Abu Thalib, Paman Nabi Yang Masih Diperdebatkan Keimanannya

Abu Thalib, Paman Nabi Yang Masih Diperdebatkan Keimanannya

PeciHitam.org – Siapa tak kenal dengan Abu Thalib? Paman Nabi yang namnya selaku menghiasibuku sejarah karena semangatnya membela Nabi Muhammad? Meski akhirnya meninggal dalam keadaan belum memeluk Islam, apakah Abu Thalib belum beriman? Mari kita bahas disini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Iman secara etimologi adalah pembenaran yang bersifat khusus, pembenaran yang dimaksud bukan saja pembenaran logika (tasdiq ‘aqli), akan tetapi pembenaran hati (tasdiq qalbi). Inilah pembenaran yang lahir dari nurani seseorang karena fitrah dan dampak ketenangan yang dirasakan. Logika memang bisa meneguhkan pembenaran, namun hati yang jernih berbicara lebih dari itu.

Adapun secara terminologis, maka iman adalah: Pertama, pengucapan dengan lisan, Kedua, keyakinan dengan hati, Ketiga, pengamalan dengan anggota tubuh, Keempat, bertambah dengan melaksanaan ketaatan, dan Kelima, berkurang dengan melaksanakan kemaksiatan.

Adapun yang dimaksud dengan keimanan seseorang terhadap sesuatu adalah bahwa dalam hati seorang tersebut telah tertanam kepercayaan dan keyakinan tentang sesuat, dan sejak saat itu ia tidak khawatir lagi terhadap menyelusupnya kepercayaan lain yang bertentangan dengan kepercayaannya.

Oleh karena itu, para sahabat yang secara intelektual boleh dikatakan jauh dengan manusia sekarang yang ternyata bisa memiliki iman setegar gunung. Bilal bin Rabah, Khabab bin As, Ammar bin Yasir. ra bukanlah manusia-manusia intelek dan berpengalaman luas. Namun mereka memiliki hati yang bening dan penuh fitrah. Itu sudah cukup untuk mencetak iman yang kuat dan tahan uji.

Baca Juga:  Pengertian Syarah dan Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Sampai Menjadi Disiplin Ilmu

Dalam konteks permasalahan ini bisa kita ambil contoh tentang keimanan Abu Thalib paman Nabi saw, yang keimanannya masih diperdebatkan oleh para ulama. Abu Thalib adalah paman dan ayah asuh Rasulullah saw, dia membela Nabi dengan jiwa dan raganya, ketika Nabi saw berdakwah dan mendapat rintangan, dia dengan tegar berkata, “Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku.”

Abu Thalib merupakan kerabat dan orang terdekat Nabi selepas meninggalnya Ibunda dan kakek tercintanya. Abu Thaliblah yang mengasuh Nabi sejak berusia 8 tahun. Saat sang kakek meninggal hingga Nabi berusia 40-an tahun. Kedekatan yang luar biasa dengan pamannya terjalin dari masa kanak-kanak hingga masa kenabian.

Namun, selepas wafat, Abu Thalib r.a. menjadi salah satu korban pengkafiran oleh para ulama. Beberapa bukti otentik mengenai keIslaman beliau diabaikan, sementara prasangka-prasangka seputarnya terus disebar-sebarkan. Banyak penulis dan lebih banyak lagi pembaca sejarah Islam sekonyong-konyong memvonis paman Nabi sebagai kafir. Sebagian penulis sejarah sampai ada yang berani merekayasa dalil-dalil berkenaan dengan kekafiran Abu Thalib r.a. Namun, tidak sedikit pula dari sekian banyak Ulama yang memberikan penjelasan dan alasan bahwa Abu Thalib itu adalah seorang mukmin dengan argumentasi dan fakta sejarah yang ada menurut pandangan mereka.

Baca Juga:  Sekilas Sejarah Sarung Sebagai Representasi Islam di Nusantara

Logisnya, terhadap orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kekerabatan saja, Nabi memiliki rasa kasih dan belas kasihan. Padahal mereka menolak dakwah Islam. Mereka senantiasa merenyakiti Nabi secara fisik dan psikis. Menurut Nabi, jika ada seorang yang menerima dakwahnya, lebih berharga dari dunia dan seisinya.

عن أبي موسى، عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم، قال: «إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ، كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا فَقَالَ: يَا قَوْمِ، إِنِّي رَأَيْتُ الجَيْشَ بِعَيْنَيَّ، وَإِنِّي أَنَا النَّذِيرُ العُرْيَانُ[2]، فَالنَّجَاءَ، فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ، فَأَدْلَجُوا، فَانْطَلَقُوا عَلَى مَهَلِهِمْ فَنَجَوْا، وَكَذَّبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ، فَأَصْبَحُوا مَكَانَهُمْ، فَصَبَّحَهُمُ الجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِي فَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ، وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِي وَكَذَّبَ بِمَا جِئْتُ بِهِ مِنَ الحَقِّ»

Dari Abu Musa, Nabi saw bersabda, “Perumpamaanku dan perumpamaan apa-apa yang Allah utus aku dengannya seperti seorang yang mendatangi suatu kaum, lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku melihat pasukan musuh dengan mata kepalaku dan sesungguhnya aku pengancam yang nyata, maka marilah menuju kepada keselamatan. Kaum itu sebagian mentaatinya, lalu mereka masuk pergi bersamanya, maka selamatlah mereka. Sebagian dari mereka mendustakan. Pagi-pagi mereka diserang oleh pasukan musuh lalu mereka dihancurkan dan diluluhlantakan. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang taat kepadaku dan mengikuti apa yang aku bawa dan perumpamaan orang-orang yang durhaka kepadaku dan mendustakan kebenaran yang aku bawa.” (HR. Muslim, Kitab al-Fadhail, 2283).

Baca Juga:  Bani Nadzir; Suku Yahudi yang Terusir dari Madinah Karena Menjadi Perusuh

Ketika Abu Thalib sakit, hingga berujung pada kematian, Rasulullah saw terus berusaha agar Abu Thalib mengucapkan dua kalimat syahadat, supaya pamannya itu mendapatkan kebahagiaan seteleh kematian. Namun, sampai akhir hayat, Abu Thalib tidak kunjung mau bersyahadat. Ia wafat memegang ajaran nenek moyang. Nabi sangat merasakan duka dan kesedihan yang mendalam selepas meninggalnya Abu Thalib. Terlebih lagi, paman beliau yang selama ini senantiasa merawat dan melindungi Nabi, justru meninggal dalam kekufuran.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *