Hadits Shahih Al-Bukhari No. 15 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 15 – Kitab Iman ini, menjelaskan tentang manisnya iman. Sesungguhnya manis adalah buah dari pada iman. Untuk itu ketika disebutkan bahwa mencintai Rasulullah saw adalah sebagian dari pada iman, maka dijelaskan setelah itu, bahwa cinta tersebut akan membuahkan sesuatu yang manis. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 99-102.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdul Wahhab Ats Tsaqafi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [Anas bin Malik] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka”

Keterangan Hadis: Sesungguhnya manis adalah buah dari pada iman. Untuk itu ketika disebutkan bahwa mencintai Rasulullah adalah sebagian dari pada iman, maka dijelaskan setelah itu, bahwa cinta tersebut akan membuahkan sesuatu yang manis.

حَلَاوَة الْإِيمَان dalam ilmu balaghah kalimat ini disebut isti’arah takhyiliyyah, yang menyamakan rasa cinta seorang mukmin terhadap keimanan dengan sesuatu yang manis. Hadits ini mengisyaratkan tentang orang yang sakit dan orang yang sehat. Orang yang sehat akan merasakan manisnya madu, sedangkan orang yang menderita sakit kuning misalnya, rasa tersebut akan berubah menjadi pahit.

Imam Bukhari menggunakan bentuk isti’arah (pengandaian) untuk menjelaskan naik dan turunnya keimanan seseorang. Syaikh Abu Muhammad bin Abu Jamrah mengatakan, bahwa penggunaan istilah “manisnya iman” dikarenakan Allah menyamakan iman dengan sebatang pohon, sebagaimana dalam firman-Nya, “Perumpamaan kalimah yang baik seperti pohon yang baik.” Kalimat dalam firman tersebut adalah kalimat ikhlash (makna yang terkandung dalam surah Al Ikhlas), sedangkan pohon tersebut adalah dasar keimanan, rantingnya adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, daunnya adalah kebaikan yang diperhatikan oleh seorang mukmin, buahnya adalah perbuatan taat, dan manisnya buah adalah buah yang sudah siap untuk dipetik, karena buah yang siap untuk dipetik menunjukkan manisnya buah tersebut.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 335 – Kitab Tayammum

أَحَبّ إِلَيْهِ (lebih cinta kepadanya) Imam Baidhawi mengatakan, bahwa maksud cinta di sini adalah cinta yang menggunakan akal. Artinya kecintaan tersebut lebih mengutamakan akal sehat, walaupun harus bertentangan dengan hawa nafsu. Seperti orang yang menderita sakit, pada dasarnya enggan untuk minum obat, namun karena akalnya mengatakan bahwa obat adalah alat yang dapat menyembuhkan penyakit, akhirnya akal memilih untuk minum obat. Pilihan akal inilah yang membuat nafsu -orang sakit tersebut untuk minum obat.

Apabila manusia menganggap bahwa larangan dan perintah Allah pasti akan mendatangkan manfaat, dan akal pun cenderung membenarkan hal tersebut, maka orang tersebut akan membiasakan diri untuk melaksanakan semua perintah tersebut. Dengan demikian dalam masalah ini secara otomatis hawa nafsu seseorang akan mengikuti kemauan akal, artinya kemauan akal adalah kesadaran akan arti sesuatu yang sempurna dan baik.

Rasul menjadikan tiga perkara tersebut sebagai tanda kesempurnaan iman seseorang, karena jika seseorang telah meyakini bahwa sang pemberi nikmat hanya Allah semata, dan Rasululah telah menjelaskan apa yang diinginkan oleh Allah, maka menjadi keharusan bagi manusia untuk mengorientasikan semua yang dilakukannya hanya untuk Allah semata, sehingga ia tidak menyukai dan membenci kecuali apa yang disukai dan dibenci oleh Allah, dan tidak menyukai seseorang kecuali hanya karena Allah dan Rasui-Nya. Ia yakin bahwa semua yang dijanjikan oleh Allah akan menjadi kenyataan, dengan demikian dzikir kepada Allah dan Rasulnya adalah surga dan kembali kepada kekufuran adalah neraka.

Baca Juga:  Meninjau Status Hadis Keutamaan Bulan Rajab

Hadits ini dibenarkan Allah firman Allah, “Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, ” sampai firman, “Lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasulnya,” kemudian Allah mengancam akan hal tersebut dengan janjinya fatarabbashuu (maka tunggulah). Makna hadits ini telah mengisyaratkan kepada manusia untukn selalu melaksanakan keutamaan dan meninggalkan kehinaan. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa cinta kepada Allah mencakup dua hal:

Pertama: Fardhu: Kecintaan yang mendorong manusia untuk melaksanakan segala macam perintah-Nya, meninggalkan segala macam maksiat dan ridha kepada ketetapan-Nya. Barangsiapa yang terjerumus dalam kemaksiatan, melaksanakan yang diharamkan dan meninggalkan yang wajib, maka dia telah lalai dan lebih mengedepankan hawa nafsunya dari pada kecintaan kepada Allah. Orang yang lalai terkadang lebih menyukai dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang mubah. Prilaku ini akan melahirkan ketidakpedulian, sehingga orang tersebut akan dengan mudah terperosok ke dalam maksiat yang menimbulkan penyesalan.

Kedua: Sunnah: Membiasakan diri untuk melaksanakan shalat sunnah dan berusaha meninggalkan hal-hal yang syubhat. Prilaku orang yang demikian ini masih sangat jarang kita temukan.

Disamping itu termasuk cinta kepada Rasulullah, adalah tidak melaksanakan perintah atau tidak menjauhi larangan kecuali ada cahaya penerang dari Beliau, dengan demikian orang tersebut akan selalu berjalan di atas jalan yang sudah digariskan. Orang yang mencintai Rasul pasti akan meridhai syariat yang dibawanya dan berperangai seperti akhlaknya, seperti dermawan, mulia, sabar dan rendah hati. Oleh sebab itu orang yang berupaya untuk melakukan perbuatan seperti di atas, niscaya akan menemukan manisnya iman.

Syaikh Muhyiddin mengatakan, “Hadits ini mengandung makna yang mulia, karena hadits ini merupakan dasar agama. Adapun makna “manisnya iman” adalah kelezatan dalam melaksanakan ketaatan dan kemampuan menghadapi kesulitan dalam agama, serta mengutamakan agama dari pada hal-hal yang berbau keduniaan. Cinta kepada Allah dapat dicapai dengan ketaatan dan meninggalkan segala yang melanggar aturan-Nya. Konsekuensi seperti ini tetap sama, bila kita mencintai Rasul-Nya. “Begitu pula bila kita mencintai Rasul-Nya, konseksuensinya tetap sama seperti ini.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 47 – Kitab Iman

Kata yang dipakai dalam hadits tersebut adalah “apa saja” bukan “siapa saja”. Hal ini berfungsi untuk menekankan bahwa makna hadits ini umum mencakup semua benda hidup yang mempunyai akal dan yang tidak mempunyai akal.

وَأَنْ يَكْرَه أَنْ يَعُود فِي الْكُفْر. Abu Nu’aim menambahkan dalam kitabnya Al Mustahkraj dari jalur Sufyan dari Muhammad bin Al Mutsna guru Imam Bukhari dengan kalimat, بَعْد إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّه مِنْهُ (setelah diselamatkan Allah dari kekufuran). Redaksi seperti ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui jalur yang lain. Kata Ingaadz (diselamatkan) lebih umum dari pada kata “ishmah” (dijaga) sejak lahir dalam keadaan Islam atau dikeluarkan dari gelapnya kekufuran menuju cahaya iman, sebagaimana yang dialami oleh sebagian para sahabat.

Catatan
Semua sanad hadits ini adalah orang Bashrah. Hadits ini menjadi dalil akan keutamaan membenci kekufuran. Hadits ini dicantumkan pada bab adab dan keutamaan cinta kepada Allah dengan lafazh, وَحَتَّى أَنْ يُقْذَف فِي النَّار أَحَبّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يَرْجِع إِلَى الْكُفْر بَعْد إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّه مِنْهُ Redaksi hadits ini lebih lugas, karena hadits ini menyamakan dua perkara, yaitu dilemparkan ke dalam api dunia adalah lebih baik dari pada kekufuran.

Redaksi hadits seperti inilah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasa’ i dan Ismail dari Qatadah dari Anas. Dalam riwayat Imam Nasa’i dari jalur sanad Thalq bin Hubaib dari Anas, ditambahkan kata الْبُغْض (benci), dengan demikian redaksi hadits menjadi, وَأَنْ يُحِبّ فِي اللَّه وَيَبْغَض فِي اللَّه (Mencintai dan membenci karena Allah).

M Resky S