PeciHitam.org – Menilik sejarah peradaban Islam pada masa-masa awal masuknya ke Nusantara, Kerajaan Samudra Pasai memiliki peran yang sangat penting. Sebab, letaknya yang strategis berada di jalur perdagangan menjadi nilai tambah. Kedekatannya dengan akses transportasi, memudahkan pertukaran budaya, bahasa, maupun agama.
Kerajaan Samudra Pasai, pada awalnya hanya sebuah kerajaan yang berdiri sendiri. Kemudian diakuisisi pada masa Sultan Iskandar Muda dan menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Menyusul wilayah lain, beberapa kerajaan di sekitar pulau Sumatra turut merapat dan menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam. Bahkan Kerajaan Malaka juga pernah ditaklukkan oleh Sultan Iskandar Muda dan menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Wilayah Nusantara dulu memiliki bahasa yang sama yaitu Bahasa Melayu meliputi wilayah kepulauan Indonesia, baik Sumatra, Kalimantan, Sulawesi. Termasuk juga beberapa wilayah di Malaysia, Singapura Brunei Darussalam, Philippina, dan Thailand.
Sebagai wilayah yang sering dilalui oleh para pelaut, Bahasa Melayu menjadi bahasa Internasional atau bahasa pengantar Nusantara. Hingga saat ini, bahasa Melayu juga masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya, setiap daerah memang memiliki bahasa asli yang berbeda-beda. Namun disatukan oleh bahasa yang sama, yaitu Melayu. Bahkan bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa Kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ditemukannya naskah-naskah manuskrip Kerajaan berbahasa Melayu menggunakan aksara pegon, bertuliskan Arab, namun dibaca Melayu.
Bahasa Melayu hingga saat ini masih digunakan bahkan menjadi bahasa resmi di beberapa negara, antara lain Malaysia, Brunei Darussalam, sebagian wilayah di Indonesia, sebagian wilayah di Thailand dan Singapura.
Bahasa Indonesia sendiri yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia, merupakam adaptasi dari bahasa Melayu melalui beberapapenyesuaian dan pengembangan, salah satunya dengan adanya serapan bahasa daerah lainnya di Indonesia seperti bahasa Jawa.
Aksara Pegon menggunakan huruf Arab namun dengan bahasa Melayu, Jawa, dan sebagainya merupakan salah satu khazanah penting yang menjadi bukti perkembangan intelektual Islam di Indonesia.
Penggunaan aksara pegon berhuruf Arab ini merupakan salah satu pengaruh Islam dan Arab di Indonesia. Meskipun ditemukan ada beberapa huruf yang dimodifikasi dari huruf Arab aslinya.
Penggunaan Aksara Pegon merupakan salah satu bukti karya ulama Nusantara yang menyebarkan dan mengajarkan ajaran Islam. Penggunaan bahasa-bahasa daerah dalam aksara pegon merupakan respon para ulama dalam mendekati mereka.
Sebelumnya para ulama menggunakan kitab berbahasa arab namun para ulama menyadari bahwa masalah bahasa ini nantinya akan mempersulit mereka yang srjatinya masih asing dengan Islam dan Arab.
Maka dirumuskanlah cara yang efektif dalam mendekati dan menyebarkan ajaran Islam ini melalui aksara Pegon yang berbahasa Melayu, Jawa dan sebagainya. Aksara pegon ini dianggap dapat mempermudah dan mempercepat masyarakat dalam memahami ajaran Islam yang dibawanya.
Kitab-kitab bertuliskan aksara pegon dengan huruf arab ini sejatinya merupakan hasil terjemahan dan ringkasan dari kitab-kitab berbahasa Arab. Hal ini bertujuan agar masyarakat awam yang menuntut ilmu agama Islam mudah memahami sumber asli ajaran yang berbahasa Arab.
Ada juga karya-karya ulama Indonesia yang berbahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam aksara pegon. Kitab-kitab ini menjadi rujukan penting dalam berbagai bidang, antara lain, fiqih, tauhid mauoun tasawuf.
Banyak ulama yang muncul memang tidak pernah ke jazirah Arab namun dengan adanya kitab beraksara pegon ini membantunya dalam memahami isi ajaran Islam melaluijalan berguru kepada ulama-ulama lainnya. Oleh sebab itu, kitab beraksara pegon ini dianggap memiliki kontribusi yang besar dalam menyebarkan Islam di Nusantara ini.
Beberapa karya-karya kitab ulama terdahulu yang menggunakan aksara pegon dan masih digunakan dan dijadikan rujukan hingga saar ini antara lain kitab Tarjuman al-Mustafid karya Syaikh Abdul Rauf as-Singkili, Sabil al-Muhtadin dan Perukunan karya Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Sirus Salikin karya Abdul Al-Samad Al-Falimbani, Jam’u al-jawami’ dan Tajul Muluk karya Syekh Ismail bin Abdul Muthalib Al-Asyi, serta banyak lagi karya-karya lainnya.