Antara Pendekatan Tekstualis, Semi-Tekstualis, dan Kontekstualis dalam Menafsirkan Al-Qur’an

pendekatan kontekstualis dalam menafsirkan al qur'an

Pecihitam.org – Al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat Islam di seluruh dunia, baik dalam kaitannya dengan hablun min Allah maupun yang berkaitan dengan hablum min an-nas wa I-‘alam. Kita semua, umat Islam, yakni bahwa kitab suci ini berlaku kapanpun dan di manapun.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun, sebelum al-Qur’an diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam, khususnya para ulama, berkewajiban untuk melakukan upaya memahami dan menafsirkannya dari masa ke masa.

Pertanyaan penting yang wajib dijawab oleh para ulama ini adalah, bagaimana seharusnya al-Qur’an dipahami dan ditafsirkan pada abad ke-21 ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, para ahli tafsir memahami al-Qur’an dengan metode dan pendekatan yang bermacam-macam. Misalnya, seorang pakar tafsir dari Australia, Abdullah Saeed, sebagaimana tertuang dalam bukunya “Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach”, membagi pendekatan dalam mengkaji al-Qur’an ke dalam tiga pendekatan; tekstualis, semi-tekstualis, dan kontekstualis.

Dalam mendekati al-Qur’an, kelompok tekstualis biasanya lebih memperhatian aspek kebahasaan. Konteks sejarah yang ada ketika al-Qur’an diturunkan tidak menjadi pertimbangan yang berarti dalam proses penafsiran al-Qur’an.

Begitu pula dengan pendekatan semi-tekstualis, hanya saja para ulama yang fokus pada pendekatan semi-tekstualis menggunakan idiom-idiom dan argumen-argumen baru.

Cara pandangan terhadap al-Qur’an yang bersifat tekstualis dan semi-tekstualis ini, sangat rawan terjebak pada perspektif literalisme dan cenderung memahami teks secara apa adanya.

Mereka menganggap al-Qur’an mengatasi sejarah dan pemahaman terhadapnya tidak perlu mempertimbangkan konteks kehidupan zaman sekarang.

Berbeda dengan keduanya, pendekatan kontekstualis diaplikasikan dalam proses penafsiran dengan memperhatikan aspek-aspek lingistik al-Qur’an dan konteks sejarahnya, baik mikro maupun makro, serta konteks kekinian.

Baca Juga:  Dzul Khuwaishirah, Cikal Bakal Khawarij dengan Ciri Jidat Hitam dan Jenggot Panjang

Pendekatan kontekstualis dalam memahami al-Qur’an ini dipandang oleh ulama-ulama modern sebagai alternatif bagi pendekatan tekstualis dan semi-tekstualis yang terlalu kaku dalam memahami al-Qur’an, sehingga tidak mampu menangkap pesan-pesan inti ajaran al-Qur’an yang dapat diterapkan di masa sekarang.

Bila dikaji secara lebih sistematis, argumen kontekstualis dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dijabarkan dalam tujuh poin sebagai berikut:

Pertama, konsep wahyu al-Qur’an dan ilham dalam penafsiran.

Sekurang-kurangnya, wahyu al-Qur’an mengalami empat level proses, yakni wahyu al-Qur’an diturunkan oleh Allah ke al-Lauh al-Mahfuzh, malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad, Nabi kemudian menarasikan, membacakan, menyampaikan dan mengajarkan kepada para sahabat. Terakhir, setelah Nabi wafat, “ilham atau insiprasi” dari Allah terus berlangsung diberikan kepada umat Islam bersamaan dengan upaya mempraktikkan al-Qur’an dan menafsirkannya dari generasi ke generasi.

Kedua, perlunya proses penafsiran yang terus-menerus tanpa henti.

Sejak masa awal Islam, penafsiran al-Qur’an telah berlangsung sedemikian rupa. Nabi dan para sahabat konon telah menafsirkan al-Qur’an dan dilanjutkan oleh generasi tabi’in dan generasi berikutnya.

Dalam perkembangannya, tafsir al-Qur’an dibagi ke dalam dua bagian: 1). Penafsiran dengan berdasarkan pada riwayat-riwayat (tafsir bi al-ma’tsur), dan 2). Penafsiran yang didasarkan pada akal (tafsir bi al-ra’y).

