Tradisi-Tradisi di Indonesia Bentuk “Kejahiliyahan Modern”??

Tradisi-Tradisi di Indonesia Bentuk "Kejahiliyahan Modern"??

PeciHitam.org Beberapa kalangan yang mengatas namakan dirinya “islam otentik” ini melayangkan sebuah kritik atas gaya beragama orang di Indonesia, terutama di bidang tradisi yang katanya tidak terdapat dalam islam, lebih parahnya, mereka menyebutnya dengan “kejahiliyahan modern”.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Lantas, apa yang diharapkan oleh kalangan ini? Sebuah Rekonstruksi? Dekonstruksi? Atau jangan-jangan ada maksud lain?

Tradisi ala Kalangan Islam Otentik

Penting kiranya memahami terlebih dahulu kedudukan “tradisi” menurut kalangan Islam otentik ini. Di sini, ada dua peran ganda yang melekat dalam konsep tradisi menurut kalangan Islam otentik.

Satu sisi, seruan kembali dan berpegang teguh kepada tradisi dan orisinalitas merupakan bagian dari mekanisme kebangkitan untuk maju karena dengan tradisi itulah masa kini dan masa lalu yang agak dekat dapat dikritik.

Pada sisi lain, seruan tersebut pada dasarnya juga merupakan reaksi atas tantangan yang berasal dari luar yang ditampilkan oleh Barat dengan segenap kekuatan militer, ekonomi, maupun sains dan teknologinya, yang dianggap mengancam keberadaan dan eksistensi kehidupan bangsa Arab dan umat Islam secara umum.

Bagi mereka, Islam yang dicontohkan oleh salaf al-shalih merupakan bentuk keberagamaan yang paling benar dan ideal. Karena itu, keunikan ekspresi keberislaman masyarakat Indonesia dicerca sebagai “kejahiliyahan modern” yang jauh dari Islam yang benar, otentik, asli.

Baca Juga:  Islam Nusantara Anti Arab? Pahami Dulu Penjelasan Ini!

Otentisitas Islam hilang ketika ia telah dicampuri oleh unsur luar seperti halnya Islam Indonesia kehilangan nilai keasliannya semenjak ia mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan tuntutan lokal. Masuknya warna budaya lokal inilah yang dipandang melahirkan bid’ah atau Khurafat.

Cara pandang seperti ini sesungguhnya mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) pada apa yang pernah diklasifikasikan Ernest Gellner sebagai great tradition atau high tradition (tradisi tinggi), yang memandang agama secara skripturalis, menurut aturan, puritan, harfiah, egaliter, dingin, dan anti ekstase.

Menurut Gellner, tradisi tinggi adalah Islam yang dianggap lebih dekat kepada kitab suci dan umumnya tumbuh di perkotaan. Tradisi tinggi, meskipun tidak dapat dilaksanakan dalam waktu tertentu, tetap dan terus akan diperjuangkan untuk dilaksanakan suatu saat nanti.

Maka ketika budaya-budaya lokal yang merupakan perwujudan tradisi rendah dan terancam oleh kemerosotan, kaum Muslim dengan gampang melompat ke arah tradisi tinggi dalam rangka mengatasi krisis yang tengah mereka hadapi.

Dengan kata lain, fundamentalisme Islam sebenarnya adalah gerakan yang mencoba melakukan pembaruan Islam rendah menjadi Islam tinggi itu, meskipun dalam kenyataannya tradisi yang direvitalisasi oleh mereka tersebut hanyalah varian dari tradisi Islam rendah juga.

Baca Juga:  Islam Nusantara; Konsep Pengamalan Beragama Untuk Indonesia dan Dunia

Relevansi Tradisi dengan Nilai Islam

Talal Asad dalam The idea of an Anthropology of Islam menyatakan, pembagian tradisi tinggi (great tradition) dan tradisi rendah (little tradition) mengasumsikan adanya sebuah esensi, khususnya tradisi tinggi, yang bersifat universal.

Pandangan semacam ini memang cocok dengan teologi gerakan pemurnian Islam, namun tidak sesuai dengan realitas sosial kaum Muslim itu sendiri. Kenyataannya, sebuah tradisi yang disebut tradisi Islam adalah suatu kesinambungan antara masa kini, masa lalu dan pandangan ke masa depan yang terutama dibentuk oleh hubungan-hubungan kuasa yang ada di sekitarnya.

Dalam pengertian ini, tradisi tidak bisa disederhanakan kepada tinggi dan rendah, atau kota dan desa, melainkan sesuatu yang hadir dan hidup bersama kaum Muslim serta berkembang secara kreatif sesuai dengan relasi-relasi kuasa yang mempengaruhinya.

Sampai di sini, menjadi jelas, fundamentalisme Islam kontemporer adalah suatu kesinambungan dari gerakan pemurnian Islam sebelumnya yang terjadi ratusan tahun yang silam -sejak Ibn Hanbal, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Abd. Al-Wahhab- sekaligus merupakan reaksi terhadap kondisi saat ini, yakni tantangan dunia modem.

Baca Juga:  Beginilah Sikap Beragama dan Nasionalisme yang Harus Dipahami Kader NU

Dalam praktiknya, semangat purifikasi dan fundamentalisme keagamaan semacam ini muncul tidak saja berbentuk pergulatan ide dan gagasan, tetapi telah berwujud gerakan. Munculnya ormas-ormas Islam baru lengkap dengan gerakan massanya seperti jaringan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Jihad dan sebagainya menjadi tanda bahwa tantangan itu telah benar-benar bermain pada level praksis.

Mereka telah menghadirkan alternatif nyata warna keberagamaan yang lain. Keberagamaan yang mereka sebut “otentik”, Islami dan kaffah yang mestinya diberlakukan di seluruh dunia karena keislaman semacam itu bersifat universal (shalih li kulli zamanin wa makanan; cocok untuk semua tempat dan semua zaman).

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan