Syarat Menafsirkan Al-Qur’an dari Imam Jalaluddin al-Suyuthi

Syarat Menafsirkan Al-Qur’an dari Imam Jalaluddin al-Suyuthi

Pecihitam.org – Imam Jalaluddin al-Suyuthi atau nama lengkapnya Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin bin a-Fakhr Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin Saifuddin Khadhari bin Najmuddin Abi ash-Shalah Ayub ibn Nashiruddin Muhammad bin asy-Syaikh Hammamuddin al-Hamman al-Khadhari al-Suyuthi merupakan seorang ulama terkenal dan ahli dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Salah satu karya fenomenalnya berjudul al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, telah menjadi rujukan hampir semua kitab ulum al-Qur’an yang muncul setelahnya hingga kini. Di dalam kitab tersebut dengan gamblang menyebutkan lima belas syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang apabila hendak menafsirkan Al-Qur’an.

Pertama, seorang penafsir harus menguasai ilmu Bahasa Arab yang berguna mengetahui makna kosa kata Al-Qur’an dalam pengertian kebahasaan dan musytarak (lafal yang memiliki dua makna atau lebih dan dua fungsi atau lebih).

Kedua, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu Nahwu untuk mengetahui makna yang berubah akibat perubahan i’rab (bunyi harakat akhir).

Ketiga, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu Sharaf untuk mengetahui perubahan bentuk kata yang dapat mengakibatkan perubahan makna.

Keempat, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai pengetahuan tentang isytiqaq (akar kata) agar dapat menentukan makna suatu kata.

Kelima, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu al-Ma’ani, yakni ilmu tentang susunan kalimat dari sisi pemaknaannya.

Keenam, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu al-Bayan, yaitu ilmu untuk mengetahui perbedaan makna dari sisi kejelasan dan kesamarannya.

Baca Juga:  Sifat Sama' dan Bashar, Sifat ke-11 dan 12 dari 20 Sifat Yang Wajib Bagi Allah SWT

Ketujuh, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu al-Badi’, yaitu ilmu mengenai keindahan susunan kalimat.

Kedelapan, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu al-Qira’at. Ilmu ini berguna untuk mengetahui makna yang berbeda-beda serta membantu penafsir dalam menetapkan salah satu makna dari kemungkinan makna yang beragam.

Kesembilan, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu Ushuluddin, karena di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang lafalnya mengesankan kemustahilannya dinisbahan kepada Allah.

Kesepuluh, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu Ushul al-Fiqh sebagai landasan menetapkan atau istinbath hukum yang terkandung di dalam suatu ayat.

Kesebelas, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu Asbab al-Nuzul atau sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. ilmu ini berguna untuk mengetahui konteks suatu ayat guna memperoleh kejelasan maknanya.

Kedua belas, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai ilmu Nasikh Mansukh yaitu ilmu tentang ayat-ayat yang telah dibatalkan hukumnya sehingga dapat diketahui yang mana yang masih berlaku.

Ketiga belas, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai Fiqih atau hukum Islam.

Keempat belas, seorang penafsir Al-Qur’an harus menguasai hadis-hadis Nabi saw yang berkaitan dengan penafsiran ayat.

Terakhir, seorang penafsir Al-Qur’an memiliki ilm al-Mauhibah, yaitu ilmu yang danugerahkan oleh Allah kepada seseorang sehingga menjadikannya berpotensi menjadi mufasir. Ilm al-Mauhibah tidak diperoleh secara langsung melainkan melalui tahapan-tahapan membersihkan hati serta meluruskan akidah.

Baca Juga:  Ketika Islam Sedang Disandera Oleh Salafi Wahabi

Bagi Imam Jalaluddin al-Suyuthi, seorang yang menafsirkan Al-Qur’an harus memenuhi kelima belas syarat tersebut. Ini menunjukkan bahwa betapa menafsirkan Al-Qur’an itu tidak mudah dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.

Syarat tersebut bahkan oleh sebagian ulama setelahnya dinilai sangat ketat. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari kekeliruan menafsirkan Al-Qur’an. Di antara kekeliruan itu menurut Prof. M. Quraish Shihab (2013: 398-399) adalah terkait dengan subjektivitas mufasir. Jika seseorang menafsirkan Al-Qur’an menurut subjektivitasnya selain keliru bisa jadi sangat berbahaya dan menyesatkan.

Aspek kedua adalah kekeliruan dalam hal tidak memahami konteks ayat meliputi sejarah turunnya, hubungan antar ayat atau surat, dan sebagainya. Ketiga, kekeliruan karena tidak mengetahui siapa pembicara, sosok yang diajak bicara, atau siapa yang dibicarakan. Keempat, kekeliruan akibat kedangkalan pengetahuan mengenai ilmu-ilmu alat (kebahasaan, susuan kalimat, dan sebagainya). Kelima, kekeliruan dalam menerapkan metode dan kaidah tafsir. Keenam, kekeliruan akibat kedangkalan pengetahuan mengenai materi ayat.

Beberapa kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an berimplikasi pada munculnya tafsir-tafsir yang menyimpang. Inilah yang harus diperhatikan dan dihindari bagi siapa saja yang hendak menafsirkan Al-Qur’an.

Baca Juga:  Mengenal Jalaluddin al-Suyuti dan Karya-karyanya, Ulama Klasik Rujukan Banyak Ulama

Seorang yang telah memiliki jamaah dan dipanggil dengan sebutan “ustadz” pun tidak selalu memenuhi semua kriteria yang disampaikan Imam al-Suyuthi. Terlebih di Indonesia hari ini di mana panggilan “ustad” sangat mudah diberikan pada siapa saja yang bisa berceramah tanpa melihat seperti apa latar belakang pendidikan agamanya dan kehidupannya.

Alhasil, hari ini banyak orang berlomba-lomba untuk bisa berceramah dan memiliki jamaah. Ironisnya, beberapa penceramah suka mengutip ayat dan percaya diri menafsirkannya meskipun tidak menguasai syarat-syarat sebagai seorang mufasir. Bagaimana dengan ayat yang ditafsirkannya?

Ketatnya kaidah tafsir yang diberlakukan para ulama terdahulu seperti Imam al-Suyuthi pada dasarnya merupakan sikap kehati-hatian agar terhindar dari memperlakukan ayat Al-Qur’an secara serampangan. Sikap kehati-hatian yang demikian ini harus terus dirawat dan dipertahankan. Jangan sampai subjektivitas penafsir mendominasi penafsiran ayat yang berujung pada pemanfaatan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk kepentingan duniawi.

Siti Mariatul Kiptiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *