Islam Sebagai Agama Pembaruan: Study Kasus Status Perempuan

Islam Sebagai Agama Pembaruan: Study Kasus Status Perempuan

Pecihitam.Org – Salah satu contoh Islam sebagai agama pembaruan adalah bagaimana pembaruan Islam terhadap status perempuan. Untuk memahami itu, perlu lebih dahulu diketahui bagaimana masyarakat Arab sebelum Islam memperlakukan perempuan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Secara sosiologis, masyarakat Arab pra-Islam dibagi jadi dua kelompok besar, yakni:

  • Masyarakat berperadaban (al ‘Arab al Mutahâdirah) à masyarakat meden (menetap) dan telah mengalami penetrasi, urban dan berprofesi pedagang.
  • Masyarakat primitif atau Badui (al ‘Arab al Badwah) à masyarakat yang hidup berpindah-pindah untuk mencari rumput bagi makanan binatang ternak mereka, tinggal di pedalaman, terisolir dari peradaban dan unsur asing, berprofesi peternak.

Ciri Arab Pra-Islam (al-Mutahâdirah dan al-Badwah) adalah masyarakat kobilah/ kesukuan (Al ‘Asabiyah), mulai dari tingkat:

  1. Al butun (keluarga kecil; bapak, ibu dan anak-anak),
  2. Al A‘ilah (keluarga; extended family),
  3. Asy Syirah (marga), kemudian
  4. Qabilah (suku; kumpulan dari beberapa marga).

Kesukuaan ini bersifat primordialis, eksklusif dan paternalistic atau hirarkis. Maka secara politik: muncul masyarakat kabilah, dimana suku atau kelompok sebagai identitas individu dan kelompok.

Dasar pengelompokan sosial adalah hirarkis dan patriarchal. Hirarkis adalah bahwa orang terhormat adalah bangsawan, hartawan dan dermawan. Sedangkan Patriarchal adalah cara pandang bahwa garis keturunan ayah (laki-laki) mempunyai posisi lebih dominan dan diunggulkan, sekaligus menempatkan perempuan pada posisi rendah.

Adapun struktur sosial adalah:

  1. Strata sosial, terdiri dari:
    • Kelas elit (bangsawan) senasab dan sesuku dengan kepala suku
    • Budak yang sudah merdeka (mawali) dan sho‘alik (suaka Politik, karena diusir dari suku aslinya)
    • Hamba sahaja (Abid atau budak)
  2. Struktur sosial berdasarkan parental dan paternalistic
Baca Juga:  Baru Dapat Satu Rakaat, Dengar Adzan Masuk Waktu Shalat Lain, Bagaimana?

Aspek agama/ teologi: heterogen dan pluralis; Yahudi, Majusi, penyembah matahari, bulan, bintang (politeis). Di sisi lain ada zindik dan al-dahriyah. Namun ada juga kelomp kecil yg bukan penganut salah satu agama tersebut, malah mendambakan agama baru disebut hanafiyah.

Kelompok lemah dalam masa Arab pra-Islam adalah: pertama adalah Perempuan, Maka perhatian tentang perempuan oleh Islam (Al Qur’an) untuk ditingkatkan dan diangkat statusnya sejajar dengan laki-laki. Kedua Budak, Maka masalah budak menjadi perhatian Islam (Al Qur’an) untuk dimerdekakan, bukan untuk dilanggengkan.

Aspek ekonomi ada beberapa hal perlu dicatat. Mata pencaharaian: (1) perdagangan (masyarakat kota), (2) industri (Yahudi + Nasrani), (3) peternakan/gembala (badui), dan (4) tani (Yahudi). Perdagangan jadi sumber pencaharian masyarakat kota (Makkah) yang biasanya adalah elit borjuis Quraish, sebab secara geografis mereka diuntungkan, yakni Makkah sebagai pusat kota dagang dan tempat transit para pelaku bisnis.

Kelompok lain: (1) Borjuis/pedagang, (2) Penggembala, dan (3) pekerja. Demikianlah kondisi masyarakat Arab sebelum Islam dari sisi struktur sosial, ekonomi, mata pencaharian, agama/teologi/kepercayaan, hubungan laki-laki dan perempuan, hubungan kelompok elit dengan kelompok lemah. Pertanyaannya adalah bagaimana ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw.

Baca Juga:  Beginilah Pendapat Para Ahli Terkait Teori dan Filosofi Hukum Islam

Islam datang membawa sistem sosial yang mensejajarkan (garis) laki-laki dan perempuan (egaliter). Adapun bukti/Indikator Islam membawa sistem sosial yang egaliter:

  1. Islam membangun keluarga bilateral (lihat QS. An Nisa‘: 23-24 tentang perempuan yang haram dinikahi, yang ternyata menganut prinsip perkawinan indogami, boleh menikah dengan saudara sepupu dan ini merupakan ciri masyarakat bilateral dimana laki-laki sejajar dengan perempuan, dan An Nisa’ (4): 7, 11 dan 12 tentang warisan, dimana Islam memberikan hak waris bagi perempuan dan laki-laki)
  2. Prinsip perkawinan dalam Islam adalah monogomi
  3. Perempuan dalam Islam mempunyai hak cerai (khulu’), berarti equal dengan laki-laki
  4. Balasan amal yang diberikan kepada laki-laki sama dengan yang diberikan kepada perempuan.

Dengan demikian, secara singkat dan untuk mempertegas bahwa Islam memposisikan perempuan setara (equal) dengan posisi laki-laki. Ini berarti Islam memperbarui posisi yang ada di masyarakat Arab sebelum Islam. Masyarakat Arab sebelum Islam mendeskriminasi perempuan sementara Islam memposiskan sejajar antara laki-laki dan perempuan.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana posisi perempuan sekarang dalam kehidupan masyarakat dibandingkan dengan posisi laki-laki. Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat dikatakan bahwa posisi perempuan sekarang dalam kehidupan masyarakat adalah termarginalkan oleh laki-laki.

Dengan ungkapan lain, sistem sosial yang ada sekarang kembali mengutamakan (garis) laki-laki dan menomorduakan perempuan. Adapun indikasinya adalah:

  1. Adanya subordinasi (merendahkan posisi perempuan)
  2. Adanya usaha marginalisasi (pemiskinan perempuan, dengan membatasi kesempatan bekerja bagi perempuan)
  3. Adanya streotipe (label negative kepada perempuan dengan misalnya mengatakan perempuan bersifat emosional)
  4. Adanya violence (tindakan kekerasan kepada perempuan)
  5. Adanya double burden (tugas ganda yang ditanggung perempuan).
Baca Juga:  Benarkah Semua Sesajen dalam Pandangan Islam Syirik?

Mengapa posisi perempuan termarginalkan oleh posisi laki-laki, yang berarti kembali lagi ke situasi Arab sebelum Islam. Menurut analisis sejumlah ilmuwan/ pemikir adalah akibat dari:

  1. Kurang paham sejarah Arab pra-Islam
  2. Studi Islam juz‘i
  3. Belum sadar penting kelompok nash normative-universal dan nash praktis-temporal
  4. Ada nash terkesan memarginalkan perempuan
  5. Budaya lokal merasuk ke Islam
  6. Dominasi teologi/budaya laki-laki & struktur masyarakat patriarchal
  7. Kajian Islam murni pendekatan agama
  8. Generalisasi dari kasus khusus (istithna’)
  9. Campuraduk antara substansi hukum dengan cara / metode
  10. Kajian Islam literalis dan ahistori 11. Subjektivikasi Islam 12. Peran penguasa atau kekuasaan.

Adapun jalan keluar untuk mengembalikan posisi perempuan sejajar dengan laki-laki adalah dengan menjadikan ajaran Islam sebagai agama pembaruan, di samping perlu adanya kesadaran terhadap alasan di atas, dalam studi Islam seharusnya menggunakan pendekatan integrative-normatif, interdisipliner, dan menggunakan bantuan ilmu-ilmu sosial-humaniora, seperti sosiologi, histori, antropologi, psikologi dan lain-lain.

Mochamad Ari Irawan