi Islam Sunni, tafsir yang berbasis pada tradisi dianggap sebagai bentuk penafsiran yang paling otoritatif karena disandarkan pada salah satu sumber otoritas keagamaan yang paling penting, yaitu Nabi, dan para sahabatnya yang mampu menguraikan makna al-Qur’an berdasarkan instruksi Nabi.

Baca Juga:  Kuburan Al-Baqi Dihancurkan Salafi Wahabi Secara Barbar

Sementara, sebagian muslim berpendapat bahwa tafsir yang menekankan pada “akal” tidak dapat diterima, sebab, dalam pandangan mereka, al-Qur’an melarang penafsiran seperti ini.

Setelah era tabi’in, sebenarnya ada tiga kecenderungan utama dalam menafsirkan al-Qur’an. Yakni pada abad ke tiga Hijriyah menjadi era kematangan perbedaan madzhab dan pemikiran dalam Islam.

Meskipun asal-usul madzhab tersebut telah terjadi pada pertengahan abad ke-1 H, dibutuhkan beberapa decade sebelum mereka mapan menjadi madzhab pemikiran tertentu.

Pada abad ke-3 H, arus utama kelompok religio-politik seperti Sunni, Syiah, dan Khawarij telah mengembangkan pendekatan yang berbeda terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan masalah hukum dan teologis.

Kelompok muslim yang cukup mayoritas umumnya dikenal sebagai Sunni, dan Syiah sebagai minoritas, sedangkan Khawarij sangat sedikit jumlahnya. Dengan demikian, istilah tafsir Sunni, Syiah, dan Khawarij, yang tidak begitu signifikan pada abad ke-1 H, mulai terbentuk secara solid pada abad ke-3 H.

Dalam konteks ini, ketiga madzhab di atas mengembangkan pola penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan konstruksi kepentingan yang mengitari mereka.

Berangkat dari bentuk penafsiran yang menekankan pada aspek riwayat dan akal, madzhab Sunni lebih mengedepankan aspek riwayat, sementara Syiah lebih menekankan pada aspek akal, dan Khawarij sangat radikal menekankan aspek riwayat dengan menolak seluruh dimensi akal sebagai cara untuk menfsirkan al-Qur’an.

Sehingga menjadi jelas bahwa perkembangan ilmu tafsir pada era ini masih berputar-putar pada dua lingkaran penekanan di atas. Seluruh dimensi problematika konteks, dikembalikan pada cara penekanan mereka dalam memahami al-Qur’an.

Di era modern, yaitu sejak pertengahan abad ke-19 M, penafsiran al-Qur’an mulai menyala kembali dan dikembangkan lebih jauh. Penafsiran modernis berkembang sebab banyak dari kalangan kaum muslim, khususnya yang berorientasi non-tradisional, berusaha untuk mendefinisikan kembali pemahaman mereka tentang al-Qur’an dari sudut pandang modernitas.

Pada masa inilah, banyak model penafsiran dikembangkan, hal ini dipicu oleh adanya stagnasi dalam ilmu tafsir klasik dan seakan tidak mengalamai perkembangan yang cukup signifikan.

Ada anggapan bahwa muncul anomali-anomali yang pada akhirnya melahirkan cara pandang baru dalam melihat teks, yang ini akan berimplikasi pada munculnya teori baru dalam ilmu tafsir, dan dapat dikatakan bahwa para era modern ini muncul apa yang disebut sebagai revolusi ilmu tafsir dan penekanan terhadap penafsiran al-Qur’an sangat beragam.

Baca Juga:  Ketika Khalifah Umar bin Khattab Ingin Berhutang Pada Negara

Mungkin salah satu usaha yang paling radikal untuk menafsirkan ulang al-Qur’an pada zaman modern adalah oleh Sir Sayyid Ahamad Khan dari India, yang telah menerbitkan enam jilid karya tentang al-Qur’an sejak tahun 1879. Khan meyakini bahwa umat Islam harus menilai ulang tradisi, warisan, dan cara berpikir mereka sesuai dengan pengetahuan, nilai, dan instirusi yang sedang berkembang, dinamis dan sangat kuat ini.

Selanjutnya, perkembangan yang signifikan dalam ilmu tafsir di era modern ini, adalah adanya argumentasi visibilitas hermeneutika untuk diintegrasikan ke dalam ilmu tafsir.

Menurut Sahiron (2009: 72), asumsi ini didasarkan pada beberapa argumentasi sebagai berikut: pertama, secara etimologis, hermeneutika dan ilmu tafsir pada dasarnya tidaklah berbeda.

