Inilah Batas Waktu Suami Boleh Meninggalkan Istri Bekerja Jauh

batas waktu meninggalkan istri

Pecihitam.org – Sebagai seorang suami harus sadar akan batas waktu bekerja. Jangan sampai, rasa cinta pada pekerjaan membuat Anda lupa akan tanggung jawab, dan waktu untuk keluarga. Lantas, pertanyaannya berapa lama batas waktu suami boleh meninggalkan istri untuk bekerja?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagaimana kodratnya wanita memang memiliki kelemahan dan kelebihan, sama halnya dengan laki-laki. Kelemahan wanita salah satunya dapat terlihat ketika dirinya ditinggalkan sementara (bekerja atau berpergian yang jauh) —atau bahkan selamanya—oleh suaminya.

Allah telah memerintahkan para suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara sebaik mungkin. Sebagaimana Allah perintahkan para istri juga menaati suaminya sebaik mungkin. Allah berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Pergaulilah istri kalian dengan cara yang ma’ruf (baik).” (QS an-Nisa’: 19)

Bagian pergaulan yang baik terhadap istri salah satunya adalah memberi perhatian kepada istri. Itu sebabnya, meninggalkan istri dalam waktu yang cukup lama, termasuk pelanggaran dalam rumah tangga, karena bertentangan dengan perintah untuk mempergauli istri dengan baik.

Hukum Meninggalkan Istri Karena Uzur

Dalam kondisi suami punya uzur (mencari nafkah atau karena kebutuhan lainnya), istri tidak berhak menuntut suami untuk segera pulang atau hak melakukan hubungan badan. Ini merupakan pendapat mazhab Hanbali.

Al-Buhuti menjelaskan:

ولو سافر الزوج عنها لعذر وحاجةٍ سقط حقها من القسم والوطء وإن طال سفره ، للعذر

“Ketika suami melakukan safar (perjalanan) meninggalkan istrinya karena uzur atau ada hajat, maka hak gilir dan hubungan untuk istri menjadi gugur. Meskipun safarnya lama, karena udzur.”

Namun jika istri keberatan, dia berhak untuk mengajukan cerai. Maka jika dia merasa tindakannya membahayakan istrinya, suami berhak untuk melepas istrinya. Allah Swt berfirman:

Baca Juga:  Tuntunan Lengkap Cara Menutup Aurat dalam Shalat

وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَاراً لِتَعْتَدُوا

“Janganlah kamu pertahankan mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” (Q.S. al-Baqarah: 231)

Hukum Meninggalkan Istri Tanpa Uzur

Suami yang safar meninggalkan keluarga tanpa udzur, maka istri boleh menuntut untuk segera kembali pulang. Karena ada hak istri yang harus ia penuhi. Para ulama menetapkan, batas waktu seorang suami boleh meninggalkan istri adalah enam bulan. Jika lebih dari enam bulan, istri punya hak untuk menggugat suaminya ke pengadilan.

Al-Buhuti mengatakan:

وإن لم يكن للمسافر عذر مانع من الرجوع وغاب أكثر من ستة أشهر فطلبت قدومه لزمه ذلك

“Jika suami safar tidak memiliki uzur yang menghalangi dia untuk pulang, sementara dia pergi selama lebih dari enam bulan, lalu istri menuntut agar suaminya segera pulang, maka wajib bagi suami untuk pulang.”

Ibnu Qudamah menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad,

وسئل أحمد أي ابن حنبل رحمه الله: كم للرجل أن يغيب عن أهله؟ قال: يروى ستة أشهر

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, “Berapa lama seorang suami boleh safar meninggalkan istrinya?” beliau menjawab, “Ada riwayat, maksimal 6 bulan.” (al-Mughni, 8/143).

Batas 6 bulan itu berdasarkan ijtihad Amirul Mukminin, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah bercerita,

Baca Juga:  6 Manfaat Wudhu Sebelum Tidur

Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling kota. Tiba-tiba beliau mendengar ada seorang wanita kesepian bersyair,

تَطَاوَلَ هَذَا اللَّيْلُ وَاسْوَدَّ جَانِبُهُ
وَأَرَّقَنِى أَنْ لاَ حَبِيبٌ أُلاَعِبُهُ
فَوَاللَّهِ لَوْلاَ اللَّهُ إِنِّى أُرَاقِبُهُ
تَحَرَّكَ مِنْ هَذَا السَّرِيرِ جَوَانِبُهُ

Malam yang panjang, namun ujungnnya kelam
Yang menyedihkan, tak ada kekasih yang bisa kupermainkan
Demi Allah, andai bukan karena Allah yang mengawasiku
Niscaya dipan-dipan ini akan bergoyang ujung-ujungn
ya

Perempuan itu kemudian melanjutkan kata-katanya sambil menghela nafas dalam-dalam: “Mungkin nestapa yang kualami malam ini adalah masalah yang amat remeh bagi Khalifah Umar bin Khattab.”

Umar yang mendengarnya menyadari bahwa wanita ini kesepian karena ditinggal lama suaminya. Namun ia tetap bersabar dan tetap menjaga kehormatannya. Seketika itu, Umar langsung mendatangi Hafshah, putri beliau untuk menanyakan perihal kegelisahan dalam hatinya,

كَمْ أَكْثَرُ مَا تَصْبِرُ الْمَرْأَةُ عَنْ زَوْجِهَا؟

Berapa lama seorang wanita sanggup bersabar untuk tidak kumpul dengan suaminya?

Jawab Hafshah, “Enam atau empat bulan.”

Kemudian Umar berjanji,

لاَ أَحْبِسُ الْجَيْشَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا

Saya tidak akan menahan pasukan lebih dari batas ini. (HR. Baihaqi dalam al-Kubro no. 18307)

Maka, sejak peristiwa itu, Sayyidina Umar menetapkan jangka waktu empat sampai enam bulan bagi seseorang yang dikirimkan ke medan perang.

Baca Juga:  Hukum Jasa Design Dengan Software Bajakan, Boleh Atau Tidak?

Selain itu, hal ini juga sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan Allah dalam masalah ila’, yaitu empat bulan. Di mana Allah SWT mengetahui bahwa kesabaran wanita dapat habis setelah empat bulan dan kemungkinan besar dia tidak akan mampu bersabar setelah jangka waktu itu.

Maka, jangka waktu empat bulan itu juga yang ditetapkan bagi laki-laki menjatuhkan ila’. Setelah jangka waktu itu, dia dapat memerintahkan istrinya memilih apakah tetap dalam perkawinan ataukah diceraikan.

Setelah empat bulan, daya tahan seorang istri melemah sebagaimana yang dituliskan seorang penyair:

“Setiap saat menyeru diiringi tangis dan kesabaran. Setelah sekian lama di antara kita ada perpisahan, dengan penuh sedu tangis dia memberikan jawaban. Dan tiada jawaban yang lebih baik dari kesabaran.”

Lukman Hakim Hidayat