Gerakan Kaum Sufi dalam Melawan Penjajah Kolonial

Gerakan Kaum Sufi dalam Melawan Penjajah Kolonial

Pecihitam.org – Jika ada yang mengatakan kaum sufi pekerjaannya hanya memutar tasbih dan wiridan saja, maka anggapan itu salah. kaum sufi juga layaknya manusia pada umumnya, bekerja mencari nafkah, bersosial, berpolitiik, bahkan juga mengangkat senjata jika diperlukan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagai sebuah jejaring sosial yang mampu menjangkau wilayah yang begitu luas, pada masa kolonial dulu, para sufi tarekat pun tercatat tampil sebagai sebuah gerakan perlawanan untuk memerangi penjajah.

Sejarah mencatat, sejumlah gerakan perlawanan besar yang dilakukan para tokoh sufi dan pengikutnya di Nusantara terhadap penjajah kolonial kala itu.

Menurut Prof Azyumardi Azra dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, respons Muslim Nusantara terhadap penjajah Belanda terbagi menjadi dua. Ada yang melakukan perlawanan secara terbuka dan ada pula yang melakukan perlawanan secara diam-diam,” tutur Azyumardi.

Para kaum sufi dan pengikutnya yang melakukan perlawanan secara diam melakukan ‘uzlah’ atau menjauhkan diri dari penguasa kolonialis kafir. Uzlah mereka itulah yang kemudian telah mendorong terjadinya radikalisasi tarekat dan tasawuf dimana-mana.

Misalnya gerakan Reformis Paderi di Minangkabau yang kemudian menjadi perang anti-kolonialisme, salah satunya dimotori tarekat tasawuf yang berkembang waktu itu.

Baca Juga:  Puasa dalam Kacamata Tasawuf - Perjalanan dari Ana Menuju Anta

Menurut Azyumardi, sepanjang abad ke-19 gerakan kaum sufi terus mendapatkan momentum. Peran mereka dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan juga tampak menonjol dalam Perang Diponegoro (1825-1830).

Dalam pertempuran itu, Pangeran Diponegoro disokong para kiai, haji dan kalangan pesantren. Dalam perjuangan yang dilakukan Pangeran Diponegoro, Kyai Maja pun tampil sebagai panglima dalam perang tersebut.

Untuk menarik dukungan dari ulama, Kyai pondok pesantren, dan pengikut tarekat, Pangeran Diponegoro menyebut pemberontakannya sebagai perang suci atau perang sabil.

Tak heran, jika kemudian para kaum sufi dan umat Islam lainnya, saat itu meyakini pemberontakan Diponegoro itu sebagai perang suci untuk mengembalikan pemerintahan Islam di Jawa. Perang itu pun digaungkan Diponegero untuk mengusir penjajah kolonial Belanda yang kafir dari tanah Jawa.

Menurut Martin van Bruinessen dalam, ‘Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akhirat?’, juga mengungkapkan peran dan perjuangan para kaum sufi dalam melawan penjajah Belanda.

Hal ini terlihat salah satunya dalam Perang Menteng yaitu perlawanan Tarekat Sammaniyah di Palembang yang berhasil mengalahkan gempuran pertama pasukan Belanda pada 1819.

Seorang penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan atau haji mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir dan beratib dengan suara keras sampai ‘fana’.

Baca Juga:  Praktek Ekonomi Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin yang Bisa Diteladani

Dalam keadaan tak sadar (‘mabuk zikir’) mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan keberanian mereka berhasil membuat Belanda kalah kocar-kacir.

Menurut Bruinessen, tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari Tanah Suci oleh murid-murid Abdussamad al-Palimbani pada pengujung abad ke-18.

Syekh Abdussamad dikenal terutama sebagai pengarang Sair As Salikin dan Hidayat As Salikin, dua karya sastra tasawwuf Melayu yang penting. Dua karya ini berdasarkan kitab Ihya Ulumiddin dan Bidayatul Hidayah karya Imam al Ghazali, dengan tambahan bahan dari berbagai kitab tasawwuf lainnya.

Menurut Bruinessen, Syekh Abdussamad adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan. Tidak mengherankan jika murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik.

“Meski begitu, Syekh Abdussamad bukanlah ahli tarekat Nusantara pertama yang bersemangat jihad melawan penjajah non-Muslim,” tutur Bruinessen.

Satu abad sebelum Tarekat Sammaniyah yang dipimpin Syekh Abdussamad melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Syekh Yusuf al Makassari yang bergelar ‘al-Taj al-Khalwati’ juga telah telah melakukan hal yang sama.

Baca Juga:  Inilah 3 Sosok Ulama Juru Perdamaian Dunia, Background Spiritual Ketiganya Sama

Di Banten, Syekh Yusuf dengan total 5.000 pasukan kaum Muslimin dan 1.000 di antaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan perang terhadap ‘kolonial Belanda’. Meski seorang sufi, saat itu Syekh Yusuf juga ikut terjun ke dunia politik, dengan menjadi penasehat Sultan Ageng Tirtayasa.

Bahkan, ketika ditangkap Belanda dan diasingkan ke Srilanka pun, Syekh Yusuf al Makassari terus mengobarkan semangat perlawanan lewat karya-karyanya kepada para Sultan dan pengikutnya di Gowa dan Banten.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik