Kitab Tuhfat Al Nafis, Karya Mashur Sastrawan Islam Bugis

Tuhfat Al Nafis

Pecihitam.org – Sastra di Nusantara pada abad ke 18 diketahui banyak orang hanya didominasi oleh karya dari dari tanah Jawa. Terbilang, sangat jarang mendengar nama sastrawan berdarah Sulawesi. Padahal jika dikaji lebih jauh perkembangan peradaban, tanah Sulawesi juga tidak kalah maju. Sebut saja misalnya Kerajaan Gowa, Kedatuan Luwu, Kesultanan Bone dan lain sebagainya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dominasi sastra di tanah Jawa ini bahkan menjadi indikator perkembangan sastra Indonesia dimulai dari Zaman Balai Pustaka Kuno, Pujangga Lama, Pujangga Baru, Zaman Jepang Angkatan 45, sampai ke saat terkini. Itu semua ditandai dengan pergolakan sastra di tanah Jawa.

Sedang sastra di Tanah Sulawesi cenderung terabaikan. Sebut saja Kitab Ilaga Ligo dari tanah Bugis Makassar. Karya asli berhuruf aksara Kuno Lontara (huruf asli Bugis Makassar) disebut-sebut seabagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia.

Selain Ilaga Ligo, karya sastra dari tangan manusia Bugis juga pernah mashur di berbagai belahan Nusantara bahkan nyaris se-antero Asia. Karya sastra itu berjudul Tuhfat Al Nafis. Karya yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘Hadiah yang Berharga’ ini ditulis langsung oleh seorang Sastrawan Islam berdarah Bugis, Raja Ali Haji.

Baca Juga:  Lakukan 5 Hal Ini Jika Mengalami Mimpi Buruk

Karya yang telah banyak diteliti dan dipublikasikan dalam bentuk karya ilmiah di berbagai negara ini menceritakan tentang hubungan raja-raja Riau dan Bugis Makassar. Britania Ensiklopedia menuliskan jika Raja Ali Haji adalah seorang ulama sekaligus Sastrawan berdarah Bugis meski terlahir dari rahim ibu berdarah Melayu. Ayahnya bernama Raja Ahmad atau sering dikenal dengan nama Ungku Haji Tua (meninggal di umur 103 tahun).

Dibesarkan dengan tradisi literasi, Ali Haji tumbuh dan besar menjadi seorang sastrawan yang terkenal. Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji terlahir di Selangor 1808 dan meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, 1873 (masih diperdebatkan) adalah pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu.

Karya Ali Haji Selain Tuhfat Al Nafis

Cucu dari seorang Raja Kesultatan Lingga, Riau YDM IV Haji Fisabilillah ini telah menciptakan sejumlah karya besar selain Tuhfat Al Nafis. Sejumlah karya yang telah dihasilkan dari tangannya seperti Gurindam Dua Belas di tahun 1847, Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Tsamaru Imuhimmati.

Baca Juga:  6 Peristiwa Penting Dalam Bulan Safar

Kemudian, Syair Sultan Abdul Muluk Bustan al-Kathibin, Intizam Waza’if al-Malik, Thamarat al-Mahammah, serta berbagai karya di bidang lain seperti bidang ketatatanegaraan yang berjudul Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik).

Ali Haji juga diklaim sebagai penyusun pondasi struktur eka bahasa pertama di Indonesia yang resmi kemudian diperbaharui sampai saat ini sebagai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dalam karyanya Kitab Pengetahuan Bahasa (Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama (red: Britannia Encyclopedia).

Dari kitab bahasanya inipun, Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 disepakati sebagai struktur bahasa nasional (saat itu Hindia-Belanda). Sebagai sastrawan Islam, Ali Haji selalu memasukkan nilai-nilai Islamistik nyaris di semua karya-karyanya yang terbit di berbagai penerbit di masa itu.

Karya Mashur Tuhfat Al Nafis

Kasma F Amin dalam bukunya ‘Hikayat Bugis Dalam Sastra Sejarah (2016) menuliskan bahwa Tuhfat Al Nafis adalah karya Sastra Klasik yang menurut hasil pelacaka beberapa Sarjana Inggris diinspirasi tulis pertama kali oleh Raja Ahmad yang tidak lain adalah ayah Raja Ali Haji. Hikayat ini bila dicermati sangat terkait dengan Hikayat Bugis Melayu.

Hikayat ini menceritakan tentang orang-orang Bugis yang menjadi Yam Tuan Muda mendampingi Yam Tuan Tua sebagai baginda Raja d beberapa Kerajaan Nusantara (termasuk Malaysia, Singapura, Kamboja, Brunei Darussalam, dan beberapa lainnya).

Baca Juga:  Tahukah Kamu Apa Tujuan Allah Swt Menciptakan Lalat? Ini Jawabannya

Masih dalam buku Kasma F Amin, Tuhfat Al Nafs pertama kali diterbitkan oleh Mantan Direktur Pendidikan di Inggris Malaya, Richard Olof Winstedt berdasarkan naskah yang dipinjam dari Tengku Fatimah, seorang Putra Sultan Abubakar di Kesultanan Johor cap Jawi (Jawa). Kemudian, karya ini ditulis lagi oleh Penulis bernama Encik Munir Bin Ali lalu diterbitkan di Singapore pada tahun 1965. Windset berpendapat, pengaruh Bugis sangat Kental dalam Tuhfat Al Nafis.

Kabarnya, Tuhfad Al Nafis edisi terkahir itu di tahun 1982 oleh seorang Professor Politik dan Perkembangan Sosial di Australian National University bernama Virginia Matheson Hooker. Naskah edisi Virginia diambil dari hadiah kepada A,L. Van Hasselt di Residen Belanda Riau. Sedangkan naskah asli Tuhfat Al Nafis karya Ali Haji ini kabarnya masih tersimpan di The Royal Society London.