Kedua, yang membedakan keduanya, selain sejarah kemunculannya, adalah ruang lingkup dan objek pembahasannya. Ketiga, memang benar bahwa obyek utama ilmu tafsir adalah teks al-Qur’an, sementara hermeneutika pada awalnya adalah Bibel.

Namun demikian, terlepas pada asumsi-asumsi di atas, hermeneutika untuk sekarang ini secara sah dijadikan sebagai salah satu khazanah baru dan teori baru dalam menafsirkan al-Qur’an.

Menurut Hasan Hanafi (2007), perkembangan ilmu tafsir Al Qur’an dari klasik hingga kontemporer, sekurang-kurangnya memiliki metode yang cukup beragam, baik dari kategori disiplin ilmu tertentu maupun dari segi latar belakang firqoh yang melatarinya, di antaranya sebagai berikut:

Pertama, Metode Linguistik: metode ini sudah lahir dalam sejumlah tafsir linguistic, karena pada waktu itu zamannya adalah zaman linguistik, balaqhah, fashahah dan bayan. Orang-orang Arab pada waktu itu adalah ahli retorika dan syair.

Jadi, wajar saja jika tafsir linguistic lahir sebagai ciri zaman, khususnya karena al-Qur’an itu sendiri adalah kitab balaghah, yang dapat dipakai untuk otoritas linguistic seperti syair Arab klasi, retorika dan tamsil Arab.

Kedua, Metode Sejarah: metode ini menonjol dalam kitab-kitab tafsir yang tebal dan didominasi oleh metode transmisi riwayat, yang di kalangan ulama klasik disebut sebagai tafsir berdasarkan otoritas riwayat (at-tafsir bi al-ma’thur). orientasi ini lahir di zaman ketika pengetahuan berasal dari transmisi tradisi dan riwayat.

Baca Juga:  Sunan Giri, Seorang Sunan yang Mempunyai Kerajaannya Sendiri

Ketiga, Metode Fikih: metode ini dominan dalam tafsir al-Qur’an secara fikih untuk menetapkan hukum Islam. Tafsir-tafsir ini tumbuh pada masa pembukuan syari’ah.

Keempat, Metode Sufistik: tafsir ini telah tampak dalam tafsir-tafsir sufistik, baik yang bersifat total maupun partikular. Tafsir ini bersifat mistik dengan menyelami sisi kejiwaan, yaitu sisi batin, dan kadang-kadang terjebak dalam cinta Ilahi sebagai ganti dari kepedihan insani.

Kelima, Metode Filsafat: metode ini tampak dalam tafsir-tafsir filosofis dan Muktazilah yang berlandaskan pada akal tanpa otoritas tradisi dan syara dengan metode sufi dalam takwil.

Keenam, Metode Dogmatis: metode ini dominan dalam tafsir-tafsir mutakalimin maupun dalam kitab-kitab dogmatis dan firqoh. Tafsir ini lahir sebagai bagian dari gerakan-gerakan politik dan berciri dogmatis.

Ketujuh, Metode Saintifik: ini adalah metode ilmiah yang lahir belakangan setelah umat Islam memulai puncak peradabannya yang kedua, sehingga mereka menerjemahkan kembali karya-karya Barat.

Kedelapan, Metode Reformis: metode ini lahir dalam tafsir-tafsir reformis religius sejak abad silam dalam rangka mengekspresikan kondisi sosial politik sekaligus sebagai upaya untuk merubah dan membangkitkannya kembali dengan menumpas fenomena keterbelakangan.

Kesembilan, Metode Sosial: metode ini sangat khas modern yang mencoba mengkaji al-Qur’an secara kontekstual berdasarkan kebutuhan zaman, berdasarkan situasi ekonomi, sosial, dan politik, serta kebutuhan akan memahaman yang baru akan al-Qur’an sesuatu dengan perkembangan zaman, ini adalah bentuk metode kekinian dalam penafsiran al-Qur’an.

Metode-metode ulama klasik berangkat dari kondisi dan tempat kreasi zaman mereka, yaitu linguistik, riwayat, fikif, tasawuf, filsafat, dan dogma, tetapi kondisi ini telah berubah.

Zaman ini berbeda dengan zaman klasik, zaman ini adalah zaman ilmu sosial dan politik dan ekonomi sebagai panglima, di mana metode-metode reformasi signifikasi peran generasi sekarang karena merupakan perkembangan bagi metode ini dan harus mulai dengan realitas dan kemaslahatan umat Islam.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *