Hadits Shahih Al-Bukhari No. 17 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 17 – Kitab Iman ini, mengemukakan sebagian sahabat berbaiat pada malam Aqobah kepada Rasulullah untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam perkara yang ma’ruf. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 106-118.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو إِدْرِيسَ عَائِذُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا وَهُوَ أَحَدُ النُّقَبَاءِ لَيْلَةَ الْعَقَبَةِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِك

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Yaman] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Syu’aib] dari [Az Zuhri] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Abu Idris ‘Aidzullah bin Abdullah], bahwa [‘Ubadah bin Ash Shamit] adalah sahabat yang ikut perang Badar dan juga salah seorang yang ikut bersumpah pada malam Aqobah, dia berkata; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika berada ditengah-tengah sebagian sahabat: “Berbai’atlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam perkara yang ma’ruf. Barangsiapa diantara kalian yang memenuhinya maka pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari hal tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari hal-hal tersebut kemudian Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali kepada Allah, jika Dia mau, dimaafkannya atau disiksanya”. Maka kami membai’at Beliau untuk perkara-perkara tersebut.

Keterangan Hadis: Dalam riwayat kita ini, dituliskan kata “Bab” tanpa disertai nama judulnya, sedangkan dalam riwayat Al Ushaili tidak dituliskan sama sekali baik “Bab” tersebut maupun judulnya karena -menurutnya- hadits ini termasuk dalam bab sebelumnya. Demikian pula dalam riwayat kita, hadits tersebut berkaitan dengan bab sebelumnya, karena kata “Bab “jika tidak disertai dengan judulnya, maka menunjukkan bahwa hadits yang terdapat di dalamnya termasuk dalam pembahasan bab sebelumnya, dan metode ini banyak dipakai oleh pengarang kitab fikih.

Adapun korelasi antara hadits ini dengan hadits sebelumnya, bahwa dalam hadits yang lalu telah disebutkan kata “Al Anshar”, sedangkan dalam hadits ini dijelaskan tentang sebab penamaan mereka (suku Aus dan Khazraj) dengan nama “Al Anshar”. Hal itu berkaitan erat dengan malam iAqabah dimana mereka mengadakan kesepakatan bersama Rasulullah SAW di Aqabah yang berada di Mina pada saat musim haji sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab sirah nabawiyah (sejarah Nabi).

Imam Bukhari juga menyebutkan hadits ini dalam bab lain yaitu bab “man syahida badran (bab orang yang mengikuti perang Badar)” karena dalam hadits tersebut disebutkan, “salah seorang yang mengikuti perang Badar”, dan juga dalam bab “wufud al-anshar (para utusan kaum Anshar) ” karena dalam hadits tersebut disebutkan, “dan salah seorang utusan dalam pertemuan “Agabah.” Sedangkan dalam bab ini, Imam Bukhari menyebutkannya karena berkaitan dengan hadits sebelumnya seperti yang telah kami jelaskan di atas.

Kemudian dari segi matannya., hadits ini berhubungan dengan pembahasan tentang iman dari dua segi, Pertama adalah bahwa menghindari larangan termasuk bagian dari iman, seperti halnya melaksanakan perintah, Kedua adalah bahwa hadits tersebut mem-bantah pendapat yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah termasuk orang kafir dan akan kekal di dalam neraka sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا (salah seorang yang mengikuti perang Badar), yaitu perang yang terjadi di suatu tempat yang bernama “Badar.” Perang ini adalah perang yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah dalam melawan kaum musyrikin, sebagaimana yang akan kita jelaskan dalam bab “Al Maghazi (peperangan).”

أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (bahwa Rasulullah SAW) Kata قَالَ yang ada sebelumnya merupakan khabar (predikat) dari kata أَنَّ yang dihapus dalam riwayat asalnya, karena lafazh وَكَانَ dan yang sebelumnya bertentangan. Memang biasanya para pakar hadits dengan sengaja menghilangkan kata “qaala” akan tetapi jika kata tersebut disebutkan berulang seperti, “qaala, qaala Rasulullah SAW, maka mereka harus menyebutkan kata tersebut.

Hadits ini juga dapat ditemukan dalam bab “man syahida badran” dengan rangkaian sanad yang sama, oleh karena itu agaknya penghapusannya di sini akan berlanjut, begitupula dalam riwayat Ahmad dari Abu Yaman dengan rangkaian sanad yang sama bahwa Ubadah yang mengabarkan kepadanya.

عِصَابَةٌ  berarti kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 40 orang. بَايِعُونِي (Berbaiatlah [berjanji] kalian semua kepadaku). Dalam bab “wufud anshar” (para utusan kaum Anshar) kalimat tersebut ditambah dengan, تَعَالَوْا بَايِعُونِي (kemarilah dan berjanjilah kepadaku). Penggunaan kata مبايعة dari kata البيع (jual beli) yang berarti perjanjian adalah termasuk bentuk majaz yaitu diqiaskan dengan transaksi barang seperti dalam firman Allah, إِنَّ اللَّه اِشْتَرَى مِنْ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسهمْ وَأَمْوَالهمْ بِأَنَّ لَهُمْ الْجَنَّة. Dan juga Firman-Nya, وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادكُمْ (tidak membunuh anak-anakmu).

Muhammad bin Al Ismaili dan yang lainnya berkata, “Hadits ini menjelaskan tentang membunuh anak-anak, karena ha! itu mengandung unsur pembunuhan dan memutuskan tali silaturrahim. Hal ini bertujuan untuk menekankan larangan tersebut, karena mengubur anak perempuan atau membunuh anak laki-laki -karena takut lapar- adalah merupakan kebiasaan kaum Jahiliyah. Atau bisa saja dikhususkannya penyebutan kata tersebut dengan tujuan agar mereka menghindari perbuatan tersebut.

وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ (Tidak membuat fitnah di antara kalian). Kata الْبُهْتَان berarti kebohongan yang dapat menjadikan pendengarnya tersentak. Kata افتراي (bohong) digunakan secara khusus bagi tangan dan kaki, karena mayoritas perbuatan dilakukan dengan menggunakan tangan dan kaki yang merupakan alat untuk melakukan secara langsung. Oleh karena itu perbuatan yang dihasilkan disebut dengan perbuatan tangan. Bahkan ada orang yang dihukum akibat perbuatan mulutnya, tapi dikatakan kepadanya, “Ini yang dihasilkan tanganmu.” Kemungkinan maksud larangan untuk berbohong di sini adalah jangan berusaha membohongi manusia dan saling bersaksi diantara kalian, seperti berkata, “Aku berkata seperti ini di depan (dengan saksi) si fulan.”

Inilah pendapat Al Khaththabi, namun yang harus diperhatikan dalam pendapat tersebut adalah disebutkannya kata “arjul” (kaki-kaki). Al Karamani mengatakan bahwa disebutkannya kata kaki adalah sebagai penguat, karena yang dimaksudkan adalah tangan. Artinya disebutkannya kata “arjul” (kaki) jika tidak dikehendaki, maka tidak dilarang.

Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah apa yang ada antara kaki dan tangan yaitu hati, karena apa yang ada dalam hati adalah diterjemahkan oleh lidah. Oleh karena itu kata iftira’ (bohong) dinisbatkan kepada lidah, seakan-akan maknanya adalah jangan kalian membohongi seseorang dan mengguncang orang tersebut dengan lidah kalian.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 400 – Kitab Shalat

Abu Muhammad bin Abu Hamzah berkata, “Mungkin maksud kalimat “baina aidiikum” adalah seketika, sedangkan kata “arjulikum” adalah masa yang akan datang, karena berjalan adalah perbuatan yang dilakukan kaki. Pendapat lain mengatakan, “Asalnya kata ini dipergunakan dalam jual beli wanita. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al Harawi dalam kitab Al Gharbiyiin, bahwa yang dijuluki dengan kata tersebut adalah wanita yang melahirkan anak dari hasil zina, lalu menisbatkan anak tersebut kepada suaminya. Ketika kata ini dipergunakan untuk jual beli laki-laki, maka makna kata tersebut diperluas kepada selain makna pertama.

وَلَا تَعْصُوا (tidak durhaka) dalam riwayat Al Ismaili disebutkan وَلَا تَعْصُونِي (jangan mendurhakaiku) dan kalimat tersebut sesuai dengan ayat diatas, sedangkan kata الْمَعْرُوف maksudnya adalah kebaikan yang berasal dari Allah baik berupa perintah maupun larangan.

فِي مَعْرُوف (terhadap perintah kebaikan) An-Nawawi berkata, “Kemungkinan maksudnya adalah jangan kalian menentangku atau salah seorang pemimpin kalian dalam kebaikan.” Maka kata معروف terikat dengan sesuatu setelannya. Ada yang berpendapat dengan kalimat tersebut Rasulullah SAW mengingatkan, bahwa ketaatan kepada makhluk diwajibkan sebatas kebaikan, bukan dalam berbuat maksiat kepada Allah. Pendapat semacam ini sesuai dengan perintah untuk meninggalkan kemaksiatan kepada Allah.

فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ (Barangsiapa yang menepati), maksudnya berpegang teguh pada isi perjanjian. فَأَجْره عَلَى اللَّه (maka ia akan diberi pahala oleh Allah) Kalimat tersebut diucapkan untuk menunjukkan penghormatan, karena ketika penyebutan “sumpah” berefek kepada keharusan adanya balasan, maka menyebutkan ganjaran kepada salah satu di antara kedua topik tersebut sangat sesuai.

Adapun balasan tersebut, disebutkan dengan menggunakan kata “surga” dalam riwayat Ash-Shanabahi dari Ubadah yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari Muslim. Kemudian penggunaan kata “ala ” adalah untuk menunjukkan arti “penekanan” bahwa hal tersebut benar-benar akan terwujud. Akan tetapi berdasarkan dalil-dalil yang ada Allah tidak wajib melakukan sesuatu apapun, maka kata tersebut tidak dapat ditafsirkan secara zhahiraya saja. Hal ini akan dijelaskan dalam hadits Muadz yang menjelaskan tentang hak Allah atas hamba-Nya.

Jika ada pertanyaan, “Mengapa hadits ini hanya menyebutkan tentang larangan saja dan tidak menyebutkan perintah” Maka jawabnya, bahwa Rasulullah tidak mengabaikan perintah-perintah tersebut, akan tetapi beliau menyebutkannya secara global dalam sabdanya وَلَا تَعْصُوا (tidak durhaka) karena maksud durhaka, adalah tidak melaksanakan perintah.

Adapun hikmah disebutkannya larangan yang tidak disertai perintah adalah karena meninggalkan larangan lebih mudah dari pada melakukan suatu perbuatan, atau karena menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mencari kemaslahatan, atau juga meninggalkan kejelekan lebih dianjurkan sebelum melakukan kebaikan.

وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ (barangsiapa yang melanggar salah satu dari perjanjian itu maka ia akan dihukum), Imam Ahmad menambahkan dalam riwayatnya dengan lafazh بِهِ sehingga menjadi وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ

كَفَّارَة (menjadi tebusan) Imam Ahmad menambahkan dengan kata “lahu” (baginya). Imam Bukhari dalam bab “Masyi’ah” juga menambahkan kata لَهُ dan kata طَهُور (pembersih dosa). An-Nawawi berkata, “Hadits ini dikhususkan dengan firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang yang menyekutukan-Nya” Oleh karena itu, orang murtad yang dibunuh dalam kondisi murtad, maka pembunuhan itu bukan merupakan kafarat baginya. Menurut saya, pendapat ini disebabkan karena kalimat, مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا (salah satu dari perjanjian itu) jelas-jelas mencakup seluruh yang disebutkan.

Ada yang berpendapat bahwa yang disebutkan adalah selain perbuatan syirik, karena hadits tersebut ditujukan kepada kaum muslimin. Dengan demikian, syirik tidak perlu disebutkan di dalamnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Abu Asy’asy dari Ubadah, “dan barangsiapa yang melakukan perbuatan yang mengharuskan ia dihukumi dengan hukuman had”’ karena hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang berbuat syirik tidak dinamakan had.

Akan tetapi pendapat tersebut dapat dibantah karena huruf ‘fa’ dalam kalimat “fa man” berfungsi untuk menunjukkan arti “kemudian”, disamping itu tidak menutup kemungkinan bahwa Nabi melarang kaum muslimin agar tidak berbuat syirik. Sedangkan istilah had hanyalah merupakan istilah modern saja. Maka pendapat yang benar adalah pendapat Imam Nawawi.

Ath-Thibi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan syirik adalah syirik kecil, yaitu riya \ Hal ini diperkuat dengan disebutkannya kata “syai’an (sesuatu)” dalam bentuk nakirah (indefinite), sehingga maksudnya adalah syirik dalam bentuk apapun. Pendapat ini dibantah karena Allah jika menyebut kata “syirik”, maka maksudnya adalah lawan dari tauhid (mengesakan Allah), sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat maupun hadits dengan maksud seperti itu.

Al Qadhi Iyadh berkata, “Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hudud (hukuman-hukuman) adalah sebagai kafarah (tebusan dosa), dan mereka mengambil kesimpulan dari hadits ini. Akan tetapi, ada sebagian ulama tidak mengatakannya secara pasti bahwa hudud adalah sebagai kafarat. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Saya tidak mengetahui apakah hudud adalah sebagai kafarat bagi penderitanya atau tidak” Dalam hal ini, hadits Ubadah itu memiliki sanad yang lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah. Saya berpendapat, bahwa hadits Abu Hurairah diriwayatkan oleh

Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak dan Al Bazzar dari riwayat Ma’mar dari Ibnu Ubai Za’bi dari Sa’id Al Maqrabi dari Abu Hurairah, dan hadits tersebut dinyatakan shahih ‘ala syarti syaikhani. Kemudian Ahmad telah meriwayatkan hadits ini dari Abd Razak dari Ma’mar, hanya saja Daruquthni mengatakan bahwa Abd. Razak seorang diri yang menyampaikan hadits tersebut. Hisyam bin Yusuf meriwayatkannya dari Ma’mar yang kemudian memursalkannya.

Saya berpendapat hadits tersebut telah dimaushulkan dari Adam bin Abi Iyas dari Abi Dzi’bi yang juga diriwayatkan oleh Hakim, sehingga riwayat Ma’mar menjadi kuat. Jika hadits tersebut shahih, maka penggabungan yang dilakukan oleh Qadhi Iyadh baik sekali. Akan tetapi Qadhi Iyadh dan para pengikutnya berpendapat, bahwa hadits Ubadah ini disampaikan di Makkah pada malam Aqabah ketika Rasulullah sedang menerima bait yang pertama di Mina, sedangkan Abu Hurairah memeluk Islam setelah 7 tahun dari peristiwa tersebut pada tahun Khaibar, lalu bagaimana mungkin haditsnya lebih dahulu dari pada keislamannya?”

Dalam menjawab pertanyaan itu ada yang berpendapat, “Kemungkinan Abu Hurairah tidak mendengarkan hadits tersebut dari Rasulullah, akan tetapi dari sahabat lainnya yang mendengar dari Rasulullah, dan setelah itu Abu Hurairah tidak pernah mendengar dari Rasulullah bahwa hudud memiliki kafarah (denda) seperti yang didengar oleh Ubadah, hanya saja pendapat ini terdapat kekeliruan.

Saya berpendapat, yang benar adalah hadits Abu Hurairah disampaikan lebih dulu daripada hadits Ubadah. Pembaiatan yang disebutkan dalam hadits Ubadah tidak terjadi pada malam Aqabah, dan sesungguhnya teks yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi pada malam Aqabah adalah riwayat Abu Ishaq, yakni bahwa Rasulullah berkata kepada kaum Anshar yang hadir, “Aku baiat kalian dengan syarat melindungiku sebagaimana kalian melindungi istri dan anak kalian.” Mereka pun membaiat beliau dengan syarat tersebut dan agar Rasul dan para sahabatnya pindah ke negeri mereka. Kita akan menemui kembali hadits Ubadah dalam kitab fitan dan yang lainnya- beliau berkata, “Kami pun membaiat Rasulullah untuk mendengarkan dan taat dalam kesulitan, kemudahan, kerelaan dan paksaan…”

Baca Juga:  Makna Hadis: Allah Menguatkan Agama Ini dengan Bantuan Lelaki Durhaka

Lebih jelas lagi maksud hadits di atas adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dari Ubadah, bahwa ketika terjadi pertemuan antara dia dan Abu Hurairah di hadapan Muawiyah di Syam, dia berkata, “Wahai Abu Hurairah, engkau belum bersama kami ketika kami membaiat Rasulullah untuk mendengar dan patuh dalam aktivitas dan kemalasan, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, berkata jujur dan tidak takut kepada celaan dijalan Allah, mendukung Rasulullah jika musuh-musuh mendatangi kami serta melindungi beliau sebagaimana kami melindungi jiwa, istri dan anak kami, dan bagi kami surga. Inilah baiat yang kami lakukan dengan Rasulullah,” kemudian dia menyebutkan sisa hadits tersebut.

Ath- Thabrani memiliki jalur lain dengan lafazh yang mirip dengan riwayat di atas. Dengan demikian jelaslah bahwa inilah hal-hal yang terjadi pada baiat pertama kemudian muncullah baiat-baiat lainnya yang akan kita kemukakan Insya Allah pada kitab “Ahkam”, termasuk di dalamnya hadits tentang baiat ini.

Yang menguatkan bahwa pembaiatan tersebut terjadi setelah fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) adalah turunnya ayat dalam surah Mumtahanah yaitu firman Allah, “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia.” Telah disepakati bahwa ayat ini diturunkan setelah ayat perjanjian Hudaibiyah. Adapun yang mendasarinya adalah riwayat Imam Bukhari dalam masalah “Al Hudud” dari jalur Sufyan bin Uyainah dari Zuhri dalam hadits Ubadah, bahwa ketika Rasulullah SAW membaiat mereka, beliau membacakan ayat tersebut secara lengkap. Kemudian Imam Bukhari dalam tafsir Al Mumtahanah menyebutkan riwayat dari jalur yang sama bahwa Rasulullah SAW membaca ayat surah An-Nisaa’.

Menurut riwayat Muslim dari jalur Ma’mar dari Az-Zuhri, “Kemudian beliau membacakan kepada kami ayat dari surah An-Nisaa’ dan kemudian Nabi bersabda, “janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.”

Dalam riwayat An-Nasa’i dari jalur Al Harits bin Fudhail dari Az-Zuhri disebutkan bahwa Rasulullah SA W bersabda, “Apakah kalian tidak ingin membaiatku dengan apa yang dilakukan oleh para wanita yaitu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Dan dalam riwayat Thabrani dari jalur lain dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama, “Kemudian kami pun membaiat Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita pada hari fathu Makkah (penaklukan Makkah).”

Imam Muslim meriwayatkan dari jalur Abu Asy’asy dari Ubadah dalam hadits ini, “Rasulullah mengambil (janji) dari kami apa yang diambilnya dari para wanita.” Semua ini merupakan dalil yang jelas bahwa baiat tersebut terjadi setelah turunnya ayat di atas, bahkan setelah ditaklukkannya kota Makkah, dan semua itu terjadi tak lama setelah

keislaman Abu Hurairah. Pendapat ini diperkuat dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam kitab sejarahnya dari ayahnya dari Muhammad bin Abdurrahman At-Thafawi dari Ayub dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya yang berkata, Rasulullah bersabda, “Aku baiat kalian untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Kemudian dia menyebutkan hadits yang mirip dengan hadits Ubadah dan orang-orang dalam sanadnya termasuk golongan yang tsiqat.

Ishaq bin Rawahah berkata, “jika shahih rangkaian sanad kepada Amru bin Syuaib, maka sanad tersebut seperti Ayub bin Nafi’dari Ibnu Umar. Jika Abdullah bin Amru salah seorang yang menghadiri baiat ini sedangkan dia bukan termasuk golongan Anshar bahkan keislamannya tak lama setelah keislaman Abu Hurairah, maka jelaslah perbedaan antara kedua bai’at ini, baiat kaum Anshar pada malam Aqabah yang terjadi sebelum Hijrah dan baiat lain yang terjadi setelah fathu Makkah yang disaksikan oleh Abdullah bin Amru yang keislamannya setelah hijrah.

Yang mirip dengan riwayat tersebut adalah hadits Jarir yang diriwayatkan oleh Thabrani, dia berkata, “kami membaiat Rasulullah seperti para wanita membaiatnya,” kemudian dia menyebutkan hadits tersebut.

Keislaman Jarir telah disepakati terjadi setelah keislaman Abu Hurairah. Kerancuan yang terjadi berasal dari pernyataan bahwa Ubadah bin Shamit menghadiri kedua baiat tersebut. Baiat Aqabah adalah berfungsi untuk dipuji kemudian dia menyebutkan baiat tersebut-jika benar terjadi- merujuk kepada 2 baiat sebelumnya. Ketika dia menyebutkan baiat ini dengan menyamakannya dengan baiat para wanita, timbullah kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya.

Yang sama dengan riwayat tersebut adalah riwayat Ahmad dari jalur Muhammad bin Ishaq, dari Ubadah bin Walid, dari Ubadah bin Shamit, dari ayah dari kakeknya -yang merupakan salah seorang utusandia berkata, “Kami membaiat Rasulullah dengan baiat perang” Ubadah adalah salah seorang dari 12 orang yang melaksanakan baiat Aqabah pertama yaitu, “seperti baiat para wanita itu dan untuk mendengar dan patuh pada saat sulit dan mudah.” (Al Hadits). Hal itu jelas dalam penyatuan dua baiat tersebut. Akan tetapi hadits yang terdapat dalam 2 kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) yang akan ditemukan dalam kitab ahkam, tidak ditemukan penambahan tersebut.

Hadits tersebut berasal dari jalur Yahya bin Sa’id Al Anshari dari Ubadah bin Walid. Faktanya adalah baiat harb (perang) terjadi setelah baiat Aqabah, karena peperangan dalam Islam disyariatkan setelah hijrah. Dengan demikian riwayat Ibnu Ishaq dapat ditakwilkan dengan merujuk apa yang disebutkan tadi. Riwayat tersebut mencakup 3 baiat, yaitu baiat Aqabah yang telah disebutkan dengan jelas dalam riwayat Ubadah yang diriwayatkan oleh Ahmad yang terjadi sebelum diwajibkannya peperangan.

Yang kedua adalah baiat harb yang akan dijumpai dalam kitab jihad yaitu berjanji untuk tidak akan lari dari peperangan. Yang ketiga baiat nisa’ (para wanita) atau yang seperti baiat nisa’. Yang benar bahwa penjelasan tentang hal tersebut merupakan kesalahan dari beberapa perawi. Wallahu A ‘lam.

Penjelasan yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dari Ubadah bahwa baiat Aqabah seperti baiat nisa’ dapat dibantah, karena telah disepakati bahwa baiat tersebut terjadi sebelum turunnya ayat (nisa’) Hal yang semisal juga ditemukan dalam Shahihain dari jalur Ash-Shanabahi dari Ubadah yang berkata, “Aku adalah salah seorang utusan yang membaiat Rasulullah.” Kemudian dia berkata, “Kami baiat Rasulullah untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”

Jelaslah bahwa hadits ini merupakan penggabungan dari dua baiat di atas, hanya saja maksudnya sebagaimana yang saya sebutkan yaitu, “Aku adalah salah seorang utusan yang membaiat pada malam Aqabah untuk melindungi dan mendukung beliau,”” serta yang berkaitan dengan perkataan tersebut. Kemudian dia berkata بَايَعْنَاهُ (kami membaiatnya), maksudnya pada lain waktu. Hal tersebut diisyaratkan oleh penggunaan “waw athifah” dalam kalimatnya, وَقَالَ بَايَعْنَاهُ (Dan dia berkata, “kami bai’at beliau…”).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 186 – Kitab Wudhu

Hendaknya anda mengembalikan riwayat yang mengindikasikan bahwa baiat tersebut terjadi pada malam Aqabah kepada ta’wil ini, karena kita tidak menemukan adanya pertentangan antara kedua hadits di atas, yaitu hadits Abu Hurairah dan hadits Ubadah bin Shamit. Dengan demikian tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa hudud memiliki kafarah. Yang patut untuk diketahui, Ubadah bin Shamit bukan satusatunya yang meriwayatkan makna tersebut, akan tetapi Ali bin Abi Thalib pun meriwayatkannya dalam riwayat At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Hakim, dalam riwayat tersebut terdapat kalimat, “barangsiapa yang melaksanakan dosa kemudian mendapatkan balasan di dunia, maka Allah Maha Mulia dan Pemurah untuk menjatuhkan hukuman tersebut kedua kalinya di akhirat.”

Kemudian dalam riwayat Ath-Thabrani dengan rangkaian sanad yang hasan dari hadits Abu Hamimah Al Jahimi dan riwayat Ahmad dari hadits Khuzaimah bin Tsabit dengan sanad hasan, “Barangsiapa yang berbuat dosa dan diberi hukuman (di dunia), maka hukuman tersebut merupakan kafarah baginya.” Kemudian dari Ath-Thabrani dari Ibnu Amru, “Seseorang yang diberi balasan atas dosanya berarti ia telah diberi oleh Allah kafarah terhadap dosa tersebut.”

فَعُوقِبَ (maka ia akan dihukum). Ibnu Tin berkata, “Maksud hukuman di sini adalah hukuman potong tangan dalam kasus pencurian dan hukuman cambuk atau rajam (dilempari batu) dalam kasus zina. Sedangkan dalam kasus membunuh anak kecil tidak terdapat hukuman yang pasti, akan tetapi dapat dianalogikan dengan membunuh jiwa.

Sebagaimana dalam riwayat Shanabahi dari Ubadah yang berkaitan dengan hadits ini, “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan yang haq” akan tetapi hukuman dalam hadits “fauuqiba bihi” bersifat umum dan tidak hanya terbatas pada hukuman had ataupun ta’zir. “Ini adalah pendapat Ibnu Tin.

Diriwayatkan dari Al Qadhi Ismail dan yang lainnya bahwa membunuh seorang pembunuh adalah tindakan preventif bagi orang lain. Sedangkan di akhirat nanti, tuntutan dari orang yang terbunuh akan tetap ada, karena ia belum mendapatkan haknya. Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa orang yang terbunuh telah mendapatkan haknya, lalu hak apalagi yang belum terpenuhi? Karena orang yang terbunuh secara zhalim, dosanya telah diampuni dengan pembunuhan tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat yang disahihkan oleh Ibnu Hibban dan yang lainnya, “Sesungguhnya pedang adalah penghapus kesalahan.”

Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “jika terjadi pembunuhan maka segala (dosanya) terhapus.” Dalam riwayat Al Bazzar dari Aisyah disebutkan secara marfu’, “seseorang yang terbunuh, maka akan dihapus dosanya. “Jika tidak karena terbunuh, maka dosanya itu tidak akan terhapus.

Kemudian jika hukuman had diberikan kepada pembunuh hanya untuk tujuan preventif saja, lalu mengapa pengampunan kepada pembunuh juga disyariatkan? Apakah termasuk dalam hukuman tersebut musibah dunia, seperti sakit dan lainnya? Dalam hal ini masih diperselisihkan. Karena Sabda Rasul, “Barangsiapa yang tertimpa sesuatu darinya kemudian Allah, menghapusnya” maka musibah tidak menghilangkan apa yang ditutup oleh Allah. Akan tetapi dalam banyak hadits disebutkan bahwa musibah dapat menghapus dosa, sehingga ada kemungkinan bahwa penghapusan di sini berlaku bagi dosa yang tidak memiliki had (hukuman).

Dari hadits tersebut dapat disimpulkan, bahwa pelaksanaan had (hukuman) dapat menghapus dosa walaupun tanpa disertai dengan taubat. Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama. Namun sebagian Tabi’in mengharuskan adanya taubat, demikian pula pendapat Mu’tazilah yang didukung oleh Ibnu Hazm. Mereka berargumen kepada pengecualian terhadap orang yang bertaubat dalam firman Allah, إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْل أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ maka jawabnya, bahwa yang dimaksud disini adalah hukuman dunia.

فَهُوَ إِلَى اللَّه (Maka perkaranya terserah kepada Allah). Al Muzani berpendapat bahwa kalimat ini mengandung bantahan kepada kaum Khawarij yang mengafirkan seseorang karena telah berbuat dosa dan juga bantahan kepada kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa orang fasik yang tidak bertaubat sebelum meninggal dunia, maka ia akan disiksa. Sebab Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hal itu di bawah kehendak Allah. At-Thibi berkata, “Kalimat tersebut mengindikasikan larangan untuk memvonis seseorang masuk neraka atau surga, kecuali ada nash khusus yang menunjukkan hal tersebut.”

إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ Jika Allah berhendak untuk menyiksanya maka Dia akan menyiksanya, dan jika berkehendak untuk mengampuni dosanya maka Dia akan mengampuninya) Menurut satu pendapat, kalimat tersebut mencakup orang yang bertaubat dan yang tidak. Sedangkan menurut jumhur ulama, kalimat tersebut tidak mencakup orang yang bertaubat. Oleh karena itu orang yang berbuat makar kepada Allah tidak akan merasa aman, karena ia tidak dapat mengetahui apakah taubatnya diterima atau tidak.

Ada yang berpendapat bahwa untuk mengetahui hal itu, dibedakan terlebih dahulu antara orang yang wajib diberi hukuman had dan yang tidak wajib. Kemudian mereka juga berbeda pendapat tentang orang yang wajib diberi hukuman had, ada yang berpendapat, bahwa ia dapat saja bertaubat secara sembunyi-sembunyi, dan itu sudah cukup baginya.

Sedangkan sebagian orang berpendapat bahwa ia harus menghadap seorang imam dan mengakui kesalahannya serta minta pelaksanaan had atas dirinya seperti yang dilakukan oleh Ma’iz dan Al-Ghamidiah. Selain itu ada juga sebagian ulama yang merincikannya, yaitu jika ia berbuat dosa secara terang-terangan, maka ia harus bertaubat secara terang-terangan pula, begitu pula sebaliknya.

Catatan
Dalam riwayat Shanabahi dari Ubadah ditambahkan lafazh, ‘jangan merampas,” dan ini yang menjadi dalil bahwa baiat tersebut tidak dilakukan pada saat itu, karena jihad belum menjadi suatu kewajiban pada waktu baiat Aqabah. Sedangkan yang dimaksud dengan merampas di sini adalah merampas harta setelah perang. Dalam riwayat tersebut juga ditambahkan lafazh, “jika kita melakukan semua itu maka kita akan masuk surga.”

Kemudian Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam bab wufudul Anshar (utusan Anshar) dari Qutaibah dari Laits dengan lafazh, وَلَا يَقْضِي Sebenarnya penulisan kata tersebut keliru, hanya saja beberapa orang telah menjadikannya sebagai sandaran dan mengatakan, “Secara zhahir riwayat tersebut melarang seseorang untuk menjadi qadhi. Akan tetapi, larangan tersebut dibatalkan dengan diangkatnya Ubadah radhiallahu anhu menjadi Qadhi di Palestina pada masa pemerintahan Umar. Ada yang berpendapat bahwa kata, “bil jannah” (dengan surga) berkaitan dengan keputusan atau pengadilan, artinya jangan mengadili manusia untuk masuk surga.” Cukuplah riwayat Muslim dari Qutaibah yang membuktikan kekeliruan tersebut, dan juga riwayat Al Ismaili dari Hasan bin Sufyan serta Abi Nu’aim dari Musa bin Harun yang keduanya berasal dari Qutaibah. Demikian pula hadits tersebut menurut Al Bukhari dalam kitab Ad-Diyaat dari Abdullah bin Yusuf dari Al-Laits dalam sebagian besar riwayat.

M Resky S