Bid’ah Hasanah Menurut Ulama Madzhab Syafi’iyah

Bid'ah Hasanah

Pecihitam.org – Telah terjadi banyak perubahan semenjak masa hidup Nabi SAW hingga sekarang. Secara perlahan agama berasimilasi dengan banyak budaya dan umat manusia menyesuaikan diri dengan agama.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Agama dikelola sesuai kebutuhan tanpa menentang kitab dan aturan. Hal-hal baru muncul sebagai wujud manifestasi dan olah pikir umat muslim, utamanya ulama.

Hal baru itu dalam agama disebut bid’ah. Bid’ah artinya suatu hal baru yang tidak ada contoh sebelumnya di zaman Nabi, baik yang bersifat baik (mahmudah) maupun buruk (madzmumah).

Menurut an-Nawawi, bid’ah secara istilah ialah:

إِحْدَاث مَا لَمْ يَكُنْ في عَهْدِ رَسولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Membuat hal baru yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW.”

Term bid’ah memunculkan perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian dari mereka ada yang menganggap bid’ah tidak ada yang baik, karena merujuk pada sabda Nabi;

“Kullu bid’ah dlalalah, seluruh bid’ah itu sesat.”

Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa bid’ah terbagi dua: baik (mahmudah) dan buruk (madzmumah). Ulama syafi’iyyah, sekaligus Imam Syafi’i termasuk dalam kelompok yang kedua ini.

Karena memang faktanya tidak mungkin semua hal ada contohnya dizaman Nabi. Namun selama itu tidak bertentangan dengan pakem aturan syariat.

Bid’ah hasanah menurut Imam Syafi’i memiliki syarat sebagai berikut.;

  • Pertama, selaras dengan Al-Quran, hadis, atsar, dan ijma’.
  • Kedua, pembaruan itu bersifat baik.

Dengan melihat kedua syarat ini, terang bahwa inti dari bid’ah hasanah ialah tidak bertentangan dengan syariat. Berikut adalah beberapa kasus dan contoh bid’ah hasanah dalam ibadah menurut ulama syafi’iyyah, yaitu:

Daftar Pembahasan:

1. Panggilan untuk Shalat Sunnah Berjamaah

Panggilan (nida’) secara istilah ialah adzan, iqamah, pemberitahuan, doa, dan lain-lain. Adzan dan iqamah dikhususkan untuk shalat maktubah. Adapun shalat sunnah berjamaah, disyariatkan panggilan ‘ash-sholatu jami’ah’.

Baca Juga:  Bingung Memahami Bid'ah, Ulama Wahabi Ini Saling Membid'ahkan

Misalnya dalam shalat khusuf, dan ‘ied. Sementara panggilan semacam itu dalam shalat istisqa’, tarawih, dan witir yang dilakukan berjamaah termasuk bid’ah hasanah.

2. Adzan untuk Selain Shalat Maktubah

Adzan sesungguhnya adalah seruan shalat. Namun, ulama syafi’iyyah mutaakhir menyunnahkan azan untuk beberapa kegiatan selain shalat maktubah.

Seperti adzan di telinga bayi ketika baru lahir, di telinga orang cemas untuk mengusir kecemasannya, saat kebakaran, ketika hujan deras, maupun waktu menguburkan mayat. dll

3. Shalat Sunnah Berjamaah

Menurut Imam Nawawi, shalat sunnah ada dua jenis. Pertama, shalat sunnah yang disunnahkan berjamaah, yaitu ‘id, kusuf, istisqa’, dan tarawih. Kedua, shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah namun sah, yaitu shalat sunnah selain itu, termasuk sunnah rawatib dan dhuha. Oleh karena itu, sebagaimana yang berlaku di beberapa negara muslim, shalat sunnah berjamaah merupakan bid’ah hasanah.

4. Shalat Nishfu Sya’ban

Shalat nishfu sya’ban ialah shalat yang dilakukan untuk meramaikan malam tanggal 15 Sya’ban. Shalat model ini tidak ada pada masa Rasulullah.

Sebagian besar ulama syafi’iyyah menganggap bahwa shalat nishfu sya’ban bukan termasuk bid’ah hasanah. Mereka menilainya termasuk bid’ah madzmumah yang tidak disyariatkan dan tidak ada dalilnya. Hanya beberapa yang membolehkan, seperti Imam Ghazali dan Ibnu Sholah.

Baca Juga:  Benarkah Semua Bid'ah Itu Sesat? Ini Penjelasannya

5. Shalat Tasbih

Shalat Tasbih ialah shalat sunnah yang dilakukan sedemikian rupa dengan banyaknya bacaan tasbih yang berbeda dengan shalat biasanya. Terhitung, jumlah bacaan tasbih sebanyak 75 kali setiap rakaat.

Ulama Syafi’iyyah pecah menjadi dua pendapat dalam masalah ini. Sebagian ada yang berpendapat sunnah, karena berpijak pada sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud. Termasuk yang menyunnahkan shalat tasbih ialah al-Baghawi dan ar-Rouyani.

Imam Nawawi dalam at-Tahdzib menganggap hadis tersebut hasan. Sementara dalam al-Majmu’, Imam Nawawi menganggapnya dha’if, sehingga jika mengikut Imam Nawawi konsekuensinya shalat tasbih menjadi makruh hukumnya.

6. Melafalkan Niat Sebelum Shalat

Niat letaknya dalam hati, sementara mengucapkannya di lisan tidak wajib. Imam Nawawi berkata, “Jika melafalkan niat di mulut dan tidak berniat dalam hati, maka tidak sah shalatnya secara ijma’.”

Karena sejatinya ucapan mulut hanyalah sebagai penguat. Melafalkan niat selain dalam haji dan umrah termasuk bid’ah hasanah, karena tidak ada pada zaman Rasulullah maupun sahabat.

7. Isti’adzah di Setiap Awal Rakaat

Tidak pernah diceritakan ada ta’awwudz (a’udzu billahi minasy syaithanir rajim) di setiap awal rakaat pada masa Rasul SAW maupun sahabat, baik itu dalam hadis shahih maupun dla’if.

Namun, ulama syafi’iyyah menyunnahkan bacaan ini pada awal setiap rakaat, baik itu bagi imam, makmum, maupun yang shalat munfarid (sendirian).

8. Salaman Sehabis Shalat

Salaman atau jabat tangan disunnah ketika bertemu, baik di rumah maupun dalam perjalanan. Banyak sekali hadis tentang hal tersebut. Adapun salaman sehabis shalat merupakan hal baru yang tidak ada keterangannya.

Baca Juga:  Konsep Bid’ah Menurut Syaikh Hasyim Asy’ari, Berikut Penjelasannya

Namun, hal itu tidak masalah karena praktik tersebut bagian dari salaman yang dianjurkan oleh syariat. Artinya, hukum asal salaman ialah sunnah, namun salaman sehabis shalat yang biasa dilakukan orang-orang merupakan bid’ah hasanah.

Itulah beberapa bid’ah hasanah dalam shalat menurut ulama syafi’iyyah. Praktik-praktik tersebut di atas juga sering kita temukan di negara kita Indonesia, yang merupakan negara mayoritas penduduknya Islam dan bermadzhab Syafii.

Dalam masalah furu’ (fikih) masih ada ruang untuk menciptakan kreasi baru, bahkan dalam bab ibadah. Namun, pembaruan ini tidak boleh menentang syariat.

Permbaruan yang buruk dan berlawanan dengan syariat hanya akan menghasilkan bid’ah madzmumah. Adapun dalam ushul (akidah) tidak boleh ada bid’ah, semuanya harus berdasarkan pada Al-Quran maupun hadis. Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam bisshawab.

Disarikan dari kitab al-Bid’ah al-Hasanah ‘inda asy-Syafi’iyyah fi al-‘Ibadah karya Abu Umar Danang bin Ahmad Muhadi al-Jawi al-Indonesi via Majalah Tebuireng

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *