Hadits Shahih Al-Bukhari No. 26 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 26 – Kitab Iman ini, menjelaskan tentang keislaman yang disebabkan sikap menyerah atau takut dibunuh adalah keislaman yang tidak sebenarnya. Seseorang yang telah memperlihatkan keislamannya dapat disebut sebagai muslim meskipun tidak diketahui kondisi batinnya. Akan tetapi orang tersebut tidak bisa disebut sebagai orang mukmin menurut pengertian terminologi, meskipun dalam pengertian etimologi orang tersebut dapat dianggap sebagai orang yang beriman.  Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 141-145.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَامِرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى رَهْطًا وَسَعْدٌ جَالِسٌ فَتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا هُوَ أَعْجَبُهُمْ إِلَيَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ عَنْ فُلَانٍ فَوَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا فَسَكَتُّ قَلِيلًا ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِي فَقُلْتُ مَا لَكَ عَنْ فُلَانٍ فَوَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِي وَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا سَعْدُ إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِي النَّارِ وَرَوَاهُ يُونُسُ وَصَالِحٌ وَمَعْمَرٌ وَابْنُ أَخِي الزُّهْرِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Yaman] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Syu’aib] dari [Az Zuhri] berkata, telah mengabarkan kepadaku [‘Amir bin Sa’d bin Abu Waqash] dari [Sa’d], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan makanan kepada beberapa orang dan saat itu Sa’d sedang duduk. Tetapi Beliau tidak memberi makanan tersebut kepada seorang laki-laki, padahal orang tersebut yang paling berkesan bagiku diantara mereka yang ada, maka aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Wahai Rasulullah, bagaimana dengan si fulan? Sungguh aku melihat dia sebagai seorang mu’min.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membalas: “atau dia muslim?” Kemudian aku terdiam sejenak, dan aku terdorong untuk lebih memastikan apa yang dimaksud Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku ulangi ucapanku:

“Wahai Rasulullah, bagaimana dengan si fulan? Sungguh aku memandangnya sebagai seorang mu’min.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membalas: “atau dia muslim?” Lalu aku terdorong lagi untuk lebih memastikan apa yang dimaksudnya hingga aku ulangi lagi pertanyaanku.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Sa’d, sesungguhnya aku juga akan memberi kepada orang tersebut. Namun aku lebih suka memberi kepada yang lainnya dari pada memberi kepada dia, karena aku takut kalau Allah akan mencampakkannya ke neraka”. [Yunus], [Shalih], [Ma’mar] dan [keponakan Az Zuhri], telah meriwayatkan dari [Az Zuhri]

Keterangan Hadis: Kalimat “Jika keislaman bukan yang sebenarnya” mengindikasikan bahwa Islam -secara terminologi (istilah)- sama dengan pengertian iman, yang diridhai oleh Allah berdasarkan firman-Nya, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam “ dan firman-Nya, “Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri,” Sedangkan secara etimologi (bahasa), artinya adalah tunduk dan berserah diri.

Baca Juga:  Memahami Esensi Hadis Tentang Hijrah yang Sebenarnya

Adapun yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari di sini adalah pengertian secara terminologi. Korelasi antara hadits dengan judul bab di atas sangatlah jelas, karena seseorang yang telah memperlihatkan keislamannya dapat disebut sebagai muslim meskipun tidak diketahui kondisi batinnya.

Akan tetapi orang tersebut tidak bisa disebut sebagai orang mukmin menurut pengertian terminologi, meskipun dalam pengertian etimologi orangtersebut dapat dianggap sebagai orang yang beriman.

Sa’ad dalam hadits tersebut adalah putra Abi Waqqas (Sa’ad bin Abi Waqqash), sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Ismaili dalam riwayatnya.

أَعْطَى رَهْطًا (membagi-bagikan hadiah kepada beberapa orang) رَهْطًا adalah sekelompok orang yang berjumlah antara 3 sampai 10 orang. Al Qazzaz berkata, “Mungkin mereka lebih dari itu.” رَهْطًا juga dapat berarti bani atau kabilah. Dalam riwayat yang berasal dari Ibnu Abi Dzi’bi disebutkan bahwa sekelompok orang mendatangi dan memintaminta kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah memberi mereka, kecuali satu orang.

مَا لَك عَنْ فُلَان (Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan?), maksudnya mengapa engkau membedakannya dengan yang lain? Kata فُلَان berfungsi sebagai julukan nama yang disamarkan setelah disebutkan sebelumnya.

فَوَاَللَّهِ (demi Allah) adalah kalimat “sumpah” untuk menguatkan sebuah berita.

لَأَرَاهُ (Menurut hematku dia adalah…). Dalam riwayat kami dari Abu Dzarr, huruf “hamzah” ditulis dengan harakat dhammah seperti yang terdapat dalam riwayat Al Ismaili dan riwayat-riwayat lainnya.

Syaikh Muhyiddin berpendapat bahwa huruf hamzah dalam kalimat tersebut harus ditulis dengan harakat fathah sehingga menunjukkan arti a’lamuhu (saya mengetahuinya), dan tidak boleh ditulis dengan harakat dhammah karena hal tersebut akan menunjukkan arti “azhunnuhu” (saya mengira), padahal kalimat sebelumnya adalah غَلَبَنِي مَا أَعْلَم مِنْهُ (pengetahuanku tentang orang itu mendesakku..)

Dalam hadits tersebut, tidak ada satu indikasi pun yang mengharuskan harakat fathah. karena kata علم (pengetahuan) bisa digunakan untuk menunjukkan asumsi yang kuat (zhannul ghaalib), berdasarkan firman Allah, فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَات “maka jika kamu mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman.” (Qs. Al Mumtahanah (60): 10)

Meskipun kita menerima pendapat Syaikh Muhyiddin, akan tetapi jika premis sebuah ilmu pengetahuan bersifat zhanniyah (asumtif), maka ilmu pengetahuan tersebut sifatnya nazhari (teoritis), bukan yakini (pasti). Hal semacam itu dapat kita terapkan dalam kasus ini. Pendapat inilah yang dianut oleh pengarang kitab Al Mufham fi Syarhi Muslim dengan mengatakan, “Riwayat tersebut ditulis dengan harakat dhammah. Kesimpulannya bahwa sumpah diperbolehkan meskipun hanya didasari asumsi yang kuat, karena Rasulullah tidak pernah melarang Sa’ad untuk melakukannya.”

فَقَالَ : أَوْ مُسْلِمًا (Nabi menjawab, “Atau seorang muslim.”) Dalam riwayat Ibnu Arabi disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jangan katakan mukmin tapi katakanlah muslim.” Dari perkataan tersebut jelaslah bahwa arti kata “au” adalah untuk menunjukkan pengelompokkan. Maka ungkapan tersebut bukan untuk mengingkari, tetapi untuk menjelaskan bahwa memanggil seseorang yang tidak diketahui apa yang ada dalam hatinya dengan sebutan “muslim ” adalah lebih baik daripada memanggilnya dengan sebutan “mukmin. ” Karena, Islam dapat diketahui dengan perbuatan zhahir. Itulah yang disampaikan secara ringkas oleh Syaikh Muhyiddin.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 560 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Tapi Al Karmani mengkritiknya dengan mengatakan, bahwa jika demikian maka isi hadits tersebut tidak sesuai dengan judul bab, dan jawaban Rasulullah kepada Sa’ad tidak bermanfaat. Kritikan ini tidak dapat diterima, karena kita telah menjelaskan tentang titik temu antara hadits dan judul bab tersebut.

Dalam kisah ini Rasulullah membagi-bagikan hadiah kepada orang yang baru memeluk Islam (muallaf) untuk menarik hati mereka. Ketika Rasulullah membagi-bagikan hadiah tersebut, beliau tidak memberikannya kepada Ja’il yang berasal dari golongan muhajirin. Lalu Sa’ad bertanya kepada Rasulullah tentang Ja’il, karena berdasarkan pengetahuannya Ja’il lebih berhak untuk menerima hadiah tersebut. Maka, Sa’ad pun berulang kali menanyakan hal itu kepada Rasulullah.

Kemudian Rasulullah memberitahukan kepada Sa’ad tentang dua perkara, Pertama adalah hikmah Rasulullah memberikan hadiah kepada kelompok tersebut dan tidak memberikannya kepada Ja’il, padahal ia lebih disukai oleh Nabi daripada mereka. Sebab jika Rasulullah tidak memberikan hadiah kepada mereka, maka dikhawatirkan mereka akan murtad sehingga menjadi penghuni neraka. Kedua, Rasulullah menasihati Sa’ad agar tidak memuji seseorang dengan menilai batinnya.

Dengan demikian, kita mengetahui manfaat jawaban Rasulullah kepada Sa’ad yang lebih merupakan musyawarah (meminta pertimbangan) atau pemberian maaf kepadanya. Jika ada pertanyaan, “Mengapa kesaksian Sa’ad atas keimanan Ja’il tidak diterima, tetapi jika ia bersaksi dengan keadilan Ja’il pasti diterima. Padahal, keadilan itu dapat menunjukkan keimanan seseorang?” Jawabnya adalah bahwa perkataan Sa’ad itu tidak termasuk syahadah (kesaksian) tetapi hanya merupakan pujian kepada Ja’il dan sebagai permohonan Sa’ad agar Rasulullah memberikan hadiah kepada Ja’il, meskipun Saad menggunakan kata syahadah, akan tetapi memberikan suatu anjuran untuk melakukan hal yang lebih baik tidak berarti menolak kesaksiannya. Bahkan bila dilihat dari konteksnya, Rasulullah menerima perkataan Sa’ad dengan bukti bahwa beliau memberi maaf kepada Sa’ad. Kami telah meriwayatkan dalam Musnad Muhammad bin Harun Ar-Rayani dengan sanad yang shahih dari Abu Salim Al Jaisyani dari Abu Dzarr, bahwa Rasulullah bertanya kepadanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Ja’il?” Aku menjawab, “Seperti muhajirin lainnya.” Kemudian Rasulullah bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang si fulan?” Aku pun menjawab, “Dia adalah pemimpin suatu kaum.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Jika demikian, maka Ja’il lebih baik dari si fulan.” Lalu aku bertanya kepadanya, “Jika demikian, mengapa engkau memperlakukan si fulan seperti itu?” Rasulullah menjawab, “Ia adalah pemimpin sukunya, dan dengan perbuatanku itu aku dapat menarik hati kaumnya.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 65 – Kitab Ilmu

Demikianlah kedudukan Ja’il sebagaimana dijelaskan oleh hadits tersebut, maka jelaslah hikmah tindakan Rasulullah yang tidak memberikan hadiah kepada Ja’il dan memberikan kepada yang lain. Hikmah tersebut adalah untuk menarik hati mereka sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Pelajaran penting yang dapat diambil

  1. Perintah untuk membedakan antara esensi Iman dan Islam.
  2. Larangan untuk mengklaim bahwa seseorang memiliki iman yang sempurna, padahal tidak ada nash yang menjelaskan hal tersebut.
  3. Sedangkan larangan untuk mengklaim bahwa seseorang akan masuksurga tidak disebutkan secara eksplisit dalam hadits ini, walaupun ada beberapa ulama yang berusaha menjelaskannya.
  4. Bantahan terhadap kelompok Murji’ah yang berpendapat bahwa iman cukup dengan ucapan lisan saja.
  5. Seorang imam (pemimpin) boleh membelanjakan kekayaan negaranya dan memprioritaskan mana yang lebih penting, walaupun tidak diketahui oleh sebagian rakyatnya.
  6. Seorang imam dibolehkan untuk memberikan pertolongan kepada orang yang berhak menerimanya.
  7. Rakyat boleh memberikan nasehat kepada imam jika melakukan kesalahan.
  8. Menasehati secara diam-diam lebih baik daripada menasehati secara terang-terangan, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bab zakat yaitu kalimat “fa qumtu iiaihi fasaarartu” (kemudian aku pun bangkit dan membisikinya). Bahkan, harus dilakukan secara diamdiam, jika secara terang-terangan akan membawa kehancuran.
  9. Apabila seorang imam diberi saran yang menurutnya tidak benar,hendaknya tidak langsung membantahnya, tetapi menerangkan yang benar.

إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُل (Sesungguhnya aku akan memberi orang itu) Maksudnya memberi apa saja. أَعْجَب إِلَيَّ (hal tersebut sangat menarik perhatianku).

Dalam riwayat Al Kasymihani dan mayoritas riwayat lainnya telah disebutkan, bahwa lafazhnya adalah أَحَبّ (lebih disukai). Dalam riwayat Al Ismaili, setelah kata أَحَبّ adalah kalimat وَمَا أُعْطِيه إِلَّا مَخَافَة أَنْ يَكُبّهُ اللَّه (Aku tidak memberinya karena takut Allah akan melemparkannya….)

Dalam riwayat Abu Daud dari Ma’mar, “Aku memberikan hadiah kepada beberapa orang dan tidak memberikannya kepada orang yang aku sukai, karena aku takut Allah akan melemparkan mereka ke dalam neraka.”

Tidak adanya pengulangan soal dan jawabannya, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Wahab dan Rasyid bin Sa’ad, dari Yunus dan Az- Zuhri dengan sanad yang berbeda dari Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf dari Ayahnya yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim adalah kesalahan dari seorang perawinya yaitu Al Walid bin Muslim ketika menukil hadits tersebut.

M Resky S