Hadits Shahih Al-Bukhari No. 582 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 582 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Adzannya Orang Buta Apabila Ada Yang Memberitahukan Kepadanya” Hadis dari Salim bin Abdullah ini menceritakan bahwa Bilal adzan pada waktu malam, maka Nabi saw memerintahkan sahabatnya untuk makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 65-70.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ثُمَّ قَالَ وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Maslamah] dari [Malik] dari [Ibnu Syihab] dari [Salim bin ‘Abdullah] dari [Bapaknya], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan saat masih malam, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.” Perawi berkata, “Ibnu Ummui Maktum adalah seorang sahabat yang buta, ia tidak akan mengumandangkan adzan (shubuh) hingga ada orang yang mengatakan kepadanya, ‘Sudah shubuh, sudah shubuh’.”

Keterangan Hadis: (Bab adzannya orang buta) Yakni mengenai kebolehannya.

(Apabila ada yang memberitahukan kepadanya). Yakni tentang masuknya waktu shalat adalah waktu shalat, karena pada dasamya untuk mengetahui masuknya waktu berdasarkan penglihatan. Berdasarkan konteks batasan ini dipahami riwayat yang dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Al Mundzir dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Zubair serta selain keduanya, bahwa mereka tidak menyukai muadzdzin yang buta Adapun keterangan yang dinukil oleh Imam An-Nawawi dari Abu Hanifah dan Daud bahwa adzan orang yang buta adalah tidak sah, telah ditanggapi oleh As-Sarwaji bahwa hal itu merupakan kekeliruan dalam menukil pendapat Abu Hanifah. Hanya saja dalam kitab Al Muhith -yang merupakan kitab dalam madzhab Hanafi- dinyatakan bahwa adzan yang dilakukan orang buta hukumnya makruh (tidak disukai).

إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ (Sesungguhnya Bilal adzan di waktu malam). Hal ini memberi asumsi bahwa yang demikian itu merupakan kebiasaan yang terus dilakukannya. Namun sebagian ulama menyatakan bahwa permulaan hal itu berdasarkan ijtihadnya semata Akan tetapi meski pernyataan ini benar, namun Rasulullah SAW telah menyetujuinya, maim kedudukannya sama seperti perbuatan yang diperintah langsung oleh beliau SAW. Mengenai penentuan waktu dimana Bilal melakukan adzan akan disebutkan setelah satu bab kemudian.

فَكُلُوا (maka makanlah kalian). Hal ini memberi keterangan bahwa adzan menurut kebiasaan mereka adalah pertanda masuknya waktu shalat. Oleh sebab itu, Nabi SAW menjelaskan kepada mereka bahwa adzan Bilal tidak demikian.

اِبْن أُمّ مَكْتُوم (Ibnu Ummi Maktum). Namanya adalah Amr seperti yang akan disebutkan melalui sanad maushul dalam kitab tentang Shiyam (puasa) dan Fadha’il Al Qur’an (Keutamaan-keutamaan Al Qur’an). Ada pula yang mengatakan bahwa namanya adalah Al Hushain, kemudian diganti oleh Rasulullah SAW dengan nama Abdullah. Bukan hal yang mustahil apabila ia memiliki dua nama Dia orang Quraisy dari marga Amiri, dan masuk Islam sejak awal, nama bapaknya adalah Qais bin Za’idah.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 178 – Kitab Wudhu

Nabi SAW sangat menghargainya dan mengangkat sebagai wakilnya di Madinah apabila beliau keluar dalam suatu perjalanan. Ibnu Ummi Maktum turut serta dalam peperangan Al Qadisiyah pada masa pemerintahan Umar, dimana beliau mati syahid dalam pertempuran itu. Namun versi lain mengatakan bahwa ia sempat kembali ke Madinah dan meninggal di sana Ibnu Ummi Maktum inilah orang buta yang disinggung dalam surah ‘Abasa. Nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah Al Makhzumiyah.

Sebagian ulama mengatakan Ibnu Ummi Maktum dilahirkan dalam keadaan buta. Oleh sebab itu ibunya memberi julukan Ummu Maktum (Yang tertutup), karena tertutupnya pandangan matanya. Tapi yang terkenal bahwa beliau buta dua tahun setelah perang Badar.[1]

وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى (dan beliau adalah seorang laki-laki buta). Secara lahiriah yang mengucapkan kalimat ini adalah Ibnu Umar. Inilah yang ditetapkan oleh Syaikh Muwaffiq dalam kitabnya Al Mughni. Akan tetapi Al Ismaili meriwayatkan dari Abu Khalifah, dan diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dari Yazid bin Sinan, keduanya meriwayatkan dari Al Qa’nabi bahwa yang mengucapkan kalimat itu adalah Ibnu Syihab. Demikian pula halnya dengan Ismail bin Ishaq, Mu’adz bin Al Mutsanna serta Abu Muslim. Diriwayatkan juga dari Al Khuza’i seperti dikutip oleh Abu Syaikh Tammam yang dikutip oleh Abu Nu’aim, serta Utsman Ad-Daari yang dikutip oleh Al Baihaqi. Semuanya menukil dari Al Qa’nabi.

Berdasarkan hal ini maka dalam riwayat Imam Bukhari terdapat kalimat yang berasal dari perawi yang disisipkannya kedalam hadits (mudraj). Tapi pernyataan ini dijawab bahwa bukan hal yang mustahil apabila Ibnu Syihab mengucapkan kalimat itu, begitu juga gurunya dan gurunya lagi (guru dari gurunya). Al Baihaqi meriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dari Ibnu Wahab, dari Yunus dan Al-Laits, semuanya menukil dari Ibnu Syihab, dimana dikatakan, “Salim berkata, “Beliau adalah seorang laki-laki yang buta’ .” Riwayat ini memberi keterangan bahwa guru Ibnu Syihab juga mengucapkan kalimat tersebut. Kemudian Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab tentang Shiyam (puasa) melalui jalur lain dari Ibnu Umar berupa keterangan yang semakna, dan lafazhnya akan kami sebutkan. Dengan demikian, terbukti ucapan itu memiliki sanad yang maushul.

Ibnu Syihab dalam hadits ini memiliki syaikh (guru) yang lain sebagaimana dikutip oleh Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Al Musayyab. Ibnu Abdul Barr berkata, “Ini adalah hadits lain dari Ibnu Syihab. Disamping Ma’mar, riwayat tersebut telah dinukil pula oleh Ibnu Ishaq dari Ibnu Syihab.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 161 – Kitab Wudhu

أَصْبَحْت أَصْبَحْت (Engkau telah Subuh…engkau telah Subuh) Maksudnya engkau telah memasuki waktu Subuh, demikian makna lahiriahnya. Namun hal ini dipertanyakan karena adzan beiiau telah dijadikan batas bolehnya makan (sahur). Apabila dia tidak adzan kecuali setelah masuk waktu Subuh, maka konsekuensinya boleh makan (sahur) setelah terbit fajar. Sementara ijma’ (konsensus) ulama menyatakan sebaliknya, kecuali yang menyalahi pendapat umum seperti Al A’masy.

Lalu persoalan ini dijelaskan oleh Ibnu Habib, Ibnu Abdul Barr serta Al Ashili dan sejumlah ulama lainnya, bahwa yang dimaksud adalah engkau telah rnendekati masuknya waktu Subuh. Tapi jawaban ini digugat oleh riwayat Ar-Rabi’ yang telah kami sitir, “Dia tidak adzan hingga manusia mengatakan kepadanya ketika melihat fajar terbit, ‘Adzanlah…’.”Lebih tegas lagi bahwasanya dalam riwayat Imam Bukhari yang beliau sebutkan di kitab Shiyam (puasa) berbunyi, حَتَّى يُؤَذِّنَ اِبْنُ أُمّ مَكْتُوم ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ (Hingga Ibnu Ummi Maktum adzan, karena sesungguhnya ia tidak adzan hingga terbit fajar). Saya katakan bahwa riwayat ini lebih tegas, karena semuanya berasal dari perkataan Nabi SAW .

Di samping itu, perkataannya, إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ (Sesungguhnya Bilal adzan di waktu malam), memberi asumsi bahwa adzan Ibnu Ummi Maktum adalah sebaliknya. Apabila adzan Ibnu Ummi Maktum dilakukan sebelum masuk waktu Subuh, maka tidak ada bedanya dengan adzan Bilal, dimana keduanya sama-sama dapat dikatakan dilakukan sebelum masuk waktu shalat. Persoalan ini menurut saya merupakan masalah yang rumit.

Adapun penjelasan yang lebih memungkinkan diterima dalam masalah ini adalah sesungguhnya adzan Ibnu Umi Maktum dijadikan tanda (batas) dilarangnya makan dan minum, dan seakan-akan di sana ada orang yang memperhatikan waktu dengan baik, dimana adzan beliau bertepatan dengan terbitnya fajar. Ketika ia adzan maka fajar pun telah menyingsing. Sehingga menurut saya, bahwa perkataan “Engkau telah Subuh” yakni mendekati waktu Subuh, tidak berkonsekuensi bahwa adzan dilakukan sebelum fajar, karena adanya kemungkinan perkataan itu mereka ucapkan pada akhir malam, lalu adzan beliau dilakukan pada waktu awal terbitnya fajar. Hal . ini meskipun tidak masuk akal menurut kebiasaan, namun tidaklah mustahil bagi muadzdzin Rasulullah yang ditopang oleh para malaikat.

Abu Qurrah telah meriwayatkan satu hadits dari Ibnu Umar melalui jalur yang lain dengan lafazh, وَكَانَ اِبْن أُمّ مَكْتُوم يَتَوَخَّى الْفَجْر فَلَا يُخْطِئُهُ (Ibnu Ummi Maktum sangat memperhatikan terbitnya fajar agar tidak terjadi kesalahan).

Pelajaran yang dapat diambil: Dalam hadits ini terdapat beberapa faidah yang dapat dipetik, di antaranya:

Baca Juga:  Macam-macam Kitab Arbain dan Keistimewaan Kitab Hadis Arbain Nawawi

1. Bolehnya adzan sebelum terbit fajar, dan masalah ini akan dibahas setelah bab berikutnya

2. Dianjurkan adzan secara bergantian (setelah yang satu selesai baru yang lainnya memulai adzan), karena sebagian ada yang tidak membolehkan adzan secara bersamaan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakannya adalah Bani Umayah. Sementara Imam Syafi’i berkata, “Hal itu tidaklah makruh selama tidak menimbulkan dampak negatif”

3. Hadits ini dijadikan dalil bolehnya menunjuk beberapa orang muadzdzin dalam satu masjid. Sehubungan dengan ini Ibnu Daqiq Al Id berkata, “Apabila lebih dari dua muadzdzin, maka tidak ada dalam hadits keterangan mengenai hal itu.” Namun Imam Syafi’i memberi pernyataan secara tekstual bahwa hal itu dibolehkan. Adapun lafazhnya, “Bukan masalah yang menyulitkan[2] apabila yang melakukan adzan lebih dari dua orang.

4. Orang yang buta boleh mengikuti orang yang melihat dalam memastikan masuknya waktu shalat dengan berbagai faktor, hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam memastikan faktor yang paling menentukan. Imam An-Nawawi membenarkan dalam kitabnya bahwa orang yang buta dan orang yang melihat boleh berpedoman pada muadzdzin yang tsiqah (terpercaya) dalam menentukan masuknya waktu shalat.

5. Orang buta boleh menjadi saksi. Pembahasan lebih mendalam akan dijelaskan pada kitab syahadat (persaksian).

6. Bolehnya mengamalkan khabar ahad.

7. Waktu setelah terbit fajar masuk dalam kategori siang.

8. Boleh makan meskipun ragu apakah fajar telah terbit atau belum, karena hukum asalnya adalah masih berlangsungnya waktu malam. Namun Imam Malik menyalahi pandangan tersebut, dia berkata, “Orang yang makan pada kondisi demikian wajib mengganti puasanya.”

9. Perawi boleh menjadikan suara sebagai patokan dalam menukil riwayat apabila suara tersebut telah dikenalnya dengan baik, meskipun pemilik suara tidak terlihat olehnya. Namun Syu’bah tidak sependapat dengan ini, karena suara bisa saja sama.

10. Boleh menyebutkan cacat pada diri seseorang dengan maksud mengenalkannya atau dengan maksud yang sepertinya.

11. Boleh menisbatkan seseorang kepada ibunya, apabila ia masyhur dengan nama tersebut.


[1] Pernyataan ini kurang tepat, karena makna lahiriah ayat Al Qur’an menunjukkan beliau buta sebelum hijrah; clan juga karena surah ‘Abasa turun di Makkah, sementara dalam surah ini Allah SWT telah menyebut dirinya sebagai orang buta.

[2] Dalam salah satu naskah tertulis, “Bukanlah perkara yang berbahaya….”

M Resky S