Untuk model penafsiran yang kedua ini, sepertinya sangat dibutuhkan di masa sekarang khususnya untuk merumuskan nilai-nilai Qur’ani yang lebih universal guna untuk menghadapi tantangan zaman. Dari penafsiran berdasarkan akal inilah yang menjadi pintu masuk pendekatan kontekstualis dalam memahami al-Qur’an.

Baca Juga:  Wacana Tentang Kemakhlukan al-Quran, Ada Apa di Baliknya?

Ketiga, fleksibilitas al-Qur’an, khususnya terkait dengan perbedaan cara baca dan penghapusan atau penggantian ayat antara satu dengan yang lain (naskh). Dalam hal bacaan, Nabi sendiri sangat fleksibel dalam membacanya, bahkan para sahabat dibolehkan membaca al-Qur’an sesuai dengan dialek mereka.

Fleksibilitas yang lainnya terkait dengan perubahan status hukum ketika pewahyuan al-Qur’an masih berlangsung. Biasanya, perubahan jenis ini disebut dengan istilah naskh. Intinya, perubahan ketetapan Allah berupa hukum bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi umat manusia.

Keempat, pemaknaan terhadap al-Qur’an hanya bersifat perkiraan.

Banyak bagian dalam al-Qur’an yang ternyata memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam dan penafsiran itu hanya perkiraan semata.

Misalnya tentang ayat-ayat yang termasuk mutasyabihat, ayat-ayat tentang dunia gaib, dan kisah-kisah Nabi terdahulu serta perumpamaan-perumpamaan (amtsal) yang dipahami oleh mufassir sesuai dengan kemampuan imajinasinya.

Keterbukaan penafsiran yang beragam ini, mendorong para ahli tafsir untuk mengembangkan pendekatan kontekstualis dalam menafsirkan al-Qur’an di masa sekarang, terlebih pada ayat-ayat etika dan hukum.

Sebab, pada wilayah etika dan hukum, penafsirannya harus disesuaikan dengan semangat zaman dan tentunya tak lepas dari persentuhannya dengan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.

Kelima, adanya kompleksitas makna dalam al-Qur’an.

Dalam hal ini, kaum kontekstualis berpandangan bahwa makna al-Qur’an itu kompleks dan bisa ditafsirkan secara dinamis dan beragam.

Dengan begitu, upaya penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan kontekstualis ini akan dapat memberi manfaat yang lebih besar bagi kehidupan sekarang. Selama penafsirannya tidak mengandung unsur-unsur subjektif dari penafsir dan mengandung tidak mengandung kepentingan-kepentingan, maka pendekatan ini sah dan boleh.

Baca Juga:  Apakah Sama NII dan HTI dalam Mimpi Mendirikan Negara Islam?

Keenam, perlunya perhatian pada konteks sosio-historis pewahyuan al-Qur’an.

Banyak ayat-ayat al-Qur’an, khususnya yang terkait dengan aspek hukum, tidak bisa dipahami dengan baik, kecuali dengan memperhatikan konteks historisnya. Yakni peristiwa spesifik yang direspon oleh ayat tertentu, maupun situasi umum yang terjadi di kalangan bangsa Arab.

Ketujuh, hirarki nilai-nilai yang terkandung pada ayat-ayat hukum.

Banyak ayat-ayat hukum yang memiliki nilai-nilai tidak setara dan hal ini terkait erat dengan apakah ayat tertentu itu berlaku secara universal ataukah berlaku secara lokal saja.

Kiranya, beberapa model argumentasi dalam penafsiran kontekstual terhadap al-Qur’an ini bisa dijadikan landasan untuk dapat memahami dan menafsirkan al-Qur’an secara kekinian.

Sebab, banyak sekali orang atau umat Islam tertentu yang memahami dan menfsirkan al-Qur’an hanya secara tekstual saja, akhirnya mereka terjebak pada literalisme dan penarikan makna al-Qur’an yang ketinggalan zaman.

Misalnya seperti ayat-ayat seputar jihad, perang, dan penerapan hukum-hukum Allah di bumi. Bila tidak dipahami secara kontekstualis, orang mudah terjebak pada cara berpikir takfiri, mudah menyalahkan, suka dengan kekerasan, memerangi musuh-musuh Islam, dan yang paling tragis upaya menerapkan hukum Allah berupa pendirian negara Islam.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *