Istidraj Adalah Sebuah Niqmah Bukan Nikmat, Benarkah?

Istidraj Adalah Sebuah Niqmah Bukan Nikmat, Benarkah?

Pecihitam.org – Memaknai Istilah Istidraj akan lebih mudah dipahami jika digambarkan sebagai berikut, Istidraj adalah jikalau ada seseorang yang selalu dapat nikmat Allah tiada henti-hentinya, hari ini dapat uang dengan nominal fantastis menurut ukurannya, besok dapat lagi nikmat yang lain, lusa dapat lagi, besoknya lagi dapat lagi, begitu seterusnya. Ia selalu dapat apa saja yang ia inginkan dengan gampang dan mudah, tanpa bersusah-susah. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun ia begitu mudahnya mendapatkan segala apa yang ia inginkan. Bagaikan membalikkan telapak tangannya. Harta ia kumpulkan dengan tanpa terlalu berkeringat. Hasilnya pun fantastis, dan bikin orang lain berdecak kagum bukan main, melimpah ruah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Jika ada di antara kita, saat ini bergelimang banyak harta dan kemewahan atau meraih tahta dan menduduki jabatan bergengsi, jangan buru-buru mengucapkan Alhamdulilah, sebagai ungkapan syukur. Melainkan hendaknya, ia berkaca diri dan intropeksi.

Sebab, apabila semua itu didapat dari korupsi, suap atau cara-cara haram lainnya, semua kemewahan dunia dan jabatan yang nyaman itu bukanlah ni’mah (nikmat) yang harus disyukuri, melainkan justru merupakan niqmah (malapetaka) yang mesti diwaspadai. Dalam terminologi syar’i (Islam) hal ini disebut dengan istidraj.

Sebagaimana telah disampaikan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin ‘Aamir RA, “Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah istidraj“.

Baca Juga:  Mengenal Qasidah Man Ana Karya Habib Umar Muhdhor bin Abdurrahman Assegaf

Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat 44 dari QS Al An’aam [6], yang artinya “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (HR Ahmad no. 17349 dan dishahihkan Al Albani di As Silsilah Ash Shahihah no. 414).

Hadits dan ayat di atas menggariskan sunnatullah dalam kehidupan pendosa dan pelaku maksiat. Terkadang Allah SWT membukakan beragam pintu rizki dan pintu kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak aspek kehidupan seperti termaktub dalam redaksi ayat di atas, “Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka”. Bisa berbentuk kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, kesehatan, kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Benarkah Imam Asy-Syafi'i Mencela Sufi Sebagaimana Tuduhan Para Salafi Wahabi?

Ini merupakan istidraj (mengulur-ulur) dan imlaa’ (penangguhan) dari Allah bagi mereka sebagaimana firman Allah, “Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh” (QS Al Qalam [68]: 44-45).

Jadi, ketika seseorang yang tidak melaksanakan kewajiban sebagai umat Islam seperti shalat, puasa Ramadhan, zakat, haji, serta hidupnya dalam kubangan maksiat, namun hidupnya makmur, sejahtera dan bergelimang harta, ini adalah istidraj.

Jadi tidak usah kaget dan heran, kalau ada orang misalnya kaya mendadak, lalu pada saat yang lain tiba-tiba jatuh dan bangkrut bahkan miskin mendadak. Semua nikmat yang asal mulanya Allah kasih dengan mudahnya dengan cara yang tidak baik dan tidak halal, lalu ia jatuh (miskin) mendadak bahkan lebih parah dari sebelumnya. Itulah cara Allah, mengingatkan hamba-Nya. Begitu bahayanya istidraj, sampai-sampai Umar bin Khaththab ra pernah berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan)” (Al Umm, Imam Sayfi’i, IV/157). Maka, berhati-hatilah terhadap istidraj, karena istidraj adalah kenikmatan yang membinasakan. Na’udzbillahi min dzalik.

Mochamad Ari Irawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *